"Aku ingin melihat rumahmu di sana, Jos. Tempat di mana tak ada sekat bernama rindu antara kamu dan ibumu," kata Diandra sehari sebelum kami berangkat.
Aku tidak tahu bagaimana kondisi rumahku sekarang. Aku bahkan ragu rumah itu masih ada. Aku sudah meninggalkannya belasan tahun lalu. Â Semoga saja masih tetap begitu.
Dan, memang begitu adanya, meskipun bukan hal yang mudah menyusuri sepanjang jalan ke sana. Ada sakit hati yang menggelegak di antara ribuan pohon kopi yang kulihat di sepanjang jalan. Rinduku berlesatan di hamparan hijau yang mahaluas. Tiba-tiba saja, keinginanku untuk memasuki rumah terasa sedemikian besar.
Namun, langkahku berhenti ketika kulihat seorang laki-laki muncul dari dalam. Wajah sepuhnya menampakkan kombinasi antara haru, kaget, sekaligus bahagia. Ya, dia adalah pamanku. Olehnya, rumah ini terlihat masih layak dihuni atau setidaknya masih tampak berpenghuni.Â
"Untuk apa?" tanyaku ketika ia bercerita tentang bagaimana ia merawat rumah ini.
"Jos," lekat, mata Paman menatapku. Aku hampir saja tak kuasa memandang sorot  matanya yang begitu teduh. Lantas, ia menyentuh pundakku, "Paman percaya bahwa entah kamu atau ibumu, suatu saat, akan kembali ke rumah ini." suara Paman bergetar.Â
Paman benar. Aku memang kembali, dan tidak sendirian. Ada Diandra bersamaku saat ini, di kamar ini, ruang yang dulu mengiringi aku tumbuh.
Kami duduk di tepi tempat tidur, memandang ke arah jendela yang terbuka. Tampak di kejauhan, perkebunan kopi tempat Ibu dulu menghabiskan banyak waktunya. Pemandangan yang tak pernah kulupa, bahkan ketika aku pergi ke Jakarta. Pemandangan yang sesungguhnya selalu memanggilku untuk pulang. Pemandangan yang lebih memikat lagi jika dinikmati berdua.
Lamat-lamat, aku teringat tentang suatu sore yang temaram. Diandra menyeduh kopi untukku. Satu cangkir kecil, tetapi sanggup menumbuhkan rindu yang menyesakkan dada. Satu cangkir kecil, tapi begitu digdaya melemparkanku pada sepanjang setapak bernama 'kenangan'. Satu cangkir kecil, tetapi sanggup membuatku bersepakat dengan ucapannya, bahwa semua aroma kopi menguarkan ketenangan. Satu cangkir kecil itu seduhan Arabika Flores yang ia buat pertama kali untukku.
Rinduku memang telah terbayar, Â tetapi cintaku untuk Diandra baru saja bertumbuh dan akan tetap ada. Seperti aroma Arabika Flores, yang selalu kusimpan, kubawa ke mana pun aku pergi.
---