Wajah dalam pemikiran Levinas merupakan sebuah signifikasi tanpa konteks tertentu dan identitas asli sebuah pengada. Dalam hal ini, wajah berkaitan dengan cara orang lain menampakkan dirinya kepada kita.[3] Wajah ‘Yang Lain’ ini tidak ditentukan oleh pandangan saya pribadi mengenai orang lain, itulah mengapa wajah disebut signifikasi tanpa konteks.
Bagi Levinas, pertemuan dengan wajah orang lain membuat kita menyadari bahwa orang lain bukanlah sekadar kulit, daging, dan darah yang dapat dihancurkan begitu saja.Â
Sebaliknya, ia adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, orang dicintai dan mencintainya.4 Wajah manusia akan menampakkan ketidakberdayaan atau ketakutannya ketika berhadapan dengan kematian.Â
Orang yang sedang dalam ancaman atau mungkin bahaya kematian tidak dapat melihat wajahnya sendiri kecuali orang lain yang sedang berhadapan dengannya.Â
Misalnya kisah seorang serdadu dalam novel All Quiet on the Western Front yang bersembunyi di dalam parit meriam bersama serdadu musuh yang sekarat. Saat itulah wajah yang tidak berdaya itu menyampaikan sebuah pesan bahwa ia kemungkinan tidak dapat lari dari kematian atau dibunuh.Â
Dari sinilah tanggung jawab pada orang lain itu tidak bisa diabaikan. Jika tidak, akan terjadi seperti si serdadu yang terlambat membiarkan wajah musuhnya menampakkan diri apa adanya karena dorongan ingin menjadi pemenang. Maka perjumpaan dengan wajah orang lain secara nyata atau biasa disebut ‘saling berhadapan’ adalah hal yang sangat penting karena saat itulah orang lain menampakkan dirinya secara utuh.
Levinas juga menegaskan bahwa ada sebuah transendensi wajah dalam perjumpaan dengan orang lain, artinya ada penolakan terhadap usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan hanya sebagai isi atau konten saja.Â
Menurut Levinas, wajah orang lain selalu menolak usaha seseorang untuk menyerapnya ke dalam pemikirannya untuk kemudian dijadikan isi pemikirannya. Hal ini terjadi karena wajah merupakan yang tidak berhingga, yang penampakannya menghantam totalitas dan upaya seseorang untuk meringkusnya ke dalam pemikirannya. Berdasarkan pemikiran dan pemahaman seperti ini, Levinas pun menyebut penampakan wajah sebagai epifani.[4]
 Wajah merupakan yang Tak Berhingga yang penampakannya menghantam totalitas dan upaya aku untuk meringkusnya ke dalam pemikiranku. Kemudian, dalam perjumpaan dengan orang lain, menurut levinas, transendensi wajah akan terjadi karena beberapa momen yang dia sebut sebagai momen Epifani Wajah. Momen ini sangat berpengaruh terhadap relasi etis seseorang dengan yang lain.Â
Momen Epifani Wajah ini digolongkan menjadi tiga momen oleh Levinas berdasarkan asumsi-asumsinya. Momen pertama yakni karena adanya sifat tegak lurus yang memperlihatkan ketelanjangan dan ketidakberdayaan, selalu terancam, termasuk oleh kematian, karena tidak terlindungi.Â
Menurut Levinas, karena manusia selalu mungkin untuk dibunuh, maka tuntutan untuk tanggung jawab terhadap orang lain menjadi sangat penting karena setiap saat kehidupan seseorang dipertaruhkan.