Mohon tunggu...
Dinan
Dinan Mohon Tunggu... Abdi Masyarakat -

Seorang yang ingin belajar menulis dengan nama pena Dinan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Nenek Saini

12 Juli 2016   21:16 Diperbarui: 15 Agustus 2016   18:01 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuputuskan untuk melihat lagi sosok Nenek Saini. Segera kukenakan pakaian yang sedikit rapi, menuju ke seberang rumahku. Sesampainya di sana, lapangan tempat bermainku dulu tidak seluas tujuh tahun lalu. Jejeran rumah telah berdiri kokoh. Mataku menggerayangi sekitar, rumah Nenek Saini masih ada di sana.

Aku melangkah lebih dekat ke rumah Nenek Saini, setelah berjarak hanya lima meter dari rumahnya tiba-tiba saja, pintunya terbuka. Nenek Saini, desisku. Ia berdiri di depan rumahnya, kemudian menyapaku sopan, “Mau ke mana, Nak?” Aku terdiam. Kuperhatikan dengan seksama Nenek Saini, ia tak berubah dan bertambah tua sedikitpun. Ia masih segar seperti biasanya.

Setelah kuperhatikan, Nenek Saini berkulit putih mulus, guratan keriput menghias wajahnya yang cantik, tubuhnya langsing, sepintas ia seperti wanita tua biasa yang berbeda nampak dari sorot matanya yang tajam, dan anehnya, ia berbola mata warna cokelat. Bola mata itu yang menghantuiku selama tujuh tahun terakhir.

Sore ini, bau kemenyan lebih membiusku dari biasanya. Aromanya membuatku kehilangan setengah kesadaranku. Tanpa sadar, kakiku melangkah sendiri masuk ke rumah Nenek Saini dengan tatapan kosong dan masih merapatkan kedua bibirku.

Pintu dan jendela di tutup perlahan oleh Nenek Saini. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu. Tak terlihat banyak perabotan, hanya ada satu lukisan seorang wanita menempel di dinding. Lukisan wanita itu mengenakan baju putri zaman kerajaan, gaunnya berwarna hijau, matanya menangkap mataku. Aku menggigil entah karena apa, ditambah lagi, bau kemenyan semakin menyengat. Tak terlihat kemenyan di ruang tamu Nenek Saini. Dari mana asal bau kemenyan ini? Pikirku. Kesadaranku tinggal sepuluh persen, otakku tak mampu mengontrol tubuhku.

“Siapa namamu, Nak?”

“Naomi,” lirihku.

“Kamu tahu, Nak. Hakikatnya, minuman yang paling nikmat adalah darahmu sendiri.”

Aapaa? Minuman ternikmat adalah darah kita sendiri! Hanya hatiku yang dapat berceloteh. Mulutku tak mampu terbuka.  Begitu pula tubuhku, cuma bisa mematung. Padahal ada banyak tanya yang ingin kutanyakan padanya.

Dimana keluarga nenek? 

Nenek tinggal sendiri, yah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun