Sepeninggal Maya, Al memang seperti tak punya pegangan hidup. Beberapa pekerjaannya terbengkalai, sampai-sampai sekretarisnya kerepotan menerima komplain dari pegawai lain. Selepas bekerja, Al tidak pernah langsung pulang. Ia pasti singgah ke makam Maya.
"Ini sudah hari keseratus," Al menyentuh nisan Maya. "Apa kamu bosan, terus-terusan aku sambangi? Kuharap tidak."
Angin membelai lembut wajah Al. Matanya terpejam. Ia menikmati embusan angin seolah-olah itu sentuhan tangan Maya. Makin lama, angin makin kencang, membawa serta arak-arakan kelabu di atas sana. Sebentar lagi air akan tumpah dari langit. Al kembali membuka mata, pusara Maya sudah dijatuhi butir-butir air hujan. Namun, Al masih saja berada di tempat yang sama.
"Kadang aku berpikir untuk terjun saja dari tepi fly over, Maya. Kupikir itu cara tercepat untuk sampai ke tempatmu."
Tiba-tiba, di tengah hujan yang mulai menderas, suara petir menggelegar dengan gagahnya.
"Ya, ya. Aku tahu, kamu tidak akan setuju. Tapi, bagaimana kalau aku memaksa?" kata Al lagi.
Petir kedua kembali menggelegar, kali ini lebih keras. Dan, hujan juga tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin lebat.
"Kamu tahu, Sayang?" Al membelai lagi nisan Maya. "Aku lupa seperti apa rasanya kehilangan, sampai aku kehilangan kamu. Waktu ayahku meninggal tiga tahun yang lalu, aku masih bisa tertawa, masih bisa berpikir logis. Yah, masih bisa apa saja. Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang sama ketika kamu pergi, Sayang. Aku tahu, ada yang salah di otakku. Mungkin terlalu banyak terisi dirimu."
Al tersenyum getir. Ia merasa dirinya tengah melayang-layang di sebuah tanah lapang. Ia melihat sesosok tubuh bersimpuh di dekat sebuah pusara. Air hujan menghantam tubuh tegap sosok berkemeja biru muda itu. Lalu, ada sebentuk tangan yang tiba-tiba saja menggenggam jemari Al yang masih saja melayang-layang.
"Waktumu belum tiba, Al. Masih banyak yang belum kamu rasakan."
Itu suara Maya, batin Al. Ia melihat sosok yang ikut juga melayang-layang di sampingnya, ternyata memang Maya.