"Jangan dulu berpindah dunia, Al. Dia membutuhkanmu. Lebih membutuhkanmu dibanding aku membutuhkanmu."
"Apa maksudnya?"
Maya tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Perlahan, sosoknya memudar, berganti sosok lain yang lebih nyata.
"Nak?" Seorang pria paruh baya menepuk-nepuk bahu Al. "Bangun, Nak."
Mata Al perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya sore yang terang. Ia sedikit heran, benarkah ia bangun masih di hari yang sama. Bukankah tadi langit begitu gelap dan petir menyambar-nyambar, tanyanya dalam hati.
"Siapa namamu, Nak?" tanya sosok di hadapan Al.
"Nama?" Al mendadak bingung.
"Ayo, Nak. Kita hangatkan diri di rumah saya," ajak pria tadi sambil menuntun tubuh Al yang masih belum mendapat keseimbangan berjalan.
Tak jauh dari pusara Maya, tepatnya di tepian komplek pemakaman, terdapat sebuah rumah kecil. Sederhana, namun bersih dan nyaman. Itulah kesan yang ditangkap Al sekilas setelah melihat rumah yang ternyata milik penjaga kompleks pemakaman itu. Al duduk di amben, sebuah tempat duduk lebar dan agak panjang yang terbuat dari bambu. Sementara pria tua tadi masuk ke dalam rumahnya, Al duduk bersila di amben sambil melepas pandangan ke arah kompleks pemakaman itu. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat dengan jelas pusara Maya.
Tak berapa lama, pria tua tadi kembali ke teras dan menemani Al duduk di amben. Kemudian, muncul seorang gadis yang membawa nampan. Gadis itu meletakkan satu cangkir berisi kopi hitam, satu gelas besar berisi teh hangat --- masih terlihat uap mengepul dari cairan berwarna merah kecokelatan itu --- dan sepiring singkong rebus.
"Duduklah dulu," ujar pria tua tadi kepada si gadis. Rupanya gadis itu adalah anaknya. Lalu, ia beralih melihat Al. "Nama saya Dahlan dan ini putri saya. Kamu sudah mengingat siapa namamu, Nak?"