"Aku tidak pernah melarangmu menangis, kan? Dengan melihatmu menangis, berarti aku tahu, kamu memang mencintaiku dengan tulus."
"Benar, kamu Maya?"Â Al masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menengok ke pusara Maya, lalu kembali memandang sosok yang berwujud seperti Maya di hadapannya.
"Iya, ini aku," sahut sosok tadi. "Jangan takut, Al. Aku cuma ingin melihatmu sekali lagi. Karena, aku tidak suka, kamu sepertinya belum rela aku pergi dari dunia ini."
"A---aku... tidak sanggup... untuk menangis, Maya..."
Sosok Maya itu tersenyum, lalu bergerak mendekati Al. Dan, sekarang sosok itu sudah di samping Al, ikut memandangi pusara yang masih baru itu.
"Selama hidup, aku tidak pernah punya orang-orang yang begitu mencintaiku. Orang tuaku..., kamu sudah tahu bagaimana orang tuaku. Sepertinya sudah ratusan kali kuceritakan soal mereka padamu. Mereka hanya memanjakanku dengan uang, bukan dengan kasih sayang." Maya memandang Al. "Mengenalmu, mungkin itu bulan-bulan terindah dalam hidupku. Singkat, tapi indah."
Tiba-tiba, satu tetes cairan bening mencuri keluar dari liangnya, membasahi pipi kiri Al, dan akhirnya jatuh ke bumi. Sosok Maya memalingkan wajahnya ke arah Al, lalu tersenyum.
"Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, Al," ujarnya, lalu tersenyum kepada Al.
Sosok Maya memudar, lalu benar-benar hilang dari hadapan Al. Meninggalkan Al dengan satu lagi tetes bening yang meluncur dari sudut matanya.
***
Hari ini Al tidak ingin berlama-lama duduk berdoa di atas pusara Maya. Selalu teringat olehnya masa-masa ketika mereka bersama memadu cinta. Dan, itu agak menyesakkan dadanya. Aku harus bisa keluar dari dalamnya kesedihan ini. Aku tidak boleh larut terlalu lama dalam kepedihan hati ini. Bergemuruh banyak hal dalam hatinya.