Yudi dan Andi ikut terpelanting. Namun keduanya selamat. Mereka menjadi trauma menyaksikan Eko yang tidak tertolong. Eko tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Sesaat semuanya hilang..., dan hilang... . Ia kemudian menjadari sudah berada di lorong panjang nan pekat itu. Melayang dan meluncur, akhirnya tiba dalam ruang tanpa batas.
Â
Ya, Eko bingung. Ia meluncur ke arah tempat kejadian itu. Hari masih subuh. Tikungan itu sangat sepi dari manusia. Sesekali kendaraan lewat. Nampak manusia yang melintas selalu tergopoh begitu sampai di tikungan itu. Tak berapa lama, terlihat juga Yudi dan Andi. Tak seperti biasa, mereka berboncengan. Mereka terbirit begitu melintas di tikungan. Pagi masih gelap, tetapi Eko bisa menyaksikan wajah mereka yang pucat ketakutan.
Â
Oohh, "Aku membuat mereka tak nyaman," pikirnya. "Tapi aku harus berada di mana ya?"
Â
Eko teringat, di kampungnya ada sebuah bangunan kosong, bekas peninggalan Belanda. Bangunan itu memang sudah rusak, tinggal tembok-tembok tebal yang masih berdiri kokoh, bersekat-sekat seperti kamar. Di bagian belakang ada kamar mandi dengan bak air yang cukup besar. Orang menyebut bangunan itu sebagai loji. "Mungkin di sanalah aku bisa beristirahat," pikir Eko. Maka meluncurlah Eko ke arah loji itu.
Â
.......
Â
Sementara di dunia nyata, di sebuah desa, masyarakat dibuat heboh dengan berita kenampakan dan kejadian-kejadian di bangunan tua peninggalan Belanda, yang  disebut loji. Loji itu terletak di tempat strategis, tak jauh dari pusat keramaian desa tersebut. Setiap orang yang mempunyai keperluan ke toko, ke pasar, ke dokter, atau ke kantor kelurahan mesti melewati loji tersebut. Bahkan orang dari desa lain pun banyak yang harus melewati loji tersebut.