"Ternyata buat jaga imej."
"Padahal ususnya maknyus."
"Sumsumnya juga, No."
"Kenapa, ya, Midun memilih hidup melarat?"
"Apa lagi, No, kalau bukan gengsi."
"Masuk 10 besar orang termiskin di Indonesia dapat apa?"
"Uang seratus ribu. Tambahannya ini. Lihat, No, di baris terakhir artikel. Dia dikasih bonus 2 kambing dan piala karena masuk tiga besar sebagai pendatang baru tahun ini. Paling-paling nanti dihabiskan biar tahun depan dapat penghargaan lagi."
"Paling-paling."
***
Di bawah pohon kedondong yang ranggas, di antara rerumputan dan alang-alang, Midun duduk mencangkung di atas tegal memandang gunung kering kecokelatan. Dari pucuk gunung itu, ia membayangkan dirinya naik tangga---naik, naik, dan naik terus dengan langkah tegap---ke atas panggung di depan Balai Kota seperti kemarin dengan iringan tepuk tangan.
Seumur-umur, baru kali itu ia diundang ke acara akbar dan dihadiri tokoh-tokoh ternama. Baik dari kancah politik, seniman, publik figur, dan influencer. Fotografer dari berbagai media bergantian menyorotkan lampu kilat ke panggung. Berkedip-kedip.