Aku duduk memeluk lutut di ujung kasur kumuh. Duduk dengan isakan tangis yang sedari tadi tak mampu terhenti, akibat meratapi nasib yang tak kunjung membaik. Tangisanku dengan jelas membuat ibu meringkuh bahuku, mencoba menenangkan. Tapi tak mempan.
Aku terus menangis, mengeluh dengan keadaan.
"Bu', aku nggak mau hidup begini. Malu!" Aku membenamkan wajahku di antara lutut yang kupeluk.
"Sabar, Nduk. Mau gimana lagi," jawab ibu pasrah.
Hidup di dunia, bagaikan malapetaka untukku. Jika aku tahu jalan hidupku akan seperti ini, lebih baik aku tak hidup sekalian. Mungkin begitu juga pemikiran orang jikalau hidupnya semakin berat dijalani.
Setelah lulus SMA, ibu tak melanjutkan pendidikanku dikarenakan terkendala oleh biaya.Â
Ayah, sudah meninggal sedari aku masih SMP. Kedua adikku tetap bersekolah dengan biaya seadanya. Bukannya lulus sekolah hidupku membaik, malah semakin buruk.
Ibu terlilit hutang, sehingga kami harus keluar dari rumah, dan beralih ke kontrakan kecil. Teramat kecil.
Sial memang.
 Di saat teman-temanku yang lain tengah berkuliah.Â
Aku?
Malah jualan kue keliling untuk membantu ibu dan biaya sekolah adikku.
Rasa malu menjalar keseluruh tubuh jika harus berhadapan dengan teman-temanku dulu.
"Lah, jualan kue, Rani? Nggak kuliah? Kasian banget."
Setidaknya begitu ucapan mereka ditambah tatapan nyinyir. Ingin sekali kulemparkan kue ini ke wajah mereka.
Ucapan yang sama sekali tak bisa menjaga perasaan. Ya! Aku memang mudah tersinggung.
Di bawah teriknya matahari, aku harus berjalan kaki untuk jualan kue. Kadang menitipkan beberapa kue ke warung-warung. Sebelum jam tiga sore memang aku sudah pulang. Kue yang kubawa, ludes terjual. Ya, gimana nggak ludes. Kuenya enak, harganya pun cuma seribu rupiah.
Kualat emang kalau nggak laku.
 Sementara perjalanan pulang, aku rehat sebentar di pinggiran toko, menghitung hasil jualanku hari ini.
Yah, lumayanlah.
Aku beringsut dari tempat duduk, tapi sebelum kulangkahkan kaki lebih jauh. Seorang pria menegurku dari belakang.
"Rani?"Â
Aku menoleh.
Bisa kulihat jelas wajahnya, tak asing. Matanya, senyumnya, suaranya, bahkan tingginya. Aku tahu.
Seorang pria yang kusukai setengah mati saat sekolah dulu.
"Yudha!" senyumku merekah.
Sebenarnya aku sangat malu bisa melihatnya. Ditambah dengan penampilanku yang sudah seperti pembantu.
 Sewaktu SMA, kami memang sangat dekat. Bahkan kami digosipi pacaran, banyak yang iri dengan kedekatan kami, sebab Yudha memang pria populer di sekolahku dulu.
Ia terlihat berbeda sekarang.
Tubuhnya pun terlihat atletis, wajahnya terlihat lebih tampan dan dewasa dengan janggut tipis. Kemeja dengan bersetelan jas tak memperlihatkan kalau dia seorang Mahasiswa.
Ia meraih tanganku lembut untuk menuntunku duduk di kursi tadi. Aku yakin dia juga terkejut melihatku.
Ia terkejut senang.
Dan aku yang malu.
***
"Assalamu'alaikum! Permisi."
Terdengar seorang pria mengetuk pintu.
"Nduk, buka pintunya," pinta ibu sambil meremas adonan.
Aku segera membuka pintu kayu yang sudah lapuk itu.
"Yudha!" Mataku membulat, "Ayo masuk!" sambungku dengan tergesa.
Aku mempersilakannya duduk di sofa yang sobek-sobek itu. Aku menyuruh ibu menemaninya sejenak, sedangkan aku membuatkannya minum.
 ***
"Nduk, kayaknya Yudha suka deh sama kamu," ucap ibu dengan senyum tipis.
Sontak kusemburkan ke lantai air yang kuminum. Ledekan ibu sungguh mengganggu makan malam.
"Ih, apaan sih, Bu! Nggak mungkinlah cowok tajir kayak dia suka sama cewek miskin kayak aku," jawabku tanpa berani menatap mata ibu
"Kalau udah jodoh. Nggak pandang dari miskin atau kayanya loh, Nduk." Ibu terkekeh
Benar saja. Pipiku langsung memerah.
Setelah pulang berdagang, kulihat mobil Yudha terparkir rapi di halaman rumah.
Ngapain lagi dia.
Ibu meraih tanganku dengan tergesa untuk duduk di sampingnya. Ibu bermaksud menceritakan kedatangan Yudha ke sini.
"Nduk," panggil ibu ragu sambil mengelus tanganku.
Aku hanya diam menatapnya.
"Yudha ... pesan kue ibu untuk acara pernikahannya nanti."
Oh, Yudha mau nikah. Dia udah punya calon rupanya. Ternyata kedatangannya sering ke sini hanya sebatas bisnis sama ibu.
Ya, bisnis kue untuk nikahannya.
Tapi kenapa dada ini serasa panas, ya!
"Oh, bagus dong. Terus?" jawabku datar
"Kamu nggak usah bantu ibu lagi," jawabnya terbata
"Lohh?" Aku mengerutkan alis
"Ibu nggak mau kamu capek, kan kamu nanti jadi calon mempelai wanitanya, Yudha." Akhirnya senyumnya tersimpul
"APA?!"Â
Pingsan.
.Â
-END-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H