Malam itu sangat gelap. Tak ada kedipan bintang – bintang di langit. Suasana kampung sangat lengang sekali. Seperti kampung yang tiada penghuninya. Bila ada suara orang berjalan atau sedang bercakap – cakap, akan terdengar sekali pada jarak yang jauh.
Malam itu seperti diselimuti kabut. Apakah karena peristiwa yang terjadi tadi pagi? Sungguh malam yang penuh misteri.
Ibu Pato telah pulas setelah selesai makan malam. Pato belum tidur. Sambil menunggu datangnya rasa kantuk, Pato membetulkan gagang parangnya yang telah pecah. Melilitkan dengan ban bekas yang dipotong sesuai ukuran pada tangkai pegangannya. Parangnya ini telah dianggap sebagai pena untuk bekerja sehari – harian di kebun.
Pato menggantikan posisi ayahnya selama ini. Menjadi tulang punggung keluarga. Hanya diterangi dengan sebuah lampu obor yang dibuatnya dari kaleng susu bekas Pato dengan tekun mengerjakannya.
Malam semakin larut. Telinganya samar- samar menangkap suara mencurigakan di belakang rumah mereka. Pato terdiam, tanpa gerakan apa – apa. Telinganya dipasang untuk berkonsentrasi pada suara itu. Suara kaki orang yang sedang berjalan sangat pelan sekali. Pato berdiri perlahan – lahan. Berendap – endap Pato keluar lewat pintu samping. Tak lama kemudian hanya terdengar bunyi bergedebuk, lalu diam. Membisu seperti keadaan semula. Pato kembali masuk lalu menyimpan parang yang dibetulkannya. Ada sedikit bau anyir. Pato mencuci tangannya lalu masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya. Mentari mulai bersinar dari singgasananya. Daun – daun cemara nampak berkilauan, dibelai sapa sang surya. Cahayanya laksana mata dewa, menerobos jantung dari balik celah – celah dedaunan. Para warga juga memulai kesibukan masing – masing.
Termasuk ibu Pato. Tangannya meraih pintu samping sambil menenteng jemuran yang kemarin belum sempat kering. Tiba – tiba terdengar jeritannya.
“Patooooo,,,,,,,,ayahmuuuuu…….!!!!!”
*********
@rskp. 23052016,, Jakarta