“Iya bu, mang ada apa bu ?”
“Nggak dulu tante pernah jadi orang sana terus. . . . . ”
“Ibu pindah kesini ??” Aku mencoba melengkapi jawabannya. Namun Ibu itu ternyata diam, tak bergeming sama sekali. Terus dihisapnya sebatangan yang tinggal beberapa hisapan lagi. Selang beberapa detik, teh dan kopi datang diatas satu nampan. Hampir saja Abang-abang itu salah menaruh antara kopi dan teh.
“Dulu Dek, tante pernah jadi orang sana ! tapi diusir, akhirnya tante kabur kesini”
“Emang diusir sama siapa bu ?”
“Sama keluarga tante sendiri, jangan panggil Bu akh !! nggak enak didengarnya.”
“Baik bu, eh !! ma’af Tante”
Ibu itu menyeruput kopinya yang masih panas, terlihat asap tipis menari diatas gelas.
“Beginilah hidup Dek, niat baik tidak selamanya dibalas dengan kebaikan pula. Buktinya Tante dituduh selingkuh !! mentang-mentang dulu anak pelacur !! Haarghh . . . manusia . . . manusia” Sambil meletakan gelas disebelah, terlihat matanya sedikit berkaca.
“Terus gimana suami Tante ?? Apa langsung percaya sama tuduhan orang-orang ?”
“Orang kan kalau sudah benci, segala cara dilakukan, yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Dengan berbagai fitnah akhirnya dia percaya dan langsung menceraikan saya, bahkan mengusir saya dari kampung itu.” Tiba-tiba Ibu itu begitu mudah melontarkan kata-kata, seperti mendongengkan anaknya sebelum tidur.
“Kenapa Ibu tidak lapor polisi atau lurah??”