Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Fatullah Ingin Membeli Surga

28 November 2017   18:33 Diperbarui: 28 November 2017   18:46 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teruntuk Bidadari Surgaku

 

Kala matahari menyunggingkan senyum

Apakah kau ikut tersenyum, bidadariku?

Aku akan ke sana, sebentar lagi, tempat kau bersemayam

Sudikah kau menerima jasadku yang berdebu?

 

Semua yang ada di dunia berlabel harga, surga pun demikian, bukan?

Bila surga memang memiliki harga, berapapun akan aku beli. Berapapun.

Cukupkah dengan nyawaku?

Bila sudah cukup maka ambillah, akan kuserahkan.

 

Laksana Pegasus, aku akan terbang menuju singgasana termulia

Tempat nabi dan rasul bercengkrama

Semua abadi dan bahagia

Tanpa ada air mata

 

Lusa, aku tak mau lagi melihat matahari di bumi

Aku ingin melihat Cahaya Ilahi

Walau jasadku sudah tak utuh lagi

Aku yakin akan bersanding dengan bidadari

 

Maros, 26 Nopember 2017 

* 

Kemarin  ia tak seperti biasanya, tatapannya sayu dan lebih sering menghindar  jika diajak bertatap mata. Kantung matanya juga terlihat bengkak,  semalaman mungkin ia menangis tersedu. 

"Beras  ini harganya berapa, daeng?" Tanya seorang wanita yang memakai baju  kaos sedikit ketat dengan bawahan celana jeans pendek yang  mempertontonkan paha mulusnya. 

Ia  tak langsung menjawab, ditatapnya wanita yang berdiri dihadapannya.  Menyadari pakaian wanita itu kurang pantas, ia lalu menundukkan  pandangan. Ia memilih menatap 'wajah-wajah' beras dagangannya. 

"Sepuluh ribu satu liter, bu," ucapnya lirih. 

"Kenapa mahal sekali? Biasanya delapan ribuji'." 

"Maaf  Bu, ini beras baru dan kualitasnya nomor satu di pasar ini, jika ibu  berminat silakan beli tapi kalo tidak mauki', yah, tidak masalahji'."  Jawabnya ketus. 

Wanita itu tak menimpali dan segera berlalu meninggalkan pedagang beras itu. 

Sejenak,  kuperhatikan tingkah laku sahabatku itu, sepertinya ia sedang ada  masalah. Masalah apa? Ia sudah jarang bercerita denganku sejak ia mengikuti kelompok yang mewajibkan anggotanya untuk mengikuti kajian  setiap malam jum'at di rumah guru besar mereka. Kalau tidak salah, rumah  guru besarnya di daerah Pallangga, Kabupaten Gowa. Itu informasi yang  kudengar dari tetanggaku yang suaminya juga salah satu anggota kelompok  tersebut. 

* 

Dulu,  sahabatku tak pernah ketus dalam melayani pelanggan. Senyum selalu  menempel di wajahnya, dengan anugerah lesung pipi dari Tuhan menambah  manis senyumnya. Ditambah lagi, wajah sahabatku itu bercahaya karena ia  melaksanakan salah satu sunah Rasulullah untuk menjaga wudhu. Tiap  wudhunya batal maka ia langsung bergegas berwudhu. Aku mengenalnya sejak  kelas lima SD. Namanya, Fatullah. 

Fatul,  begitulah ia akrab dipanggil. Ayahnya seorang guru agama pada salah  satu pondok pesantren di kampung kami, sedang ibunya seorang bidan.  Secara ekonomi kehidupannya berkucupan. Sejak SD sampai SMP ia selalu  mentraktirku es tongtong, salah satu jajanan favorit kami kala  itu. Dalam sehari bila sedang mujur aku ditraktir dua kali. Oleh  karenanya, aku cukup berutang budi padanya. Apapun masalah yang ia  hadapi aku akan selalu siap membantunya, termasuk ketika ulangan  matematika, kebetulan otakku encer soal hitung-menghitung dan  dengan senang hati akan kuperlihatkan kertas jawabanku untuknya sampai  ia berkata, "sudahmi', Bahar." Sambil mengacungkan jari jempolnya  diikuti kerlingan mata kirinya. 

Begitulah  persahabatan kami bermula, dari kelas lima SD sampai SMA kami selalu  menghabiskan waktu bersama. Mulai dari belajar bersama, mengikuti gadis  pujaan kita masing-masing, memancing ikan mujair di empang Dg. Saba',  sampai salat berjamaah di masjid yang sama. Tapi, setelah lulus SMA kami  tak pernah lagi bersua, kata ayahnya, ia melanjutkan pendidikan non  formal di Kabupaten Gowa, sekolah khusus penghapal Qur'an. Ia sangat  jarang pulang ke rumah orang tuanya, paling cuma sekali setahun, itu pun  hanya saat idul fitri saja. Lima tahun ia menyelami ilmu agama dan  setelah dikategorikan sebagai hafidz ia pulang ke rumah orang  tuanya beserta istri dan kedua putrinya. Aku pun tak tahu kalau ia sudah  menikah. Untuk menghidupi keluarga kecilnya, pagi hari ia berdagang  beras di pasar dan setelah maghrib ia mengajar membaca Al-Qur'an bagi  anak-anak kampung kami. 

Persahabatan  kami mulai renggang. Aku dan Fatul hanya bertegur sapa seadanya di  pasar karena kebetulan toko kami berdekatan. Hanya sebatas itu, tak ada ngopi bareng apalagi salat berjamaah bersama. Ia lebih memilih salat di rumah, aku pun tak tahu apa alasannya. 

* 

Hari  ini, aku tak melihat Fatul. Tokonya tertutup rapat. Biasanya, pukul  06.10 pagi tokonya sudah terbuka dan siap melayani pelanggan. 

"Kemana Fatul? Apa ia sakit?" Tanyaku ke pemilik toko lain yang kebetulan keluarga dekat dengan Fatul. Ia hanya menggeleng. 

* 

Di  tempat lain, sekumpulan lelaki duduk membentuk lingkaran. Mereka  memakai pakaian serba hitam. Tepat di hadapan mereka, di pusat  lingkaran,  duduk seorang pria paruh baya. Sorot matanya tajam.  Keriput-keriput di wajahnya cukup banyak dan rambut hitamnya tinggal  dihitung jari. Begitupula janggutnya, sebagian besar sudah berwarna  putih. 

"Bagaimana dengan aksi kita hari ini, Karaeng Guru?" Tanya seorang lelaki di barisan lingkaran tersebut. 

Lelaki  yang dipanggil Karaeng Guru itu tak langsung menjawab, ia menghela  napas sejenak, seakan mengumpulkan keyakinan dalam dirinya untuk  mengeluarkan fatwa. Matanya menyisir satu persatu lelaki yang ada di  barisan lingkaran itu, ia memutar badannya 360 derajat agar bisa melihat  semua anggotanya. Setelah mantap dengan keputusannya, ia berkata tegas,  "surga dapat dibeli tapi harganya sangat mahal, sampai-sampai, kau  harus menyerahkan nyawamu. Apakah kalian siap?" 

"S  I A P..." Teriak semua anggotanya secara bersama-sama, mereka sangat  kompak dan dipenuhi keyakinan yang sangat besar dalam hati mereka. 

"Kalau  begitu," lanjut Karaeng Guru. "Hari ini, yang terpilih menjadi syuhada  cuma satu orang saja, dia yang paling siap diantara kalian semua.  Fatullah."

Semua  mata lelaki di barisan lingkaran itu memandang ke arah Fatullah,  lirikan mereka menyiratkan kecemburuan, mengapa harus Fatullah yang  terpilih hari ini dan bukan aku? Begitu kira-kira tanya dalam benak  mereka. 

"Fatul..." 

"Iye, Karaeng Guru." Jawab Fatul dengan hormat sambil membungkukkan setengah badannya. 

"Sasaran  kita hari ini adalah prostitusi di jalan Nusantara Makassar, tempat itu  seperti sarang iblis. Kita harus memusnahkannya, sebelum generasi  mendatang terjerumus dalam lembah dosa maksiat." Titah Karaeng Guru  dengan suara tenornya yang melengking. 

"Dengan  senang hati, Karaeng Guru." Fatul lalu melangkah ke pusat lingkaran, ia  mencium punggung tangan kanan orang yang paling dihormatinya. Tak  terasa air matanya menetes membasahi tangan Karaeng Guru. "Tolong, jaga  anak dan istriku, Karaeng Guru." Pinta Fatul setengah berbisik. 

* 

Senja  telah menampakkan diri di garis horizon Pantai Losari, Makassar. Adzan  Maghrib berkumandang, Fatul memilih salat maghrib di rumah temannya yang  tidak jauh dari sasarannya malam ini. 

Selepas maghrib, aku akan terbang menujumu, bidadari surgaku. Ucap Fatul dalam hatinya. 

Akhirnya,  waktu yang dinanti pun mewujud. Fatul memasang bom rompi di badannya,  jenis bom ini adalah salah satu jenis bom rakitan, bahannya: potassium  nitrat, belerang dan TNT. Di saku celananya, ia masukkan pemicu bom  rompi tersebut, sekali tekan maka ledakan dahsyat akan terjadi sampai  radius 20 meter di sekitarnya. Untuk mengelabui orang lain, ia memakai  jaket yang cukup besar agar mampu menyembunyikan bom yang ada di  badannya. 

Fatul  melangkah setapak demi setapak, tak lupa, bibir dan hatinya menyebut  Asma Allah. Matanya menyusuri satu-persatu tempat hiburan di jalan Nusantara. Ia memilih tempat yang paling banyak memiliki wanita  tunasusila. Setelah mencari dan mencari, akhirnya ia menemukan tempat  yang sesuai. Di papan nama depannya tertulis: "Paradise". 

* 

Sementara  itu, di rumah ayah Fatul, anak bungsu Fatul terus saja menangis. Sedang  istrinya juga tersedu pelan sembari memegang selembar kertas yang  bertuliskan puisi berjudul "Teruntuk Bidadari Surgaku" 

* 

Suara musik dangdut koplo memenuhi ruangan, sepuluh wanita tunasusila duduk berjejer dengan rapi  di ruang tamu tempat hiburan yang bernama Paradise itu. Salah seorang  dari mereka, berbaju tank top berwarna putih transparan dengan rok mini hitam menghampiri Fatul. 

"Bagaimana daeng, mau ngamar bareng?" Rayunya. "Murahji'..." Tambahnya lagi. 

Fatul  bergeming. Ia lalu berlari menuju salah satu kamar, mendobrak pintunya.  Sesampainya di dalam, ia berteriak lantang, "Allahu Akbar..." Tangan  kanannya ia masukkan ke dalam saku celananya, lalu jempolnya mantap  memencet pemicu bom yang ada di badannya. Sekejap, ledakan besar  menghantam tempat itu. Suara teriakan di sana-sini. Efek dari bom itu  meluluh lantakkan tiga tempat hiburan sekaligus. Tubuh Fatul terbelah  menjadi empat bagian. Seluruh anggota tubuhnya hangus karena dahsyatnya  ledakan bom rakitan itu. 

Tak  berapa lama, suara serine polisi dan ambulans terdengar di lokasi bom  bunuh diri itu. Kerumunan warga segera membanjiri lokasi tersebut. Ada  yang merekam, ada yang cuma sekadar memotret, adapula yang menangis  meringis. Dengan cepat kejadian ini menjadi viral di media sosial dengan  hastag: #TerorismeParadiseNusantara. 

Berita  itu pun sampai di linimasa media sosialku. Foto-foto korban, rekaman  ledakan, dan yang paling membuat bulu kudukku berdiri adalah foto pelaku. Tubuhnya sudah tidak utuh lagi. Entah apa yang ada dipikiran  orang itu. Siapa sebenarnya dalang dibalik kejadian ini? Beribu tanya bergelantungan dalam kepalaku. 

Polisi  cukup sigap. Sejam setelah kejadian itu, Kapolda Sulawesi Selatan  membuat jumpa pers di angunan Pantai Losari. Stasiun tv lokal dan  nasional menyiarkan secara langsung. Tragedi ini menjadi isu nasional. 

Aku dan istriku segera menyalakan tv. Kudengar dengan seksama pernyataan Pak Kapolda: 

"Saudara  sekalian, malam ini, Tuhan menguji toleransi kita, kesabaran kita dan  persaudaraan kita. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di jalan  Nusantara tepatnya tempat hiburan malam bernama Paradise dilakukan oleh  orang yang sangat tidak bertanggungjawab dan tak bermoral. Ia telah  membunuh lima belas orang dan membuat delapan orang terluka parah. Belum  lagi, kerugian materil, entah berapa jumlahnya." 

Kapolda menghela napas, matanya menyisir para wartawan. 

Lanjutnya, "Pelaku  menggunakan bom rakitan berjenis bom rompi. Dan anehnya, ia sengaja  membawa KTP yang terbungkus dengan plat besi yang cukup tebal. KTP  tersebut tidak hancur, cuma bagian pinggirnya saja. Dan, nama dari  pelaku adalah... Fatullah." 

Setelah  mendengar nama itu, aku segera bangkit, lalu berlari menuju ke rumah  Fatul. Jarak antara rumahku dan rumahnya sekitar satu kilometer. Aku tak  sempat lagi berpikir untuk naik motor, tidak. Dalam pikiranku, aku cuma  ingin memastikan berita itu. Semoga bukan Fatullah, sahabatku. 

* 

Suara  tangis memenuhi rumah Fatul. Ayah dan ibunya menangis di teras, mereka  tak menyadari kedatanganku. Aku segera masuk ke dalam rumah. Istri Fatul  terduduk lemas di depan layar kaca, di tangannya, ia menggengam secarik  kertas. Kuucap salam kepadanya, ia tak menggubris. Dengan tenang kuraih  tangannya, kuambil secarik kertas itu. Setelah kubaca tulisan di kertas  itu, pikiranku melayang, tubuhku lunglai. 

Aku terdiam cukup lama. 

Hanya hati kecilku yang mampu berucap, "apakah manusia bisa membeli surga, Fatul? semoga saja bisa. Semoga...Agar nyawamu tak sia-sia." 

 

Dinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun