Dulu,  sahabatku tak pernah ketus dalam melayani pelanggan. Senyum selalu  menempel di wajahnya, dengan anugerah lesung pipi dari Tuhan menambah  manis senyumnya. Ditambah lagi, wajah sahabatku itu bercahaya karena ia  melaksanakan salah satu sunah Rasulullah untuk menjaga wudhu. Tiap  wudhunya batal maka ia langsung bergegas berwudhu. Aku mengenalnya sejak  kelas lima SD. Namanya, Fatullah.Â
Fatul,  begitulah ia akrab dipanggil. Ayahnya seorang guru agama pada salah  satu pondok pesantren di kampung kami, sedang ibunya seorang bidan.  Secara ekonomi kehidupannya berkucupan. Sejak SD sampai SMP ia selalu  mentraktirku es tongtong, salah satu jajanan favorit kami kala  itu. Dalam sehari bila sedang mujur aku ditraktir dua kali. Oleh  karenanya, aku cukup berutang budi padanya. Apapun masalah yang ia  hadapi aku akan selalu siap membantunya, termasuk ketika ulangan  matematika, kebetulan otakku encer soal hitung-menghitung dan  dengan senang hati akan kuperlihatkan kertas jawabanku untuknya sampai  ia berkata, "sudahmi', Bahar." Sambil mengacungkan jari jempolnya  diikuti kerlingan mata kirinya.Â
Begitulah  persahabatan kami bermula, dari kelas lima SD sampai SMA kami selalu  menghabiskan waktu bersama. Mulai dari belajar bersama, mengikuti gadis  pujaan kita masing-masing, memancing ikan mujair di empang Dg. Saba',  sampai salat berjamaah di masjid yang sama. Tapi, setelah lulus SMA kami  tak pernah lagi bersua, kata ayahnya, ia melanjutkan pendidikan non  formal di Kabupaten Gowa, sekolah khusus penghapal Qur'an. Ia sangat  jarang pulang ke rumah orang tuanya, paling cuma sekali setahun, itu pun  hanya saat idul fitri saja. Lima tahun ia menyelami ilmu agama dan  setelah dikategorikan sebagai hafidz ia pulang ke rumah orang  tuanya beserta istri dan kedua putrinya. Aku pun tak tahu kalau ia sudah  menikah. Untuk menghidupi keluarga kecilnya, pagi hari ia berdagang  beras di pasar dan setelah maghrib ia mengajar membaca Al-Qur'an bagi  anak-anak kampung kami.Â
Persahabatan  kami mulai renggang. Aku dan Fatul hanya bertegur sapa seadanya di  pasar karena kebetulan toko kami berdekatan. Hanya sebatas itu, tak ada ngopi bareng apalagi salat berjamaah bersama. Ia lebih memilih salat di rumah, aku pun tak tahu apa alasannya.Â
*Â
Hari  ini, aku tak melihat Fatul. Tokonya tertutup rapat. Biasanya, pukul  06.10 pagi tokonya sudah terbuka dan siap melayani pelanggan.Â
"Kemana Fatul? Apa ia sakit?" Tanyaku ke pemilik toko lain yang kebetulan keluarga dekat dengan Fatul. Ia hanya menggeleng.Â
*Â
Di  tempat lain, sekumpulan lelaki duduk membentuk lingkaran. Mereka  memakai pakaian serba hitam. Tepat di hadapan mereka, di pusat  lingkaran,  duduk seorang pria paruh baya. Sorot matanya tajam.  Keriput-keriput di wajahnya cukup banyak dan rambut hitamnya tinggal  dihitung jari. Begitupula janggutnya, sebagian besar sudah berwarna  putih.Â
"Bagaimana dengan aksi kita hari ini, Karaeng Guru?" Tanya seorang lelaki di barisan lingkaran tersebut.Â
Lelaki  yang dipanggil Karaeng Guru itu tak langsung menjawab, ia menghela  napas sejenak, seakan mengumpulkan keyakinan dalam dirinya untuk  mengeluarkan fatwa. Matanya menyisir satu persatu lelaki yang ada di  barisan lingkaran itu, ia memutar badannya 360 derajat agar bisa melihat  semua anggotanya. Setelah mantap dengan keputusannya, ia berkata tegas,  "surga dapat dibeli tapi harganya sangat mahal, sampai-sampai, kau  harus menyerahkan nyawamu. Apakah kalian siap?"Â