Mohon tunggu...
Wahid Satunggal
Wahid Satunggal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Orang yang selalu berdamai dengan mimpi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terlupakan!

5 Maret 2012   12:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di sebuah warung remang-remang yang sudah mulai sepi. Seorang wanita yang kutaksir sekitar 35 tahun usianya, tengah menghisap sebatang Djarum.  Dengan dandanan menor, mulai dari lipstik yang melewati garis bibir hingga bedak yang  hampir menutupi warna asli kulitnya. Baju yang dikenakannya pun terlihat jadul, sepertinya ingin ikut mode tapi terhalang informasi yang sulit dijangkau, atau memang sudah berusaha tapi tidak mampu membelinya.

Hujan sudah sejak tadi berhenti dan kini tinggal rintik-rintik kecil yang semakin memekat malam. Jalanan dibuatnya basah dengan beberapa genangan air yang terpajang diatas aspal.  Wanita itu terlihat  lesu duduk diatas bangku panjang menekuk kakinya sambil terus jarinya memainkan sebatang rokok yang masih menyala. Tatapannya terlihat kosong seperti telah kehilangan sesuatu. Kepulan asap yang mengitari wajahnya terus membumbung tinggi ke angkasa. Sambil menengadahkan wajahnya kelangit, seperti berharap sesuatu.

Saya menepikan motor, tepat dipinggir bangku panjang itu. Si Ibu terlihat diam tanpa gerak. Dalam hati semoga ia memberikan ruang untuk duduk dan melepas lelah. Setelah seharian mengitari ganasnya Ibu kota. Ternyata dugaanku benar, Ibu itu mau menggeser tempat duduk, bahkan menawarkan sesuatu.

“Mau rokok Dek, ??” Sambil menyodorkan bungkus yang tinggal beberapa batang.

“Eh !! enggak bu, makasih.” Kemudian Ibu itu kembali meluruskan pandangannya menatap  malam dengan emosional. Sebenarnya agak canggung duduk disamping perempuan yang sudah memiliki banyak gelar, mulai dari kupu-kupu malam, benalu malam, pelacur, wanita jalang, dan masih banyak lagi sebutan yang sedikitpun tidak menunjukan kebaikan.

Tapi saya optimis, dari gerak-geriknya sama sekali tidak menunjukan ambisi untuk disunting secara kontrak. Dia terlihat santai bahkan sikap ramah yang jarang dimiliki wanita semacamnya dia nampak punya. Mungkin dia tahu dari wajah saya yang masih berumur belasan.


Sementara angin malam kian mendesau, udara dinginnya menembus switer hingga kedalam.  Aku pun beranjak untuk memesan teh hangat dari warung remang itu. Terdengar dari dalam alunan musik dangdut yang sudah tak murni, tercampur genre disko. Dan sesekali bersama arah angin, tercium bau alkohol bercampur asap rokok. Sebangun :  sebelum saya kembali ketempat duduk, wanita itu berdiri seraya berteriak sambil mengangkat wajahnya. “Bang !! kopi kurang manis satu !!“  Kemudian kami duduk secara serentak dengan wajah yang sama berbeda.


“Na. . . na . . . na” Perempuan itu mencoba mengikuti lagu yang sama sekali tak hafal liriknya, hanya mengusir sepi mungkin.

“Kemalaman Dek, emang dari mana ?”

“Oh,. . . iya bu, saya dari Kampung Melayu, mau cari alamat ko belum ketemu-ketemu !”

“Kampung Melayu !!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun