"Kamu serius, Honey? Bukannya kamu pernah bilang agak kesulitan menyetir malam hari tanpa kacamata?"
"Mataku masih normal, Al. Minus tiga per empat bukan masalah. Dan, ya, aku serius, Honey. Sekarang menepilah, dan biarkan aku menyetir," jawab Maya tanpa beban.
Al menepikan mobilnya, berhenti, dan membiarkan Maya mengisi bangku pengemudi. Ini adalah perjalanan yang panjang, dan ini Sabtu malam. Bukan malam minggu namanya kalau jalanan tidak ramai, bahkan saat ini hampir bisa dikatakan macet. Tetapi, di situlah sensasinya. Maya sangat menyukai suasana itu.
Malam semakin tua. Jam di tangan Al menunjukkan pukul sebelas malam. "Kamu tidak mengantuk, Honey?" tanya Al.
"Belum. Kantukku hilang sendiri kalau sudah pegang setir," jawab Maya. Lagi, gadis itu melempar senyum dengan makna aneh menurut Al. "Hei, kenapa dari arah berlawanan jalanan sepi sekali? Hanya motor-motor yang lewat," tiba-tiba Maya mengubah topik percakapan.
"Aku kurang paham, Honey. Mungkin memang jarang orang yang bepergian ke arah kota."
"Aku akan coba menyalip. Tanjakan ini tidak terlalu curam."
"Kupikir sebaiknya jangan, Maya."
Jika Al menyebut nama Maya, berarti ia sedang tidak ingin disanggah. Ucapannya serius dan ia berharap Maya menuruti apa yang ia katakan. Dan, memang, menyiap (istilah keteknikan untuk menyalip -- pen) di daerah tanjakan sangat berbahaya.
"Ah, tidak apa-apa. Kamu lihat sendiri, kan, lajur sebelah sepi sekali?"
Perlahan Maya membelokkan mobil ke kanan dan melaju di lajur menuju Bandung. Dua puluh meter pertama, tidak ada hambatan. Lalu, Maya menambah kecepatan mobil Al.