"Kenapa?" tanya Diandra setelah kami sampai di kamar kosku. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Â "Kamu memikirkan sesuatu?"
Aku menggeleng, memberinya jawaban. Ia lantas berjalan ke meja kecil di sudut kamar. Melihat persediaan beberapa jenis kopi kesukaanku. Giliranku merebah di sofa, menunggunya membuatkan kopi untukku.Â
Tangan Diandra tak kalah mahir meracik kopi. Aku suka dengan caranya mengambil serbuk kopi dari kemasan. Suka dengan caranya menghirup aroma serbuk itu sampai nyaris menyentuh ujung hidungnya sambil memejamkan mata. Seolah-olah itu adalah ritual yang tak boleh dilewatkan. Seolah-olah dengan melewatkannya, Â akan menghancurkan cita rasa racikan kopi tersebut.
Namun, Diandra tak membuatkan kopi untukku. Yang ada di genggamannya adalah satu kantong kecil biji kopi yang kusimpan di lemariku. Aku merasakan tangannya mengelus lututku. Lembut. Sangat lembut.
"Arabika Flores," ucapnya lirih.
Aku bangkit dan duduk di sisinya. "Bajawa," sambungku. "Perkebunan paling tinggi di Bajawa."
Aku tak tahu apakah Diandra paham ucapanku.
"Artinya, kopi dengan cita rasa paling enak," ia menambahkan. Membuatku semakin yakin bahwa ia tak hanya pintar soal teori mengolah kopi, tetapi juga mengerti asal usulnya.Â
"Bersyukurlah, Jos, perutmu cocok dengan jenis  kopi apa pun. Tak sepertiku," Diandra masih menciumi aroma kopi itu pada satu tangan sementara tangan yang lain kembali mengelus lututku. Menepuknya beberapa kali.
"Tidak untuk yang satu itu." ucapku nyaris menggumam. Kukira, Diandra tak mendengar, tetapi aku salah. Matanya merongrong sebuah penjelasan dariku. "Hiruplah kopi itu lama-lama."
Wajah Diandra terlihat bingung. Â Â