Pengantar
Sejak seseorang lahir ke dunia, ia senantiasa memiliki relasi dengan orang lain. Mulai dari relasinya dengan orang tua, keluarga, hingga relasi yang lebih luas dengan teman bahkan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Relasi yang terjalin tidak selalu berjalan dengan baik atau tanpa masalah. Faktanya, masih banyak terdapat relasi yang bermasalah dan kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan, hingga ironisnya menimbulkan korban jiwa.
Dalam sejarah manusia, banyak peristiwa kelam yang membuat orang bertanya-tanya. Mengapa manusia tega saling bantai demi ideologi dan ajaran tertentu? Dimana rasa kemanusiaannya? Apa yang dilihat oleh para pembunuh ini dalam diri para korbannya? Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka bantai juga manusia sama seperti mereka? Mengapa manusia lain dipandang begitu rendah dan dianggap ‘lain’ (other) begitu saja? Apakah dasar keberlainan (otherness) ini? Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik Levinas dan menuntun pemikirannya. Salah satu yang ditemukannya di kemudian hari yakni pemikiran tentang enigma wajah.
Paparan ini hendak menjelaskan secara sederhana pemikiran Emmanuel Levinas yang menurutnya menjadi dasar penting dalam berelasi dengan orang lain. Manusia pada dasarnya manusia yang terbuka terhadap keberadaan manusia lain bahkan bertanggung jawab terhadap keberadaan orang lain.
Meski demikian, tidak jarang, orang lain justru diasumsikan sebagai penghalang dan ancaman, karena orang tidak membuka diri terhadap keberadaan orang lain, karena telah mengkonsepkan seseorang pada konsep tertentu. Tentu pemikirannya ini tidak bisa lepas dari konteks hidupnya pada saat itu.
Biografi Emmanuel Levinas
Emmanuel Levinas lahir pada tanggal 30 Desember 1905 di Lithuania (Eropa Utara). Levinas, seorang filsuf Perancis yang terkenal pada abad dua puluh khususnya dalam bidang etika. Ia belajar filsafat di Universitas Strasbourg-Prancis bagian Timur. Pada tahun 1928, ia menyelesaikan disertasi doktor di Institut de France.
Judul disertasinya adalah La theorie de l’intution dans la phenomenologie de Husserl (teori tentang intuisi dalam fenomenologi Edmund Husserl). Pada tahun yang sama, ia menghadiri seminar yang dibawakan oleh Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Ia mengajar di Ecole Normale Israelte Orientale (ENIO)-Paris, sekolah khusus siswa Yahudi dan di sini ia mencoba menghubungkan tradisi intelektual Perancis dan Yahudi.
Pada Perang Dunia II, ia bergabung dengan tentara Prancis untuk membela tanah airnya. Dalam masa perang itu (1940) ia ditangkap oleh tentara Jerman dan dipenjara selama lima tahun. Setelah perang berlalu, ia menjadi direktur ENIO hingga pada tahun 1961 dan mengajar di universitas-universitas lainnya di Prancis.
Pada tahun yang sama, Levinas menerbitkan buku pertamanya, Totalite et Infini atau totalitas dan Yang Tak Berhingga. Di prancis ia bertemu dengan filsuf terkenal Gabriel Marcel, Jean Paul Sartre dan Jacque Maritain (Magnis Suseno, 2000, 88). Pada tahun selanjutnya ia banyak menerbitkan berbagai tulisan hingga ia meninggal di Paris pada tanggal 25 Desember 1995.[1]
Latar belakang pemikiran Enigma Wajah
Peristiwa pembantaian massal mengerikan yang menimbulkan adanya korban jiwa dialami langsung oleh Emmanuel Levinas. Peristiwa pembantaian manusia pada Perang Dunia II oleh Nazi, menelan hampir lebih dari enam juta korban, dan sebagian besar adalah orang Yahudi. Peristiwa ini kemudian menimbulkan duka mendalam bagi Levinas karena hampir seluruh keluarganya meninggal dalam peristiwa itu.
Levinas menyadari, selain duka, dan trauma yang tersisa, banyaknya konflik dan peristiwa lainnya yang bahkan hingga saat ini masih berlangsung. Levinas merasa perlu mempertanyakan tentang bagaimana sebaiknya manusia hidup bersama dengan manusia lainnya.
Seringkali hal ini dikira sudah selesai, bahkan dianggap bukan sebuah hal yang penting dan patut untuk dibicarakan, karena dengan cepat seseorang dapat menganggap bahwa semua manusia dapat hidup bersama. Akan tetapi bagaimana jika hal itulah yang justru menjadi sebuah permasalahan, bahkan dapat menimbulkan konflik atau peristiwa seperti di atas?
Levinas menyadari bahwa permasalahan dapat timbul ketika pembahasan atas sesuatu itu dianggap telah selesai hanya dari satu sudut pandang seseorang, tanpa memperhitungkan sudut pandang orang lain. Hal ini menyiratkan bahwa pembahasan tersebut berhenti pada pembahasan hanya mengenai aku, secara pribadi, tanpa memikirkan realitas yang berada di luar, yaitu kenyataan tentang keberadaan orang lain.[2]
Filsafat Barat, khususnya Heidegger, dikritik oleh Levinas karena menurutnya terobsesi pada menguasai seluruh realitas dengan mencari pengada. Segala sesuatu ingin dipahami, dengan kata lain ingin dijadikan sebagai milikku, menjadi sama dengan diriku.
Levinas melihat bahwa obsesi ini membuat keberlainan dari objek-objek pengetahuan tidak dihargai dengan usaha kita untuk mencerabut ‘Yang Lain’ tersebut dari keberasingannya. Menurut Levinas, justru kita bisa memahami sebagai pengada karena adanya ‘Yang Lain’. Dengan demikian, seseorang selalu terkait dan terikat dengan orang lain.
Levinas justru mengajukan etika sebagai filsafat pertama yang hadir dalam wajah orang lain. Etika adalah makna yang mana muncul bukan dari ‘aku’, melainkan dari wajah orang lain. Ketika saya bertemu dengan wajah orang lain, di situlah saya mempertanyakan eksistensi dan kebebasan saya. Wajah orang lain adalah keberlainan murni yang menuntutku untuk ikut bertanggung jawab.
Sifat khas dari wajah orang lain adalah mortalitas (dapat mati), dan mortalitas itulah yang membuat aku bertanggung jawab dengan orang lain. Levinas mengajak kita untuk mengganti perhatian kita kepada relasi etis diri kita kepada mortalitas orang lain yang memberi makna kepada diri kita.
Wajah biasanya hanya dipahami begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya sebagai pengenal diri seseorang. Seseorang bisa diingat dari ciri fisik wajahnya. Namun bagi Levinas, wajah yang dimaksud di sini bukanlah wajah secara fisik, melainkan bagaimana ‘Yang Lain’ memperlihatkan dirinya. Wajah manusia memiliki makna yang lebih dalam yang melampaui fisik yang tampak. Wajah menampakkan kehadiran seseorang secara keseluruhan.
Wajah dalam pemikiran Levinas merupakan sebuah signifikasi tanpa konteks tertentu dan identitas asli sebuah pengada. Dalam hal ini, wajah berkaitan dengan cara orang lain menampakkan dirinya kepada kita.[3] Wajah ‘Yang Lain’ ini tidak ditentukan oleh pandangan saya pribadi mengenai orang lain, itulah mengapa wajah disebut signifikasi tanpa konteks.
Bagi Levinas, pertemuan dengan wajah orang lain membuat kita menyadari bahwa orang lain bukanlah sekadar kulit, daging, dan darah yang dapat dihancurkan begitu saja.
Sebaliknya, ia adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, orang dicintai dan mencintainya.4 Wajah manusia akan menampakkan ketidakberdayaan atau ketakutannya ketika berhadapan dengan kematian.
Orang yang sedang dalam ancaman atau mungkin bahaya kematian tidak dapat melihat wajahnya sendiri kecuali orang lain yang sedang berhadapan dengannya.
Misalnya kisah seorang serdadu dalam novel All Quiet on the Western Front yang bersembunyi di dalam parit meriam bersama serdadu musuh yang sekarat. Saat itulah wajah yang tidak berdaya itu menyampaikan sebuah pesan bahwa ia kemungkinan tidak dapat lari dari kematian atau dibunuh.
Dari sinilah tanggung jawab pada orang lain itu tidak bisa diabaikan. Jika tidak, akan terjadi seperti si serdadu yang terlambat membiarkan wajah musuhnya menampakkan diri apa adanya karena dorongan ingin menjadi pemenang. Maka perjumpaan dengan wajah orang lain secara nyata atau biasa disebut ‘saling berhadapan’ adalah hal yang sangat penting karena saat itulah orang lain menampakkan dirinya secara utuh.
Levinas juga menegaskan bahwa ada sebuah transendensi wajah dalam perjumpaan dengan orang lain, artinya ada penolakan terhadap usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan hanya sebagai isi atau konten saja.
Menurut Levinas, wajah orang lain selalu menolak usaha seseorang untuk menyerapnya ke dalam pemikirannya untuk kemudian dijadikan isi pemikirannya. Hal ini terjadi karena wajah merupakan yang tidak berhingga, yang penampakannya menghantam totalitas dan upaya seseorang untuk meringkusnya ke dalam pemikirannya. Berdasarkan pemikiran dan pemahaman seperti ini, Levinas pun menyebut penampakan wajah sebagai epifani.[4]
Wajah merupakan yang Tak Berhingga yang penampakannya menghantam totalitas dan upaya aku untuk meringkusnya ke dalam pemikiranku. Kemudian, dalam perjumpaan dengan orang lain, menurut levinas, transendensi wajah akan terjadi karena beberapa momen yang dia sebut sebagai momen Epifani Wajah. Momen ini sangat berpengaruh terhadap relasi etis seseorang dengan yang lain.
Momen Epifani Wajah ini digolongkan menjadi tiga momen oleh Levinas berdasarkan asumsi-asumsinya. Momen pertama yakni karena adanya sifat tegak lurus yang memperlihatkan ketelanjangan dan ketidakberdayaan, selalu terancam, termasuk oleh kematian, karena tidak terlindungi.
Menurut Levinas, karena manusia selalu mungkin untuk dibunuh, maka tuntutan untuk tanggung jawab terhadap orang lain menjadi sangat penting karena setiap saat kehidupan seseorang dipertaruhkan.
Momen kedua karena terjadi pertemuan antarwajah dengan saling berhadapan. Menurut Levinas, penting untuk saling berhadapan dalam pertemuan konkret dengan orang lain.
Dalam perjumpaan konkret dan berhadapan inilah manusia mengalami relasi etis dengan orang lain. Kehadiran seseorang saja telah membuat kita cemas dan merasa bahwa seluruh eksistensi kita dipertanyakan dan kita dituntut untuk bertanggung jawab. Keputusan Etis tentunya lebih mudah diambil apabila kita jauh dari orang yang akan mengalami konsekuensi dari keputusan itu.[5]
Momen ketiga terjadi karena menurut Levinas wajah orang lain tidaklah berdiam diri tetapi berbicara dan menuntut saya untuk bertanggung jawab terhadapnya.
Pada saat orang lain menampak sebagai wajah, yang telanjang, kita tidak memiliki kuasa apapun terhadapnya, kita tidak bisa memenjarakannya ke dalam pola pikir kita. Menurut Levinas, wajah tidak dapat dibunuh. Wajah orang lain membuat kita cemas dan menuntut kita untuk bertanggung jawab. Wajah menatapku dan memanggilku, Ia menuntut aku Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.
Menurut Levinas, jawaban yang layak atas permintaan tersebut adalah Inilah aku. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertemuan antarwajah tersebut merupakan asal-mula etika atau ‘yang-etis’, yang melampaui segala upaya untuk merumuskan kaidah-kaidah moral secara universal.[6]
Bagi Levinas, etika tidaklah terkandung dalam pemikiran abstrak mengenai diri dan orang lain secara keseluruhan dan mengenai hukum-hukum relasi yang harus dibangun, melainkan dalam peristiwa berhadapan langsung dengan orang lain.[7]
Bagi Emmanuel Levinas, etika pertama-tama bukan menyangkut teori mengenai baik-buruknya tindakan tertentu; bukan juga apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan sebagai manusia.
Etika merupakan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Artinya relasi yang etis hanya omong kosong kalau perjumpaan dengan orang lain tidak pernah terjadi. Demikianlah pertemuan antar-wajah menjadi sumber dan asal-mula etika atau ‘yang etis,’ melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal.[9]
Memang pada akhirnya perjumpaan dengan orang lain akan menuntut suatu pertanggungjawaban. Tentu saja akan ada rasa ketidaknyamanan atau dilema ketika ada sesuatu yang penting yang harus diungkapkan.
Meski demikian, rasa tanggung jawab menentukan seberapa pentingnya orang lain. Maka tanggung jawab terhadap yang lain membuka jalan untuk membangun persaudaraan sejati. Sebagai jejak Yang-Tak-Terbatas (the Infinite), wajah orang lain tidak akan dapat dibunuh atau dihancurkan.
Relasi etis terjadi ketika saya merasa terusik oleh kehadiran wajah orang lain yang menantang orientasi egoistik hidup saya atau mengusik kenyamanan dan kebebasan saya. Kenyataan hakiki seperti inilah yang kemudian dinamakan Levinas secara sederhana sebagai Enigma Wajah.
Wajah seorang ibu yang tertabrak motor adalah keseluruhan kehadirannya yang tiba-tiba, dalam kepolosan tanpa atribut. Itulah wajah yang lain. Tiba-tiba, sepintas dan sekilas, namun kehadiran itu tertangkap secara total dan menggoyahkan interioritas, mendobrak pertahanan diri.
Dalam hal ini, wajah yang lain pun menunjukkan kerapuhan kita. Apabila Si Ibu tidak segera ditolong, itu mungkin karena kita masih terpenjara dalam persepsi fenomenalitas, memandang si Si Ibu sebagai sesuatu: mungkin pedagang, pemulung, atau sesuatu yang dipersepsi dengan penamaan-penamaan tertentu.
Tetapi, semua itu runtuh sertamerta, sehingga kita merasa terus diikuti, bahkan dituntut oleh wajah itu. Mungkin saja kita suatu saat membunuh wajah yang terasa mengganggu itu. Namun, pada dasarnya, situasi tetap tidak akan pernah bisa kembali sebagaimana sebelum momen perjumpaan dengannya.
Catatan Kritis atas Teori
Dalam salah satu tulisannya tentang Levinas, Romo Magnis mengatakan bahwa Levinas berusaha berfilsafat dengan kosakata yang belum digunakan manusia, ia berfilsafat tentang sesuatu yang sesungguhnya tak dapat dikatakan atau dituliskan. Suatu paradoks, tetapi menjadi sangat bermakna dan memberi paradigma yang sama sekali baru dalam filsafat.
Apabila membaca karya Levinas, tidak jarang, pembaca akan menemukan bahwa Levinas berputar-putar menggunakan terminus yang sesungguhnya tak memadai melainkan sekadar “mendekati”. Namun, menurut Romo Magnis juga, apabila kita tekun mengikuti alur pemikirannya, kita akan segera mengetahui maksud Levinas.[8]
Selain itu, menarik untuk dicatat bahwa menurut Levinas wajah orang lain merupakan jejak Yang-Tak-Terbatas. Konsep jejak Yang-Tak-Terbatas dalam pemikiran Levinas ini sejatinya memang rumit dan tricky.
Para filsuf yang menekuni karya levinas mengasumsikan bahwa tidak bisa begitu saja menganggap Yang-Tak-terbatas itu sebagai inkarnasi dari Yang Ilahi, kecuali jika kita menganggap Levinas sedang berteologi.[9] Apabila merujuk pada filsafat Barat, seperti dicatat oleh Romo Thomas Tjaya, konsep Yang-Tak-Terbatas ini seringkali digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang disebut Tuhan.
Yang-Tak-terbatas, yang meninggalkan jejak sebagai wajah orang lain, bersifat melampaui Ada. Yang-Tak-Terbatas meninggalkan jejak karena Yang-Tak-Terbatas tidak bisa dibuat imanen atau bagian dari Ada itu sendiri. Yang-Tak-Terbatas tidak pernah menjadi representasi pemikiran manusia.
Itulah keberlimpahan Yang-Tak-Terbatas yang tidak mampu ditampung oleh cawan mungil pengada (beings) yang terbatas (Tjaya, hlm. 137-156). Dalam hal ini, pemikiran Levinas tentang Yang Tak Terbatas tampaknya saja telah mengkonsepkan lagi sesuatu, tetapi itulah paradoks dan keberlimpahan Yang tidak terbatas.
Kesimpulan
Pemikiran Levinas tentang enigma wajah pada dasarnya hendak memberi cara memandang dan berinteraksi dengan manusia lain yang berbeda dengan kebiasaan sehari-hari. Dalam memandang dan memperlakukan orang lain kita sudah lebih sering menggunakan kategori-kategori pemikiran yang sudah kita miliki.
Akibatnya kita tertutup terhadap apa yang dapat dan mungkin tersingkap dari kehadiran orang lain tersebut. Kelekatan kita pada gagasan yang kita miliki mengenai orang lain seringkali membuat kita gagal memperlakukan mereka sebagai manusia.
Bukan gagasan atau pikiran kita mengenai orang lain itu yang menentukan, tetapi pertemuan sejati dengan orang lainlah yang patut kita alami. Wajah manusia sebagai jejak yang tak terbatas. Manusia bertanggung jawab terhadap orang lain.
Bukan karena rasa simpatik yang tiba-tiba akan tetapi memang karena objektifikasi manusia yang memang bertanggung jawab kepada orang lain (others). “Wajah tidak hanya mengusik saya akan tetapi mengajarkan sesuatu yaitu meningkatkan tanggung jawab”. Demikian Levinas memberi pemaknaan dan cara baru dalam berelasi dengan sesama manusia.
Catatan Kaki
[1] (Bdk, https://www.britannica.com/biography/Emmanuel-Levinas).
[2] Fransita FCh dan Clarent PRR, Kebebasan Yang Sejati; Belajar dari Filsuf Levinas, dalam majalah Rohani, No. 5, Edisi Tahun ke-58, 2011, 20.
[3] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), 79.
[4] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, 82.
[5] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, 84.
[6] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, 85-86.
[7] Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, 84.
[8] (Bdk. http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2014/05/mengeja-eksistensialisme-emmanuel.html).
[9] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer-dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 189.
Daftar Pustaka
Buku dan Majalah
Fransita FCh dan Clarent PRR. “Kebebasan Yang Sejati; Belajar dari Filsuf Levinas”. Dalam majalah Rohani, No. 5, Edisi Tahun ke-58, 2011.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer-dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Tjaya, Thomas Hidya. Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Internet
Wahyu. Bdk. http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2014/05/mengeja-eksistensialisme-emmanuel.html). Dikases pada Tanggal 12 Februari 2022, Pukul 20.23. WIB.
Britannica. Emmanuel Lefinas. https://www.britannica.com/biography/Emmanuel-Levinas. Diakses pada Tanggal 09 Februari 2022, Pukul 20.23. WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H