Masuk 10 besar saja sudah untung, pikirnya, karena peluangnya cukup sempit. Dari minimal 267 juta warga Indonesia, ada ratusan ribu yang menginginkan anugerah itu.
Kesepuluh penerima penghargaan berasal dari provinsi berbeda. Sepanjang acara, mereka tidak ada yang saling sapa. Hanya saling melirik.
Para tamu undangan disuguh makanan yang enak dan mahal. Ada black truffle, la bonotte potato, sup sarang burung, dan kaviar almas. Para peraih penghargaan hanya disuguh air mineral sekadarnya.
Para panitia tidak mau ada air liur yang menetes ke lantai panggung. Setetes pun. Itu panggung anugerah. Bukan panggung penyiksaan.
Pada puncak acara, usai penyerahan piala dan sejumlah uang kecil, Bapak Gubernur yang terhormat dengan nada berapi-api memotivasi para peraih penghargaan agar tahun depan lebih semangat lagi dalam bersaing merebutkan trofi.
"Di tahun kesepuluh ini, saya, selaku Gubernur merasa bangga karena jumlah peserta naik jadi 700.000. Artinya, saudara-saudara kita yang naik ke panggung ini adalah manusia-manusia pilihan. Tepuk tangan."
Para tamu undangan yang rata-rata berperut gendut itu bersorak dan tepuk tangan.
Setelah memasukkan hadiah uang ke saku celana rombeng, Midun memandang lekat-lekat pada piala yang duduk manis di antara dua telapak tangannya.
Di ujung acara, Bapak Gubernur meminta kesepuluh peraih penghargaan itu agar melambaikan tangan ke kamera. Menyapa orang-orang yang kebetulan menonton saluran TV Nine2Nine dan juga penikmat koran.
Midun tersenyum bangga saat itu.
Masa depan masih cerah, pikirnya.