Misalnya, dosen perempuan tidak dianggap penting dibanding laki-laki, memilih mahasiswa laki-laki menjadi koordinator tanpa menanyakan kepada perempuan, mendominasi pengurusan dengan laki-laki, membiarkan perempuan karena dia diam, dan lain-lain.Â
Praktik-praktik ini menyembunyikan anggapan dasar: perempuan dapat diatur, disuruh, dan pasti ikut, tidak rewel, dapat ditangani. Pandangan seperti ini adalah bentuk dari penomorduaan, atau subordinasi.
Dalam praktik mengambil keputusan bersama, antara laki-laki dan perempuan dalam suatu lembaga tempat mereka beraktifitas bersama, sering terdapat praktik menmorduakan perempuan dalam mengambil keputusan. Istilah untuk menomorduakan perempuan dalam pengambilan keputusan ini ialah Sub Ordinasi.Â
Dimana contohnya ada pada setiap lembaga sosial, di keluarga ibu sering tidak diajak bicara dalam menentukan hal keluarga, karena Bapak dianggap memimpin; di lembaga pemerintah, perempuan sering tidak diajak bicara soal strategi, dan posisi mereka selalu ada pada level rendah tanpa mengecek soal kemampuan secara fair; di organisasi termasuk mahasiswa, banyak anggapan perempuan tidak perlu diajak, lalu mereka ditinggalkan.Â
Munculnya pandangan bahwa perempuan itu irrasional dan emosinal membuat seringkali berakibat atau terciptanya sikap memposisikan bahwa perempuan itu tidaklah penting, dan seringkali dalam hal tersebut hasilnya perempuan dianggap tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin.Â
Sebenarnya dalam soal subordinasi ini banyak sekali kasus contoh atau peristiwanya. Di Jawa saja misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidaklah usah bersekolah atau bependidikan hingga sampai jenjang sekolah atau pendidikan yang tinggi, biarlah laki-laki saja yang dalam hal ini pantas untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, toh karena pada akirnya perempuan akan berfokus untuk mengurus dapur dan keperluan lainnya yang berhubungan dengan aktifitas dalam rumah tangga.Â
Jika seperti ini bagaimana dengan Ibu R.A. Kartini sebagai pahlawan pelopor gerakan perempuan yang selalu memberikan arahan dan dorongan kepada setiap kaum perempuan agar katakanlah melaksanakan pendidikan keperempuannan.Â
Dan juga tak lupa pula dalam pandangn agama islam, bukankah seorang ibu adalah madrasah pertama (guru pertama) bagi putra-putrinya, selain ayah yang dianggap sebagai kepala sekolahnya?Â
Dengan hal ini lantas kenapa perempuan harus dihalang-halangi untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, guna mencapai cita-citanya, karena dengan begitu secara tidak langsung perempuan sedang dalam proses menanam bibit untuk bekal masa depannya ketika suatu saat nanti akan menjadi seorang ibu bagi putra-putrinya.Â
Dan juga dilain sisi pemerintah pernah menerapkan suatu peraturan, yang mana isi peraturan didalamya bahwa ketika laki-laki atau seorang suami ingin pergi belajar dan dalam hal ini akan jauh dari keluarganya dia bisa memikirkan dan mengambil keputusannya sendiri, sedangkan disisi lain ketika perempuan atau seorang istri ingin belajar ke luar negeri harus ijin kepada sang suami, dalam hal ini sebenarnya ada benarnya juga jika kita merujuk pada izinnya seorang istri pada suami, akan tetapi terkait dengan soal seorang istri bahwasanya ingin belajar jauh ke luar negeri saya kira tidak boleh kita salahkan atau kita larang karena mengacu pada hal yang telah saya utarakan diatas.
Marginalisasi merupakan istilah yang oleh Mansour Fakih dikenal sebagai praktik sosial ekonomi di masyarakat. Perempuan dianggap tidak bisa dan tidak boleh memegang kendali ekonomi, beraktifitas ekonomi secara mandiri, dan berkuasa dalam hal ekonomi.Â