"Sebab, dengan begitu, rinduku sedikit terobati."
Seketika, Diandra menghunjamku dengan tatapannya. Tatapan yang haus akan penjelasan.
"Di, kamu pikir dari mana aku mewarisi kulitku yang nyaris perak dan begitu kasar ini?" Aku mengamati wajah Diandra. Menyusuri setiap lekuk yang tampak di sana. Entah mengapa, aku selalu merasakan segalanya lembut dan jernih.
"Dari orang Eropa keparat."
Diandra masih terdiam. Berusaha menyusun puing-puing kalimat yang mulai aku susun. Kepadanya kuceritakan bahwa ibuku menikah dengan seorang turis dari Eropa yang bahkan namanya pun aku lupa. Ibuku salah seorang petani kopi di Flores. Urat-urat tangannya telah berkawan dengan biji-biji Bajawa. Aroma kopi Bajawa mengaliri seluruh relung-relung kehidupannya. Bahkan, dari Bajawa-lah ia mengenal seseorang yang tak lain adalah ayah kandungku. Orang itu membawa Ibu pergi dari kehidupanku hingga aku nyaris tak punya kenangan bersamanya. Satu-satunya yang aku ingat, Ibu selalu memperlakukan biji-biji kopi layaknya manusia. Memperlakukan seakan-akan biji-biji kopi itu adalah denyut nadi yang membuatnya hidup, yang mengaliri seluruh peredaran darahnya.
Pada Bajawa, ada setitik rindu dan benci yang nyaris tak bisa kutakar. Kharismanya melenakan sebagian besar orang-orang Amerika dan Eropa, tetapi juga sanggup membuatku merasa terlempar jauh pada sebuah perasaan bernama 'sendiri'. Tak punya siapa-siapa.
"Dan, soal rindu?"
Kuputar posisi tubuhku ketika Diandra menanyakan itu. Kini, wajah kami hanya berjarak satu genggaman tangannya. Satu tangan Diandra berada dalam genggaman dua tanganku. Aroma kopi di dalam rengkuhan jari-jarinya menerbitkan rindu yang menusuk-nusuk. Membawaku pada lorong panjang yang selama ini enggan aku jelajahi. Pada cara Diandra menyentuh serbuk-serbuk kopi, aku melihat ibuku. Pada caranya menghirup aroma kopi, pada caranya menuang air dengan suhu tertentu, semua membuat rinduku berdenyar-denyar, tetapi juga membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian. Aku punya seseorang. Dan, itu adalah dirinya.
***
Aku dan Diandra baru saja tiba di Bandara Turelelo, Bajawa. Perjalanan yang cukup melelahkan. Soetta, El Tari, lalu Bajawa. Jika bukan karena rindu yang menggelembung besar, tentu jarak ini enggan aku tempuh.
Berkat Diandra, aku kembali menjejak tanah kelahiranku, Bajawa, Flores. Ia setengah memaksa, begitu saja mengirimkan tiket elektronik kepadaku, bahkan tanpa mengabari lebih dulu. Beruntung Mario bersedia bertugas sendirian untuk satu minggu.