"Iya, itu karena lambungku rewel. Hanya bisa menerima satu merek, tidak mau dengan yang lain."
Mario muncul dari belakang. Kulihat ia membalik tanda 'Buka' menjadi 'Tutup' di pintu. Kulihat jam dinding, ini bahkan belum pukul sembilan malam, masih kurang lima menit. Lalu, terlintas sesuatu di pikiranku.
"Diandra, maukah kamu menungguku beberapa menit sementara aku membereskan konter?"
"Untuk apa?"
Aku menghela napas lagi. Mencoba meredam detak jantung yang makin sialan saja iramanya. "Boleh aku temani kamu pulang?" tanyaku.
Tiba-tiba Mario sudah berada di samping meja, memberikan cengiran super menjengkelkan seperti biasanya. Ia menepuk bahuku sambil berkata, "Biar aku yang beres-beres, Jos. Tidak banyak kekacauan malam ini, jadi, ya, tidak akan makan waktu lama untuk beberes. And, you! Please, do something you have to do, my friend."
Begitu saja, lalu Mario bergerak lagi ke balik konter. Kadang aku ingin sekali membungkam mulutnya dengan kantong-kantong bekas bungkus kopi. Akan tetapi, di mana lagi aku bisa menemukan teman sepengertian Mario? Ia memang agak menjengkelkan---mungkin karena ia tidak pernah pura-pura bersikap baik---tetapi rekan kerjaku itu selalu jujur.
"Ehm, ya, rezeki tak boleh ditolak," kataku kepada Diandra. "Tunggu sebentar."
Diandra mengangguk. Kulihat sekilas sebelum aku bangkit dari kursi, ia kembali menyesap sisa kopinya.
*** Â
Ini adalah malam kesekian yang kami lewati berdua. Temaram lampu jalan mengiringi langkah-langkah kakiku dan Diandra. Gerimis turun tipis, persis ketika untuk pertama kali aku mengantar Diandra pulang. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan sekali bagaimana malam memihakku. Memihak kesendirianku.