Momen kedua karena terjadi pertemuan antarwajah dengan saling berhadapan. Menurut Levinas, penting untuk saling berhadapan dalam pertemuan konkret dengan orang lain.Â
Dalam perjumpaan konkret dan berhadapan inilah manusia mengalami relasi etis dengan orang lain. Kehadiran seseorang saja telah membuat kita cemas dan merasa bahwa seluruh eksistensi kita dipertanyakan dan kita dituntut untuk bertanggung jawab. Keputusan Etis tentunya lebih mudah diambil apabila kita jauh dari orang yang akan mengalami konsekuensi dari keputusan itu.[5]
 Momen ketiga terjadi karena menurut Levinas wajah orang lain tidaklah berdiam diri tetapi berbicara dan menuntut saya untuk bertanggung jawab terhadapnya.  Â
Pada saat orang lain menampak sebagai wajah, yang telanjang, kita tidak memiliki kuasa apapun terhadapnya, kita tidak bisa memenjarakannya ke dalam pola pikir kita. Menurut Levinas, wajah tidak dapat dibunuh. Wajah orang lain membuat kita cemas dan menuntut kita untuk bertanggung jawab. Wajah menatapku dan memanggilku, Ia menuntut aku Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.Â
Menurut Levinas, jawaban yang layak atas permintaan tersebut adalah Inilah aku. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertemuan antarwajah tersebut merupakan asal-mula etika atau ‘yang-etis’, yang melampaui segala upaya untuk merumuskan kaidah-kaidah moral secara universal.[6]
Bagi Levinas, etika tidaklah terkandung dalam pemikiran abstrak mengenai diri dan orang lain secara keseluruhan dan mengenai hukum-hukum relasi yang harus dibangun, melainkan dalam peristiwa berhadapan langsung dengan orang lain.[7]Â
Bagi Emmanuel Levinas, etika pertama-tama bukan menyangkut teori mengenai baik-buruknya tindakan tertentu; bukan juga apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan sebagai manusia.Â
Etika merupakan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Artinya relasi yang etis hanya omong kosong kalau perjumpaan dengan orang lain tidak pernah terjadi. Demikianlah pertemuan antar-wajah menjadi sumber dan asal-mula etika atau ‘yang etis,’ melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal.[9]Â
Memang pada akhirnya perjumpaan dengan orang lain akan menuntut suatu pertanggungjawaban. Tentu saja akan ada rasa ketidaknyamanan atau dilema ketika ada sesuatu yang penting yang harus diungkapkan.Â
Meski demikian, rasa tanggung jawab menentukan seberapa pentingnya orang lain. Maka tanggung jawab terhadap yang lain membuka jalan untuk membangun persaudaraan sejati. Sebagai jejak Yang-Tak-Terbatas (the Infinite), wajah orang lain tidak akan dapat dibunuh atau dihancurkan.Â
Relasi etis terjadi ketika saya merasa terusik oleh kehadiran wajah orang lain yang menantang orientasi egoistik hidup saya atau mengusik kenyamanan dan kebebasan saya. Kenyataan hakiki seperti inilah yang kemudian dinamakan Levinas secara sederhana sebagai Enigma Wajah.