Kontras diksi[1] antara dunia fana dan alam baka
Â
(Cerpen oleh F. Sugeng Mujionno)
Â
Eko...
Â
Sesaat semuanya hilang ... dan hilang..., tak tahu apa-apa..., tak tahu apa yang terjadi..., tak tahu berada di mana..., sebelum kemudian Eko menyadari  bahwa ia berada dalam suatu kegelapan yang amat sangat. Semuanya gelap, teramat pekat. Ia tak tahu berada di mana. Ia tak tahu mana timur, mana barat, mana utara, mana selatan.  Bahkan ia tak tahu mana bawah, mana atas, mana kiri, mana kanan.  Gelap..., pekat...
Â
Eko berusaha bergerak. Tangannya meraba-raba, berusaha meraih sesuatu untuk pegangan, namun kosong. Ia menggerakkan kaki kalau-kalau bisa melangkah, namun tak terasa adanya suatu pijakan. Oohh, semuanya kosong...
Â
Muncul seberkas sinar yang amat redup, nun... jauh. Eko berusaha mendekat, jauh....amat. Oohh, tanpa pijakan ia bisa melayang ke arah sinar itu. Lambat laun ia menyadari, bahwa ia berada dalam sebuah lorong yang amat panjang nan gelap. Ia melayang dan melayang ke arah sinar, laksana kapas dihembus angin.
Â
Sinar itu semakin terang dan nyata. Eko semakin kuat mengayunkan kaki dan tangan seolah berenang. Melayang dan meluncur..., meluncur begitu cepat..., dan oohh, ia terpental, dan akhirnya terbebas dari lorong pekat itu. Kini, Eko berada dalam sebuah ruang tanpa batas. Ia bisa melihat segala yang pernah ia lihat di segala penjuru, bahkan ia juga melihat segala yang pernah singgah dalam mimpinya.
Â
Eko menarik nafas panjang-panjang. Oohh, tak ada sesuatu yang terhirup. Kosong..., hampa..., tapi tiada kesesakan apa pun. Semuanya ringan.
Â
Eko melihat sebuah kerumunan. Oohh, ia terkejut. Di antara kerumunan itu terbujur sesosok jasad. Beberapa bagian nampak terluka. Darah segar menetes dari luka-luka itu. Eko terkesiap, oohh itu ternyata jasadnya sendiri. Ia mengibas-kibaskan kaki ke tanah, tapi tak tersentuh apa pun. Ia menepuk-nepuk pipi dan menyubit kulit tangannya, tak terasa apa pun.
Â
Oohh, "Apakah aku sudah mati?" pikirnya.
Â
Eko mendekati kerumunan itu. Tak seorang pun hirau. Ia berusaha memanggil-manggil, Â "Eko...., Eko....," dan berusaha menjamah tubuhnya. Namun tiada ia bisa menyentuhnya. Tiada teriak panggilannya terdengar.
Â
Oohh, "Aku bener-bener sudah mati," pikirnya.
Â
Terdengar dalam kerumunan itu, seseorang menghubungi keluarga Eko. Mengabarkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara Eko pun melihat suasana keluarga di rumahnya. Seluruh keluarga larut dalam duka yang mendalam. Ibu dan adik perempuan satu-satunya sangat shock mendengar berita itu.
Â
Di sisi lain, Eko samar-samar melihat sosok ayahnya tersenyum dan melambai sambil duduk laksana dalam singgasana kedamaian.
Â
Eko merasa keki. Kerumunan itu tak hirau akan kehadirannya. Teriakannya tak didengar orang. Bahkan tubuhnya sendiri tak menerima jamahannya.
Â
Oohh, "Inikah dunia kematian? Inikah alam baka?" pikirnya.
Â
Eko menuju ke rumahnya. Oohh, ia mulai terbiasa meluncur tanpa pijakan. Dilihatnya banyak manusia berkerumun. Ibunya tergeletak tak berdaya. Sementara adiknya meraung-raung , menyesali kepergian sang kakak. Suasana riuh dan duka menyelimuti seluruh keluarga dan sahabat yang hadir di rumah itu.
Â
Tak berapa lama, sebuah ambulance datang. Jasad diangkat keluar dari ambulance, dibawa masuk ke dalam rumah. Aroma kembang menguar di seluruh ruangan tempat jasad terbaring.
Â
Oohh, Eko keki. Tak tahu apa yang mesti diperbuat. Ia bisa melihat siapa pun, dan apa pun yang terjadi, di mana pun. Namun ia meluncur kesana kemari. Ingin menghibur ibunya yang sempat pingsan. Ingin meredakan raungan adiknya. Ingin menyapa orang-orang yang datang. Ingin membangunkan tubuhnya yang terbaring kaku. Ingin..., ingin..., dan ingin... . Namun semuanya tak bisa ia lakukan. Orang tak hirau akan kehadirannya. Dunianya sudah berbeda.
Â
Eko putus asa. Ia meluncur ke pojok ruang yang agak longgar. Ia tak bisa menyentuh apa pun. Tetapi sebuah kursi plastik ikut meluncur bersamanya. Suasana menjadi gaduh. Beberapa orang menjadi pucat ketakutan. Sebuah kursi bisa terbang....
Â
Oohh, Eko merasa kehadirannya mengganggu susasana. Ia semakin keki. Ia terdiam di pojok ruangan. Orang-orang yang kebetulan berada dekat di situ, menyingkir, seolah merekaa merasakan kehadirannya.
Â
Eko semakin tidak nyaman. Ia meluncur ke sebuah pohon rindang. Orang-orang yang berteduh di bawah pohon itu menengadah seolah melihatnya. Oohh, "Aku harus berada di mana, ya?" pikirnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk hinggap saja di atas dahan pohon itu. Pohon bergoyang. Orang-orang merasa bergidik dan menyingkir.
Â
Oohh, Eko serba salah. Teringat kembali oleh Eko, kejadian yang barusan ia alami. Suatu kegelapan yang amat sangat. Lorong pekat yang amat panjang. Seberkas sinar redup  nun jauh. Melayang, meluncur, dan terpental ke dalam ruang tanpa batas. Kerumunan manusia, jasad di antara kerumunan itu, bayangan ayahnya yang melambai dan tersenyum. Oohh, sebuah kontras diksi antara dunia fana dan alam baka ...
Â
Eko masih bertengger di atas dahan, memperhatikan manusia yang lalu lalang, datang pergi. Sesekali ada yang berhenti sejenak di bawah pohon itu dan menengadah seolah melihat sesuatu yang aneh. Kemudian segera pergi dengan terbirit. Oohh, "Apakah mereka melihat aku?" pikir Eko.
Â
Tetapi, oohh, senyum dan lambaian tangan ayahnya sangat menggoda. Eko mencari-cari bilamana ayahnya terlihat kembali. Ia menjadi bimbang, akan tetap bersama ibu dan adiknya yang menangis penuh duka atau mencari ayahnya yang tersenyum bahagia. Tetapi ibu dan adiknya tak lagi bisa menerimanya. Mereka tak lagi melihat dirinya. Sementara, ayahnya hanya terlihat sesaat, entah di mana harus dicari. Oohh, sebuah kontras diksi antara dunia fana yang penuh duka dan alam baka yang damai.
Â
Oohh, saatnya jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Bisa saja Eko tetap bertengger di atas pohon itu sambil menyaksikan jenasahnya diarak sepanjang jalan, kemudian ditimbun tanah dalam iringan dan deraian air mata. Walau jarak rumah ke makam cukup jauh untuk ukuran manusia, Eko tetap bisa melihatnya. Tak ada halangan untuk penglihatannya. Ia berada dalam sebuah ruang tanpa batas. Namun demikian, Eko tetap mengikuti iring-iringan ke pemakaman.
Â
Makam itu berada di pinggiran kampung, menghadap ke sebuah sungai. Pepohonan besar masih dibiarkan tegak. Ada beringin, elo, gayam, dan jenis pohon lainnya membuat suasana teduh dan adem. Di tempat itu pula jasad ayahnya Eko dimakamkan.
Â
Eko memilih tempat yang dianggapnya aman, tidak mengganggu manusia yang masih hidup. Sebuah pohon beringin sangat besar, yang akar-akarnya bergelayutan dari dahan sampai hampir menyentuh tanah, tumbuh kokoh di pinggiran makam itu, tepat di bibir tebing yang menghadap ke sungai. Tak pelak akar-akar itu berayun, dahan-dahannya bergoyang, membuat beberapa manusia di bawahnya bergidik.
Â
Oohh, sekilas Eko melihat kembali lambaian dan senyum ayahnya. Eko berteriak sekuatnya. Namun kenampakan sang ayah hanya sesaat.
Â
Prosesi pemakaman sudah selesai. Orang sudah meninggalkan tanah makam itu. Tinggallah Eko dengan jasadnya yang berada dalam kegelapan bumi. "Benar juga," pikir Eko, Â "yang berasal dari tanah kembali ke tanah."
Â
Eko kembali dalam kebimbangan. Akan meninggalkan jasadnya dalam timbunan itu sampai menjadi tanah, kembali ke rumah bersama ibu dan adiknya, atau mencari ayahnya yang nampak senyum dan melambai.....? Oohh," Aku jadi bingung," pikirnya, kontras diksi dunia fana dan alam baka.
Â
Eko mengingat kembali peristiwa yang menimpanya. Kala itu ia bersama temannya, Yudi dan Andi dalam konvoi kendaraan menuju tempat kerja. Fajar sedang bersiap menyingsing. Jalanan masih sepi. Suasana inilah yang menjadikan manusia lena.
Â
Sebuah kendaraan besar melaju dari arah yang berlawanan. Sampai di sebuah tikungan, sopir tak dapat mengendalikan kendaraannya. Eko kaget menghadapi keadaan itu. Ia pun tak bisa mengendalikan motornya, dan oohh, menghantam bagian belakang kendaraan besar itu.
Â
Yudi dan Andi ikut terpelanting. Namun keduanya selamat. Mereka menjadi trauma menyaksikan Eko yang tidak tertolong. Eko tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Sesaat semuanya hilang..., dan hilang... . Ia kemudian menjadari sudah berada di lorong panjang nan pekat itu. Melayang dan meluncur, akhirnya tiba dalam ruang tanpa batas.
Â
Ya, Eko bingung. Ia meluncur ke arah tempat kejadian itu. Hari masih subuh. Tikungan itu sangat sepi dari manusia. Sesekali kendaraan lewat. Nampak manusia yang melintas selalu tergopoh begitu sampai di tikungan itu. Tak berapa lama, terlihat juga Yudi dan Andi. Tak seperti biasa, mereka berboncengan. Mereka terbirit begitu melintas di tikungan. Pagi masih gelap, tetapi Eko bisa menyaksikan wajah mereka yang pucat ketakutan.
Â
Oohh, "Aku membuat mereka tak nyaman," pikirnya. "Tapi aku harus berada di mana ya?"
Â
Eko teringat, di kampungnya ada sebuah bangunan kosong, bekas peninggalan Belanda. Bangunan itu memang sudah rusak, tinggal tembok-tembok tebal yang masih berdiri kokoh, bersekat-sekat seperti kamar. Di bagian belakang ada kamar mandi dengan bak air yang cukup besar. Orang menyebut bangunan itu sebagai loji. "Mungkin di sanalah aku bisa beristirahat," pikir Eko. Maka meluncurlah Eko ke arah loji itu.
Â
.......
Â
Sementara di dunia nyata, di sebuah desa, masyarakat dibuat heboh dengan berita kenampakan dan kejadian-kejadian di bangunan tua peninggalan Belanda, yang  disebut loji. Loji itu terletak di tempat strategis, tak jauh dari pusat keramaian desa tersebut. Setiap orang yang mempunyai keperluan ke toko, ke pasar, ke dokter, atau ke kantor kelurahan mesti melewati loji tersebut. Bahkan orang dari desa lain pun banyak yang harus melewati loji tersebut.
Â
Setiap melewati loji tu, orang pasti terbirit ketakutan. Ketakutan semakin terasa pada malam hari. Beredar kabar, dari dalam loji itu sering terdengar orang menangis. Ada yang mendengar suara gemericik air, seolah orang mandi. Ada yang mendengar teriakan minta tolong. Bahkan ada juga kabar yang mengatakan ada yang melihat kenampakan. Manusia yang berlumur darah, mukanya tak berbentuk lagi. Ada manusia yang tak berkepala. Ada yang terpincang-pincang kakinya putus sebelah.
Â
Ya, banyak kabar yang menceritakan hal-hal yang mengerikan, yang seram. Membuat masyarakat semakin takut dan ragu melewati loji itu. Termasuk orang-orang pemberani pun, ketika melewati loji itu juga terbirit dan bergidik. Giliran ada yang bertanya. "Siapa yang pernah mendengar suara-suara itu? Seiapa yang pernah melihat kenampakan itu?" Semuanya bengong, tak ada yang menjawab. Namun cerita itu tetap saja berseliweran dari mulut ke mulut, dari grup we'a ke grup yang lain. Dan loji itu dikenal di seluruh desa dan kecamatan sebagai tempat yang angker.
Â
........
Â
Sekian lama Eko tinggal di bangunan tua peninggalan Belanda itu. Walau baginya, tiada lagi masa dalam arti waktu. Karena baginya semenit, sejam, setahun pun sama saja. Waktu hanyalah dimensi manusia di dunia fana. Namun demikian, Eko nasih melakukan kegiatan sebagaimana ia jalani di alam fana yang sudah lalu. Ia ikut bergembira menyaksikan alam dunia yang menyenangkan. Ia juga bersedih dan menangis melihat kedukaan di dunia. Kadang ia merasa gerah dan panas, kemudian mengguyurkan badannya dan menjadi segar kembali. Tetapi Eko juga menyadari, keberadaannya di loji itu menjadikan manusia di sekitar tidak nyaman. Eko menyadari adanya cerita yang berseliweran dari mulut ke mulut, dari wa ke wa. Tetapi ia juga tidak mengetahui harus berbuat apa.
Â
Suatu senja dunia fana, di sebuah desa tempat keluarga Eko berada, suasana menjadi riang dengan lampu-lampu menghias kerindangan  pepohonan yang masih tumbuh di desa itu. Terutama di kediaman ibu dan adik Eko. Mata lampu dipasang di berbagai tempat, kursi berjajar, dan tikar terbentang. Ibu-ibu dan kaum wanita sibuk di bagian belakang rumah, menyiapkan segala sesuatu untuk acara yang segera mulai. Sementara bapak-bapak dan kaum pria, dengan sarung atau celana panjang dan kepala berpeci, hilir mudik membenahi kursi dan menerima tamu-tamu yang berdatangan. Tak ada rona sendu pada ibu dan adiknya Eko. Tak ada suasana duka di kediaman ibu dan adik Eko.
Â
Oohh, mereka ada hajatan. Mereka akan berdoa bersama. Mereka akan mengakhiri masa duka itu untuk segera melanjutkan kehidupan normal yang fana. Sanak keluarga, famili, dan tetangga berkumpul dengan satu niat doa bersama, walau mereka saling berbeda keyakinan. Telah seribu hari seorang anggota keluarga meninggalkan ibu dan adiknya, sanak saudaranya, dan handai tolan tetangga di desanya. Ya,. Mereka bersatu dalam doa demi anggota keluarga yang telah meninggalkan mereka.
Â
Eko tertegun dan haru menyaksikan mereka. Ia mengusap pelupuk mata. Ia mendekat dan ingin memeluk ibu dan adiknya. Namun ia menyadari, ia tidak lagi berada dalam dunia fana.
Â
Di kejauhan, Eko melihat ayahnya tersenyum dan melambai, seolah memanggilnya. Kembali ia memandangi ibu dan adkinya, memandangi Yudi dan Andi, memandangi sanak keluarganya, memandangi seluruh handai tolan yang hadir di kediaman ibu dan adiknya. Kemudian ia berpaling kepada ayahnya yang masih tersenyum dan melambai. Dan Eko melambai ke arah ibu dan adiknya sambil berteriak girang, "Selamat tinggal ibu, selamat tinggal adikku, selamat tinggal Yudi dan Andi, selamat tinggal sahabatku semuanya."
Â
Eko melayang dan meluncur di dalam ruang tanpa batas itu, dan sampailah ia dalam pelukan mesra ayahnya.
Â
Â
Jambi, 14 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H