Mohon tunggu...
Selamet afrian
Selamet afrian Mohon Tunggu... Penulis - Saya Mahasiswa Prodi Filsafat

Berkarya Tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengupas Jenis Ketidakadilan Gender

18 Mei 2020   06:32 Diperbarui: 18 Mei 2020   06:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Oleh: Selamet Afrian

****

Ketidakadilan gender merupakan relasi antar orang dengan mengedepankan jenis kelaminnya, dan bagaimana jenis kelamin ini mempengaruhi terhadap pikiran, sikap, dan tindakannya sesuai bayangan yang diyakini oleh masyarakat. 

Sejauh ini, bayangan jenis kelamin dalam masyarakat cenderung menempatkan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan, maka seluruh relasi sosial, kebiasaan praktik yang telah melembaga, nilai-nilai yang dikembangkan, semuanya terpengaruh oleh bayangan kelebihan jenis kelamin laki-laki ini.

Posisi perempuan dalam konteks bayangan ini adalah lebih rendah. Maka dampaknya adalah identitas, peran/tugas/kewajiban, relasi dengan orang lain dari perempuan terpengaruh oleh anggapan rendah ini. Dampak ini dalam hubungan sosial akan berujud kesempatan, partisipasi, dan kontrol yang lebih sedikit daripada laki-laki.

Gender merupakan bentukan masyarakat, yang mana ditandai dengan adanya kelompok-kelompok sosial, hubungan antar mereka, dasar-dasar aturan dan nilai pada praktik hubungan mereka, dan kebiasaan yang sudah melembaga/rutin dilakukan. 

Ketidakadilan gender dapat dicermati dari aspek sosial identitas, nilai, peran, yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dibentuk oleh masyarakat, dalam masyarakat modern dikenal ada beberapa bentuk ketidakadilan gender antara lain praktik menomorduakan perempuan (subordinasi), menyingkirkan perempuan dalam ekonomi (marginalisasi), pelabelan negatif pada perempuan (stereotipe), tindakan kekerasan kepada perempuan (violence), dan tuntutan untuk berperan ganda baik di rumah maupun di masyarakat (double burdens).

Subordinasi merupakan suatu istilah untuk menjelaskan fakta, kenyataan, praktik relasi laki-laki dan perempuan yang meletakkan perempuan sebagai level nomor dua dibanding laki-laki, nomor pertama. 

Dalam hal ini dapat dilihat praktik mengambil keputusan, baik saat kerjasama, dalam keluarga, dalam kantor-kantor publik, di tempat ibadah, di sekolah-sekolah, dan di ruang publik lainnya. 

Penomorduaan ini mewujud dalam praktik: tidak diajak musyawarah mengambil keputusan bersama, ditentukan nasibnya, ditentukan bagian tugasnya tanpa ditanya, ditinggalkan jika ada masalah penting, tidak dimintai izin dalam urusan bersama, dianggap ikut begitu saja, dan lain-lain. 

Di balik praktik ini ada anggapan subordinasi: perempuan tidak penting, dan pasti dia akan mengikut laki-laki. Konteks dalam kehidupan organisasi mahasiswa maupun dalam struktur kampus juga dapat dicermati. 

Misalnya, dosen perempuan tidak dianggap penting dibanding laki-laki, memilih mahasiswa laki-laki menjadi koordinator tanpa menanyakan kepada perempuan, mendominasi pengurusan dengan laki-laki, membiarkan perempuan karena dia diam, dan lain-lain. 

Praktik-praktik ini menyembunyikan anggapan dasar: perempuan dapat diatur, disuruh, dan pasti ikut, tidak rewel, dapat ditangani. Pandangan seperti ini adalah bentuk dari penomorduaan, atau subordinasi.

Dalam praktik mengambil keputusan bersama, antara laki-laki dan perempuan dalam suatu lembaga tempat mereka beraktifitas bersama, sering terdapat praktik menmorduakan perempuan dalam mengambil keputusan. Istilah untuk menomorduakan perempuan dalam pengambilan keputusan ini ialah Sub Ordinasi. 

Dimana contohnya ada pada setiap lembaga sosial, di keluarga ibu sering tidak diajak bicara dalam menentukan hal keluarga, karena Bapak dianggap memimpin; di lembaga pemerintah, perempuan sering tidak diajak bicara soal strategi, dan posisi mereka selalu ada pada level rendah tanpa mengecek soal kemampuan secara fair; di organisasi termasuk mahasiswa, banyak anggapan perempuan tidak perlu diajak, lalu mereka ditinggalkan. 

Munculnya pandangan bahwa perempuan itu irrasional dan emosinal membuat seringkali berakibat atau terciptanya sikap memposisikan bahwa perempuan itu tidaklah penting, dan seringkali dalam hal tersebut hasilnya perempuan dianggap tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin. 

Sebenarnya dalam soal subordinasi ini banyak sekali kasus contoh atau peristiwanya. Di Jawa saja misalnya, dahulu ada anggapan bahwa perempuan tidaklah usah bersekolah atau bependidikan hingga sampai jenjang sekolah atau pendidikan yang tinggi, biarlah laki-laki saja yang dalam hal ini pantas untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, toh karena pada akirnya perempuan akan berfokus untuk mengurus dapur dan keperluan lainnya yang berhubungan dengan aktifitas dalam rumah tangga. 

Jika seperti ini bagaimana dengan Ibu R.A. Kartini sebagai pahlawan pelopor gerakan perempuan yang selalu memberikan arahan dan dorongan kepada setiap kaum perempuan agar katakanlah melaksanakan pendidikan keperempuannan. 

Dan juga tak lupa pula dalam pandangn agama islam, bukankah seorang ibu adalah madrasah pertama (guru pertama) bagi putra-putrinya, selain ayah yang dianggap sebagai kepala sekolahnya? 

Dengan hal ini lantas kenapa perempuan harus dihalang-halangi untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, guna mencapai cita-citanya, karena dengan begitu secara tidak langsung perempuan sedang dalam proses menanam bibit untuk bekal masa depannya ketika suatu saat nanti akan menjadi seorang ibu bagi putra-putrinya. 

Dan juga dilain sisi pemerintah pernah menerapkan suatu peraturan, yang mana isi peraturan didalamya bahwa ketika laki-laki atau seorang suami ingin pergi belajar dan dalam hal ini akan jauh dari keluarganya dia bisa memikirkan dan mengambil keputusannya sendiri, sedangkan disisi lain ketika perempuan atau seorang istri ingin belajar ke luar negeri harus ijin kepada sang suami, dalam hal ini sebenarnya ada benarnya juga jika kita merujuk pada izinnya seorang istri pada suami, akan tetapi terkait dengan soal seorang istri bahwasanya ingin belajar jauh ke luar negeri saya kira tidak boleh kita salahkan atau kita larang karena mengacu pada hal yang telah saya utarakan diatas.

Marginalisasi merupakan istilah yang oleh Mansour Fakih dikenal sebagai praktik sosial ekonomi di masyarakat. Perempuan dianggap tidak bisa dan tidak boleh memegang kendali ekonomi, beraktifitas ekonomi secara mandiri, dan berkuasa dalam hal ekonomi. 

Dalam hukum, dia ditetapkan sebagai "bukan pencari nafkah". Dalam bank, dia tidak boleh bertransaksi dengan bank, kecuali atas nama suami. Dalam transaksi jual beli properti, atas nama ada pada suami. 

Pemiliki rumah, motor, kendaraan, dan lain-lain, banyak atas nama laki-laki. Jika perempuan ingin bekerja, dilarang. Jika boleh bekerja, gajinya lebih rendah. Jika gaji relatif sudah setara dalam posisi setara, posisi kedudukan tidak bisa naik ke jenjang lebih tinggi jika masih ada laki-laki. 

Fenomena ini jika terjadi perputusan hubungan, misalnya cerai, membuat perempuan terpuruk karena tidak terlatih mandiri. Ketidak mandirian perempuan salah satunya disebabkan oleh pembagian kerja gender dalam ekonomi yang meletakkannya sebagai "tidak dipercaya" ini.

Salah satu contoh lainnya ialah yang mungkin sering kita lihat atau temukan dalam lingkungan masyarakat di pedesaan, dimana misalnya dalam studi kasus program swasembada pangan atau yang sering disebut revolusi hijau. 

Dimana dalam prakteknya secara ekonomis telah membuat atau bahkan menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya, yang otomatis memiskinkan mereka dalam hal ini kaum perempuan. 

Contohnya saja sering kitajumpai/temukan dijawa misalnya di daerah pedesaan dimana dengan adanya revolusi hijau ini mengakibatkan para kaum perempuan yang sering kita sebut ibu-ibu, emak-emak dengan aktifitas kesehariannya bekerja di sawah seperti menanam, merawat, dan memanen tanaman seperti sayur-sayuran maupun buah-buahan dengan metode tradisional dan sederhana yang dilakukan oleh mereka. 

Namun ketika adanya metode revolusi hijau tersebut dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan dengan pendekatan panen yang mengunakan sistem tebang menggunakan sabit, dan tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. 

Dimana program revolusi hijau tidak dirancang dengan menggunakan aspek-aspek gender. Yang mana akibatnya para kaum perempuan yang berada di desa tersebut semakin termarginalisasi, dengan kata lain semakin miskin, tersingkir dan terpinggirkan karena tidak  mendapatkan pekerjaan disawah pada musim panen yang biasa mereka sering lakukan sebelumya. 

Walupun opsi kerja yang lainnya ada seperti berjualan kecil-kecilan (warung/ warung lesehan angkringan), namun dalam hal ini yang dilihat adalah nilai kultur atau budaya kerja petani yang berjalan turun temurun yang berada didaerah pedesaan.        

Stereotype merupakan suatu istilah untuk menandai praktik ketiakadilan gender dalam aspek nilai budaya yang berkembang di masyarakat, yang berupa tipe-tipe miring, atau label-label negatif/buruk. 

Misalnya, kata umpatan "dasar perempuan!", ditujukan untuk label kurang berfikir dan cerewet. Kata "sumur, kasur, dapur" sering diungkapkan untuk menggambarkan peran perempuan, sekaligus untuk membatasi geraknya saat harus berbagi peran. 

Dalam memperhatikan kesalahan perempuan, akan muncul kata-kata yang merupakan label buruk, yang dibawa dari keyakinan umum, yang bersumber dari nilai patriarki, bahwa laki-laki merupakan keutamaan makhluk dan panutan. 

Sebenarnya stereotype ini secara umum merupakan suatu penanda ataupun suatu pelabelan terhadap suatu kelompok terentu, yang mana katakanlah sifatnya dianggap selalu negatif, menghasilkan celaka dan menciptakan suatu ketidakadilan. 

Salah satu contoh stereotype ini sering sekali tertuju dan diberikan kepada suku bangsa tertentu, misalnya Yahudi di Barat, dan Cina di Asia Tenggara, dimana hal tersebut telah mengakibatkan ataupun dengan kata lain merugikan budaya suku bangsa tersebut.

Dan seringkali juga stereotype ini tertuju atau di tujukan dalam berbagai narasi modernisme, dimana acap kali memunculkan perdebatan antara paham modernisme dengan paham tradisionalisme yang mana mungkin karena dalam hal ini seringnya kaum modernism melakukan pelabelan terhadap budaya mereka sendiri, yang mana seakan-akan bahwa budaya mereka itulah yang katakanlah menjadi budaya yang hebat ketimbang budaya kaum tradisionalisme, dari segi aspek bidang apapun itu. 

Beberapa diantaranya dalam bidang kesenian, dimana hanya musik-musik klasik lah yang dianggap memiliki citra Adi Luhung dan memenuhi kriteria estetika, sedangkan musik pop yang selalu dinikmati/dikonsumsi oleh kita, pun juga dinikmati secara massal tidak termasuk kedalam hitungan, dalam bidang tata letak kota, dimana hanya tata letak kota yang kontruksi bangunannya mega politanlah yang dianggap sebagai dan bisa dinilai secara modern.

Sedangkan kontruksi bangunan ala tradisional dianggap primitif dan kuno, dalam segi arsitektur, dimana hanya arsitektur yang bergaya ala internasional lah yang dianggap bagus, keren, dan boleh dibilang mempunyai nilai arsitektur yang sangat tinggi, sedangkan arsitektur yang berbau tradisional, lokal, dan popular, tidak memiliki citra nilai estetika, dalam hal bidang kebudayaan, hanya kebudayaan Barat (Eropa-Amerika) lah yang dianggap budayanya beradab, sedangkan kebudayaan lokal Timur (Asia-Afrika) yang budayanya dianggap atau disebut biadab. Dan masih banyak lagi berbagai macam contoh pelabelan yang dilakukan terhadap kaum modernisme terhadap kaum tradisionalisme yang tak jarang mengakibatkan terjadinya berdebatan dan pertentangan antar keduanya.

Namun dalam hal ini yang akan menjadi pembahasan adalah terkait stereotype yang merujuk kepada praktik ketidakadilan gender, dimana sering sekali dan tidak jarang seorang laki-laki melakukan pelabelan terhadap perempuan. 

Bukan hanya terdapat didalam hubungan rumah tangga akan tetapi juga sering kita lihat atau temukan didalam kehidupan masyarakat, dimana contohnya adalah terkait dengan suatu penandaan yang muncul dari asumsi yang menyatakan bahwa, pada saat perempuan bersolek merupakan dalam rangka untuk memancing laki-laki atau lawan jenisnya dalam hal ini maka dalam beberapa kasus yang berhubungan dengan kekerasan ataupun pelecehan sekseual tertuju atau dikaitkan pada stereotype ini. Bahkan setiap ada kasus yang muncul salah satunya ketika ada seorang perempuan yang memngalami pemerkosaan yang dialami oleh perempuan maka dalam hal ini masyarakat cenderung menyalahkan korbanya. 

Maka dalam hal ini masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan ialah melayani suami. Stereotype ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan dinomor duakan.            

Praktik kekerasan (violence) adalah praktik tindakan dari satu pihak kepada pihak lain yang mengakibatkan pihak lain merasa tersakiti dan terugikan, baik secara fisik, emosi/mental, ekonomi, maupun seksual/tubuh. 

Dalam alam patriariki, laki-laki sangat rentan menjadi pelaku kekerasan, sebaliknya perempuan rentan menjadi korban. Dalam rumah tangga, KDRT biasanya dilakukan oleh Bapak, kepada Ibu. Nanti Ibu, lalu berperilaku kekerasan kepada Anak. Anak cowok akan melakukan hal sama kepada adiknya/kaknya yang cewek. 

Nanti anak ini akan berperilaku kepada orang lain dengan cara sama yang selalu berputar dan membulat. Sebenarnya ada beberapa banyak contoh kasus terkait dengan perlakukan/praktik kekerasan (violence) ini. 

Bukan hanya dari segi perlakuan fisik maupun psikologi mental, tetapi juga dalam prakteknya ada beberapa bentuk yang dikategorikan ke dalam bentuk kekerasan yang berkaitan dengan pelecehan seksual: dari mulai melakukan sebuah lelucon dengan mengatakan kata-kata jorok dan vulgar terhadap seseorang dengan cara yang dirasa sangat ofensif, menjadikan seseorang merasakan malu dengan ucapan yang kita utarakan dan omongan dengan kata-kata kotor, melakukan introgasi kepada seseorang terkait dengan kehidupan ataupun kegiatan seksualnya yang mana hal tersebut adalah suatu aib yang juga merupakan privasi pribadi dan tidak pantas untuk di bicarakan. 

Dari beberapa hal diatas tersebut itu kebanyakan dan tidak jarang sering tertuju kepada kaum perempuan, apalagi jika kita lihat di dalam ruang lingkup pergaulan yang katakanlah bebas. 

Kekerasan ketidakadilan gender juga sering sekali dimanfaatkan, dengan diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi yang mana berakibat merugikan bagi kaum perempuan. 

Tidak jarang masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual. Namun disatu sisi pemerintah menangkap mereka dan melarang hal tersebut, dan disisi lain pihak negara mendapatkan/menarik jatah pajak dari mereka. 

Juga dalam hal ini masyarakat menganggap sangat rendah terhadap pekerja seks dalam hal ini pelacur, namun disisi lain anehnya banyak sekali masyarakat yang senang mengunjungi tempat-tempat pusat kegiatan mereka tersebut yang dianggapnya sebagai tempat hiburan, yang ramai dikunjungi oleh orang. 

Kekerasan ataupun pelecehan juga bukan hanya sering kita jumpai di dalam hubungan rumah tangga/keluarga, akan tetapi juga tak jarang sering kita jumpai di tempat-tempat umum seperti kekerasan terselubung, yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh  perempuan dengan berbagai macam cara, dan tidak adanya kerelaan si pemilik tubuh tersebut, kekersan jenis ini seringkali kita jumpai di tempat-tempat umum salah satunya didalam alat transportasi umum seperti kereta ataupun bus yang mana hal tersebut merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi kaum perempuan.      

Double Burdens merupakan suatu respon Mansour Fakih atas ideologi pembangunan dari negara, yang meletakkan "peran ganda perempuan". Perempuan modern dituntut aktif di luar rumah, tapi sebagai orang Timur, dia juga harus aktif di dalam rumah. Jadi, sama-sama kerja antara suami istri, menghasilkan uang bersama, tapi begitu masuk rumah: perempuan harus melayani keluarga, melayani suami, melayani anak. Sementara suami, laki-laki, bebas. Ini adalah bentuk ketidakadilan. 

Beban kerja ganda ini identik dengan budaya patriarki, maka dengan adanya beban kerja ganda ini saya pribadi sangatlah tidak setuju, yang mana hal tersebut selain munculnya suatu ketidakadilan disisi lain juga merupakan diskriminasi. 

Menyoal akan tugas dari perempuan yang sangatlah banyak. Dari mulai mengurusi anak, mencuci pakaian, mencuci piring (alat dapur), memasak, dan tugas rumah tangga lainnya. 

Namun ada juga peran lain yang bahkan sering dilakukan oleh perempuan seperti mencari nafkah dan terjun didunia politik, dimana kedua tugas tersebut sering dianggap oleh banyak orang baik dari pandangan laki-laki maupun pandangan perempuan sendiri merupakan tugas yang dominan dilakukan oleh kaum laki-laki ketimbang kaum perempuan. Karena sebenarnya untuk tugas yang berhubungan dengan rumah tangga lebih diperuntukkan untuk laki-laki ketimbang perempuan. 

Akan tetapi tetap ada tugas ataupun peran yang dilakukan oleh perempuan, namun tetap harus dihilangkan sikap diskriminasi. Karena disisi lain dalam islam pun tugas pekerjaan didalam kehidupan rumah tangga adalah milik seorang laki-laki, sedangkan tugas perempuan pada dasarnya katakanlah hanya untuk melayani suami. Namun kembali lagi hal tersebut menyoal terkait soal gender (hubungan antara laki-laki dan perempuan) yang mana secara substansi berkaitan dengan relasi taraf sosial dalam suatu masyarakat.

Keadilan merupakan suatu situasi relasional antar pihak-pihak yang berhubungan, syarat dari wujudnya keadilan adalah adanya kebebasan memiliki dan menentukan dari pihak-pihak yang berhubungan. 

Keterpaksaan dan kekangan menghilangkan makna keadilan, karena subyek manusia dinilai sebagai obyek dari yang lain, keadilan gender memiliki konteks kemunculan dari kekangan gender, bersumber dari nilai dan budaya patriarki. 

Keadilan gender dalam relasi laki-perempuan mensyaratkan adanya: akses/daya jangkau yang sama atas masalah dan keputusan bersama, partisipasi/keterlibatan yang setara dalam menentukan dan mengatasi masalah, dan kontrol/kuasa yang setara dalam menentukan keputusan bersama.

 Tiga indikator akses, partisipasi dan kontrol ini dapat digunakan untuk mengecek, apakah hubungan laki-perempuan dalam semua level setara dan adil atau sebaliknya, yakni tidak adil.

*Cirebon, 18 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun