Mohon tunggu...
SEPTA ERIKSONGINTING
SEPTA ERIKSONGINTING Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Artikel Penelitian Hukum

11 September 2023   09:51 Diperbarui: 11 September 2023   09:55 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Perilaku pelecehan seksual merupakan sebuah perbuatan tercela yang dapat diukur dengan adanya pelanggaran terhadap kaedah - kaedah atau norma norma yang berakar pada nilai-nilai sosial- budaya sebagai suatu sistem tata kelakuan dan pedoman tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dapat menyangkut norma keagamaan, kesusilaan dan hukum. 

Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga melanggar hak asasi yang dimiliki oleh korban. Sistem hukum Indonesia menjamin hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya. Tercantum dalam Undang-Unang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28A-28J. Pada Pasal 28A dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pada Pasal 28B ayat (2) dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seorang anak seharusnya memperoleh perlindungan harkat dan martbat di lingkungan sekitar supaya ia bisa tumbuh dan berkembang baik fisik maupun psikologisnya. Bahkan Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa melindungi hak anak merupakan bagian dari membela HAM (Hak Asasi Manusia) (Antari, 2021).

Pembuktian pada kekerasan psikis tidaklah semudah pembuktian kekerasan fisik. Karena pembuktian kekerasan fisik mudah terlihat oleh mata dan dapat dibuktikan dengan visum et repertum sedangkan bukti dari kekerasan psikis tidak terlihat karena rasa sakitnya hanya dapat dirasakan oleh korban melalui batin dan jiwanya. Oleh karena itu, upaya pengungkapan fakta dalam perkara kekerasan psikis seringkali mengalami kesulitan 

Dalam proses pembuktian kekerasan seksual pun, diharapkan aparat penegak hukum tidak bersifat diskriminatif. Terutama, diharapkan tidak menyalahkan korban ataupun memberikan stigma buruk kepada korban tersebut. Hal ini dikarenakan korban yang telah bersedia datang dengan kondisi yang masih merasa depresi, dan takut,tentunya butuh perlindungan bukan malah mendapati tanggapan seseorang yang menyalahkan korban (Victim Blaming) yang dapat memeprburuk keadaan korban (Iqbal, Emilda, & Ferawati, 2020).

Kelebihan, Kekurangan serta Saran

Abstrak yang ditulis sangat lengkap dan lugas sehingga mudah dipahami oleh pembaca namun banyaknya pembahasan dan pendapat para ahli membuat sangat banyak argumen yang harus di pahami dengan konsep yang berbeda. Disarankan agar penulis memperluas topiknya untuk memberikan pemahaman yang lebih mudah dan mendalam kepada pembaca. Implikasinya, pertimbangan hakim harus akurat, artinya harus didasarkan pada kebenaran hukum, peristiwa persidangan yang sebenarnya, dan alat bukti yang dihasilkan dan pembuktian kasus kekerasan seksual ini harus di perjelas sehingga keputusan hakim dapat diterima oleh masyarakat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun