Â
Petra membuka koran pagi dengan muka masam. Ia mengalihkan pandangan dari halaman iklan, langsung tertuju pada rubrik "Apresiasi" yang bertajuk "10 Orang Termiskin di Indonesia Tahun 2019".
Kicau si bulbul di sarang bambu yang biasanya enak di telinga mendadak sember tatkala foto dan nama Midun masuk daftar.
"No! Eno! Midun masuk koran!" panggil Petra ke istrinya yang sibuk meracik bumbu di dapur.
Setelah bunyi "sreng" pertanda 3 ikan mujair meluncur ke wajan berminyak, Eno tergopoh-gopoh menuju serambi---menuju suara Petra berasal. "Midun? Mana?"
"Ini. Lagi pegang piala dia. Sambil melambaikan tangan pula."
"Siapa yang ngasih, Mas?"
"Bapak Gubernur."
"Ada, ya, lomba jadi orang termiskin?"
"Bukan lomba, tapi anugerah. Semacam penghargaan musiman yang selalu rilis ulang tiap tahun. Si Midun sudah hilang urat malunya, No."
"Pantas, ya, kemarin kita undang makan opor ayam dia menolak."
"Ternyata buat jaga imej."
"Padahal ususnya maknyus."
"Sumsumnya juga, No."
"Kenapa, ya, Midun memilih hidup melarat?"
"Apa lagi, No, kalau bukan gengsi."
"Masuk 10 besar orang termiskin di Indonesia dapat apa?"
"Uang seratus ribu. Tambahannya ini. Lihat, No, di baris terakhir artikel. Dia dikasih bonus 2 kambing dan piala karena masuk tiga besar sebagai pendatang baru tahun ini. Paling-paling nanti dihabiskan biar tahun depan dapat penghargaan lagi."
"Paling-paling."
***
Di bawah pohon kedondong yang ranggas, di antara rerumputan dan alang-alang, Midun duduk mencangkung di atas tegal memandang gunung kering kecokelatan. Dari pucuk gunung itu, ia membayangkan dirinya naik tangga---naik, naik, dan naik terus dengan langkah tegap---ke atas panggung di depan Balai Kota seperti kemarin dengan iringan tepuk tangan.
Seumur-umur, baru kali itu ia diundang ke acara akbar dan dihadiri tokoh-tokoh ternama. Baik dari kancah politik, seniman, publik figur, dan influencer. Fotografer dari berbagai media bergantian menyorotkan lampu kilat ke panggung. Berkedip-kedip.
Masuk 10 besar saja sudah untung, pikirnya, karena peluangnya cukup sempit. Dari minimal 267 juta warga Indonesia, ada ratusan ribu yang menginginkan anugerah itu.
Kesepuluh penerima penghargaan berasal dari provinsi berbeda. Sepanjang acara, mereka tidak ada yang saling sapa. Hanya saling melirik.
Para tamu undangan disuguh makanan yang enak dan mahal. Ada black truffle, la bonotte potato, sup sarang burung, dan kaviar almas. Para peraih penghargaan hanya disuguh air mineral sekadarnya.
Para panitia tidak mau ada air liur yang menetes ke lantai panggung. Setetes pun. Itu panggung anugerah. Bukan panggung penyiksaan.
Pada puncak acara, usai penyerahan piala dan sejumlah uang kecil, Bapak Gubernur yang terhormat dengan nada berapi-api memotivasi para peraih penghargaan agar tahun depan lebih semangat lagi dalam bersaing merebutkan trofi.
"Di tahun kesepuluh ini, saya, selaku Gubernur merasa bangga karena jumlah peserta naik jadi 700.000. Artinya, saudara-saudara kita yang naik ke panggung ini adalah manusia-manusia pilihan. Tepuk tangan."
Para tamu undangan yang rata-rata berperut gendut itu bersorak dan tepuk tangan.
Setelah memasukkan hadiah uang ke saku celana rombeng, Midun memandang lekat-lekat pada piala yang duduk manis di antara dua telapak tangannya.
Di ujung acara, Bapak Gubernur meminta kesepuluh peraih penghargaan itu agar melambaikan tangan ke kamera. Menyapa orang-orang yang kebetulan menonton saluran TV Nine2Nine dan juga penikmat koran.
Midun tersenyum bangga saat itu.
Masa depan masih cerah, pikirnya.
Lamunan Midun buyar tatkala 2 kambingnya mengembik karena tersedak alang-alang. Tanpa disadarinya, di sebelah kanan kambing sudah ada Acil---anak penggembala kambing dari desa sebelah.
"Cil, Acil. Sini," panggil Midun.
"Apa, Om?" Acil meletakkan sabit dan berjalan menuju Midun dengan langkah ragu-ragu.
"Sudah banyak rupanya kambing-kambing kamu, Cil."
"Cuma 30, Om. Kemarin ada yang lahir dua."
"Wah-wah, selamat."
"Om lagi ngapain? Tumben duduk di sini. Biasanya mancing di sungai."
Meski jadi penggembala kambing, Acil bertubuh gemuk dan tampak segar. Tiga kali tubuh Midun. Umurnya terpaut 15 tahun dari Midun yang di hari itu berumur 25 tahun.
"Om mau menawari kamu 2 kambing dan piala. Mau?"
Pupil mata Acil seketika membesar. Bagai ketiban durian, ia langsung bilang "mau" tanpa basa-basi.
Transaksi pun berjalan lancar. Buru-buru, Acil menggiring kambing-kambingnya melintasi padang alang-alang, menuju rumah---niatnya mau berkabar ke ibu-bapak---setelah berterima kasih pada Midun.
Midun sekali lagi, memandangi gunung kecokelatan sambil memikirkan program baru agar tahun depan bisa naik peringkat jadi juara 1.
***
SURAT UNDANGAN
Â
Yth. Bapak Petra Waluyo
Di Dsn. Gading, RT 03 RW 05, Desa Panjat Pinang,
Kec. Sundu Lapari, Kab. Layangan
Â
Salam sejahtera,
Â
Ini betul dengan Bapak Petra? Mudah-mudahan betul. Saya harap surat undangan ini sampai dengan selamat.
Begini, Pak. Pekan lalu, tepatnya tanggal 25 Agustus 2019, Midun, saudara kandung Bapak Petra, berhasil meraih penghargaan tertinggi dan menjadi juara 3 di ajang pencarian bakat menjadi orang termiskin di Indonesia. Bapak sudah tahu beritanya di koran dan televisi atau belum? Mudah-mudahan sudah.
Sehubungan dengan itu, saya, selaku Gubernur dan ketua panitia, bermaksud mengundang Bapak ke Balai Kota untuk membicarakan kegemilangan saudara Midun pada tanggal 9 September 2019. Selain Bapak, saya juga mengundang wakil para peraih penghargaan lain.
Saya dan para panitia acara sepakat untuk tidak mengundang saudara Midun agar dia fokus pada pengembangan bakatnya menuju penghargaan tahun depan.
Untuk sesi hiburan, saya dan para panitia mengundang sejumlah penyanyi, komposer, ahli pantomim, pesulap, pelawak, dan influencer. Soal makan, akomodasi, uang saku (bonus), dan biaya transportasi, kami yang tanggung. Bapak tinggal enaknya saja.
Saya sungguh berterima kasih apabila Bapak Petra berkenan untuk memenuhi undangan ini.
Â
Jl. Merdeka, 31 Agustus 2019
Â
Ir. Prawiro Semenjana B.A.,B.B.,B.C.
Â
Usai membaca surat dari Bapak Gubernur 3 kali, Petra meletakkan lembaran itu ke atas meja di serambi. Dengan santai, ia mengangkat secangkir kopi pagi dan mencium aromanya selagi masih hangat. Ia tertegun dengan suara burung bulbul kesayangannya yang bersiul merdu bagai seruling India pagi itu.
"Siapa, Mas?" tanya Eno yang tengah menyapu dedaunan kering di halaman.
"Siapa coba? Tebak."
"Pak Yusman?"
"Bukan. Pipa airnya sudah selesai kuperbaiki kemarin. Lagi pula, mana mungkin Pak Yusman kirim surat. Kan ada WhatsApp. Ini dari Bapak Gubernur."
Pupil mata Eno membesar. Ia menjatuhkan sapunya ke tanah dan membiarkan dedaunan kering itu menumpuk. Buru-buru duduk di sebelah Petra. "Dapat surat cinta, ya?"
Petra mengangguk. "Ada uang mukanya juga, No."
"Wah-wah, keren. Surat apa?"
"Baca sendiri. Tumben kopi buatanmu pagi ini enaknya bukan main."
"Ah, Mas, bisa aja."
Selang satu menit, Eno mengalihkan pandangan dari surat ke mata Petra, "Bagaimana, Mas? Kamu jadi datang?"
"Jadi, dong! Kesempatan emas itu nggak boleh disia-siakan. Pasti uangnya gede."
"Si Midun?"
"Ah, itu urusan belakangan. Yang penting kan dia nggak tahu."
***
Menjelang tengah hari yang panasnya memanggang ubun-ubun, Midun masih betah menduduki batu besar di pinggir sungai. Ia tidak sendirian. Ada tiga anak kecil dari desa sebelah---termasuk Acil---ikut memancing.
"Om kok dapat ikan terus, sih?" rengek Acil yang belum dapat ikan satu pun.
"Mancing ikan itu pakai teknik, Cil. Jangan asal-asalan begitu. Sabar. Kamu harus mengenal karakter ikannya dulu. Mana mau ikan mengecup kailmu kalau tiap kali nyemplung langsung tarik."
"Om pakai pelet sih!"
"Pelet ikan? Iya, Om pakai pelet ikan."
Mendengar jawaban itu, bibir Acil manyun seperti dikepang. Midun tertawa.
"Sudah, jangan murung begitu. Nanti Om kasih ikan-ikan ini ke kamu."
"Ah, nggak seru, Om. Nggak greget," protes Acil.
"Ya sudah. Om kasih aja ke Mijo sama Sandi. Mau, ya?"
"Mau, Om," jawab Sandi dan Mijo bersamaan.
***
Purworejo, 03 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H