Mohon tunggu...
Kak Ian
Kak Ian Mohon Tunggu... -

Paling benci dengan pembully dan juga benci dengan orang-orang yang dengki sama orang yang sukses. Karena mereka adalah penjahat yang nyata!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng Kunang-kunang yang Keluar dari Mulut Tulus

29 September 2017   20:20 Diperbarui: 29 September 2017   20:38 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, seperti malam-malam lainnya kami bermain petak umpet, galasin dan bentengan di tanah lapang. Aku bersama Tulus, Seno dan Agus bermain penuh kecerian anak-anak.

Tapi untuk malam itu Eka, Maesa, Fira dan Ayu tidak datang. Hanya kami yang bermain petak umpet, galasin dan bentengan. Padahal kami sudah menunggu mereka.

Akhirnya dengan penuh kekecewaan kami membatalkan untuk bermain petak umpet, galasin dan bentengan malam itu. Tapi kekecewaan itu tidak lama karena Tulus malam itu mempertunjukkan kebisaannya mendongeng pada kami. Semua terhibur.

Sedangkan aku? Tidak!

"Masa, sih, kunang-kunang itu asalnya dari kuku orang mati lalu menjelma menjadi hantu jahat?" ucapku merasa tidak yakin dengan dongeng yang diceritakan Tulus.

"Iya, Lus, bagaimana Kunang-kunang itu bisa tercipta?" timpal Seno penasaran.

"Sabar. Sabar, Teman!" kata Tulus. "Pasti aku selesaikan dongeng ini. Tapi apa teman kita yang satu itu mau mendengarkannya juga sampai selesai," lanjutnya.

Seno dan Agus melirik ke arahku. Ekor mata mereka mengarah padaku.

Aku terpojok. Kulihat ekor mata mereka semua menyorot padaku.

"Silakan dilanjutkan saja! Aku siap mendengarkannya," Pungkasku.

Tidak lama acara seperti mendengarkan pendongeng ulung yang sedang pentas di atas panggung pun usai. Kami langsung berpencar. Pulang ke rumah masing-masing. Seno dan Agus rumahnya berdekatan---bisa pulang bersama. Tulus, ia seperti biasa mengayuh sepedanya. Pulang menggunakan sepeda ontelnya. Sedangkan aku harus pulang seorang diri.

"Besok malam kita ke tempat ini lagi ya? Tapi aku harap Eka, Maesa, Fira dan Ayu bisa ikut serta. Kita bisa bermain bersama-sama lagi," pesan Tulus memberitahukan kami sebelum mengakhiri perpisahan usai mendengarkan dongeng darinya.

"Siap, Lus!" koor Seno dan Agus serempak.

"Oke, kalau begitu. Sampai ketemu besok malam ya."

Kami pun bersama-sama memutuskan mengakhiri percapakan malam itu. Lebih tepatnya untuk tidak melanjutkan dongeng yang Tulus ceritakan pada kami malam itu.

Malam itu aku tidak bisa memejamkan mata. Walaupun sudah aku paksakan untuk meniduri mataku ini. Lagi-lagi tetap saja dongeng yang diterakan Tulus di tanah lapang itu terus mengusik benakku. Sampai-sampai aku tidak bisa terpejam.

"Kamu belum tidur, Sayang?" Ibu menyembulkan mukanya dari balik pintu kamar.

"Mata Zul belum mengantuk, Bu," jawabku.

"Memang kenapa, Sayang?" tanya Ibu kembali lembut.

"Apa benar Bu kalau Kunang-kunang itu dari kuku orang mati lalu menjelma menjadi iblis jahat?" lontarku polos saat itu.

Kulihat Ibu menyunggingkan pelangi terbalik dari mulutnya. Ibu tersenyum.

"Begini, Sayang. Menurut mendiang Nenekmu sewaktu Ibu masih kecil seperti kamu. Ibu pernah diceritakan oleh Nenekmu dongeng tentang Kunang-kunang.

"Asal Kunang-kunang itu bermula dari sebuah sayembara mencari pasangan di sebuah kerajaan Cyera. Dan yang membuat sayembara itu adalah Putri Helena. Putri Helena itu sangat cantik, matanya lentik, kulitnya resik, dan rambutnya panjang terurai, tentunya selalu menyimpulkan senyum. Hingga banyak Pangeran Putra Mahkota dari kerajaan-kerajaan di Eropa ingin memiliki dirinya. Tapi tak seorang pun yang berkenan di hati Sang Putri. Hingga akhirnya ia membuat sayembara itu. Apalagi Paduka Raja tidak ingin mengecewakan para pangeran-pangeran itu. Paduka Raja pun menyetujui persyaratan itu. yakni mengadakan sayembara berupa teka-teki dari mulut Putri Helana sendiri."

"Lalu apa sayembara teka-teki itu, Bu?" aku makin penasaran.

Ibu membenarkan letak duduknya.

"Baiklah, Sayang! Kalau siang ia tak tampak. Kalau malam jasanya banyak. Pelita manusia dalam kegelapan. Berkilau tak berpangku tangan. Itu teka-teki yang dibuat Putri Helena untuk para Pangeran Putra Mahkota kerajaan-kerajaan Eropa. Bagi yang bisa menebaknya akan dijadikan suaminya untuk menemani hidupnya di kerajaan Cyera dan bisa mengusai pulau Elba pula. Tapi sayangnya tak ada seorang Pangeran Putra Mahkota yang menjawab." Ibu masih menceritakan.

"Namun ada salah satu Pangeran Mahkota Putra Raja Viking datang untuk ikut dalam bagian itu. Ia bernama Pangeran Odra. Padahal ia sudah melanggar persyaratan sayembara itu. Karena ia telat untuk datang mengikuti sayembara. Akhirnya ia seperti terhina dan merasa dipermainkan Putri Helena. Karena Ia adalah Putra Raja dari kerajaan besar dan Putri Helena pun ditangkap lalu disekap di sebuah kamar lalu dikuncinya. Keesokan malam harinya saat Pangeran Odra membuka pintu kamar itu ternyata kosong dan gelap. Tak ada Putri Helena di kamar. Hanya ada secercah cahaya yang bergerak-gerak mendekati Pangeran Odra. Pangeran Odra yang melihatnya pun tunggang langgang ketakutan. Ia menyangka cahaya itu adalah hantu. Karena cahaya itu terus mengejarnya.

Pangeran Odra ketakutan lalu berlari tanpa memperhatikan apa pun. Akhirnya ia tercebur ke laut. Anak buahnya yang mendengar itu pun segera memberikan pertolongan. Saat itulah cahaya yang berkelap-kelip itu---yang mengejar Pangeran Odra tersebut bernama seekor Kunang-kunang. Ia jelmaan dari Putri Helena. Seperti yang diinginkannya menjadi penerang bagi manusia dalam kegelapan. Itulah dongeng Kunang-kunang versi Nenekmu."

Akhirnya cerita dongeng Kunang-kunang versi Nenek pun usai dari mulut Ibu.

"Ya, sudah sekarang tidur ya, Sayang. Sudah malam."

"Iya, Bu."

Akhirnya Ibu meninggaliku di kamar seorang diri. Tapi sebelum Ibu meninggalkanku ia lebih dulu mengecup keningku. Lantas meninggalkanku.

Lama Ibu sudah meninggalkan aku tapi mataku belum juga terpejam.
Akhirnya aku pun ke ruang dapur untuk mengambil air minum untuk menenangkan pikiranku. Siapa tahu dengan meneguk segelas air putih aku bisa tenang.

Tapi saat aku mau mengambil air minum tiba-tiba mataku melirik segerombolan Kunang-kunang, banyak sekali. Meliuk-liuk sedang menari-nari di luar rumah menyerupai sesosok penari. Begitu indah. Lalu aku tertarik untuk menghampirinya.

Aku langsung melangkah menuju ruang tamu. Namun saat aku ingin membuka pintu itu tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara yang memanggil namaku. Sangat jelas aku dengar.

"Zul, kamu mau kemana, Nak? Ini sudah larut malam!"

Ternyata itu suara Ibuku. Aku tak tahu pasti itu suara Ibu.

"Zul, hanya ingin memastikan apakah pintu ruang tamu terkunci atau tidak," kataku.

"Ya, sudah sekarang balik tidur lagi ya, Sayang," Ibu langsung menyuruhku.

Ah,lega. Aku bernafas lega karena Ibu tidak larut bertanya ini-itu tentang kenapa di malam buta itu aku ingin keluar rumah. Aku sangat bersyukur saat itu.

Malam ini kami berkumpul kembali di tanah lapang. Seperti biasa aku, Tulus, Seno dan Agus yang lebih dulu datang. Tinggal menunggu kedatangan Eka, Maesa, Fira dan Ayu. Tapi ketika ditunggu lama ternyata hanya kami saja yang datang. Mereka ternyata tidak dating juga.

Ya, hanya itu-itu saja orangnya yang malam itu datang. aku, Tulus, Seno dan Agus. Padahal bulan sedang membuncit. Sedang bulat penuh. Sehingga cahayanya begitu terang menerpa kami yang sudah berkumpul di tanah lapang.

"Lho mana Eka, Maesa, Fira dan Ayu kok belum datang?" tanya Tulus saat melihat kami sudah berkumpul malam itu. Ia melihat kami satu persatu.

"Maaf, Lus, kalau Eka dan Maesa dilarang lagi untuk bermain. Katanya mereka tidak mau menjadi santapan Kunang-kunang. Apalagi semalam Ayah-ayah mereka melihat sekumpulan Kunang-kunang menghampiri tiap rumah yang memiliki anak lanang seusia kita. Karena Ayah Eka dan Maesa melihatnya saat ronda malam kemarin," Seno memberitahukan Tulus mengenai alasan Eka dan Maesa tidak datang malam itu.

"Lalu kamu bagaimana, Gus? Fira dan Ayu kenapa malam ini mereka tidak ikut bersama kita lagi?" sambung Tulus menanyakan pada Agus.

"Iya, mereka juga sama. Alasannya seperti yang Seno utarakan tadi. Mereka sekarang sudah tidak ingin lagi main di tanah lapang ini. Kata mereka kemarin malam Fira dan Ayu sudah datang ke tanah lapang ini. Tapi kata mereka kita tidak ada. Tidak ada siapa-siapapun. Mereka hanya melihat begitu banyak Kunang-kunang saja yang beterbangan di tanah lapang ini lalu menjadi sesosok makhluk yang menyeramkan. Dan akhirnya mereka pulang karena ketakutan," panjang Agus menguraikannya pada Tulus dengan detil.

"Ya, sudah kalau begitu aku kembali menyambungkan dongeng Kunang-kunang kemarin ya. Karena ternyata ada kelanjutannya..." Tulus akhirnya tidak lagi menanyakan Eka, Maesa, Fira dan Ayu kembali atas ketidakhadiran mereka.

"Kalian mau mendengarkan kelanjutan dongeng Kunang-kunangku lagi tidak?"

Seno dan Agus beradu pandang. Lalu ekor mata mengarahkan ke arahku.

"Tidak! Aku tidak mau mendengarkannya, Lus. Aku tidak mau menjadi santapan Kunang-kunang itu," kataku langsung memberondong ucapan Tulus.

"Kenapa? Kamu takut!" Tulus tertawa terkekeh ketika mendengar jawabanku.

"Iya, aku semalam melihat Kunang-kunang menghampiri rumahku. Untung saja Ibuku ada di sana saat Kunang-kunang itu ada di depan rumahku. Saat itu aku ingin melihat Kunang-kunang itu. Tapi Ibuku mengahalaunya. Aku bersyukur. Karena aku tidak ingin menjadi santapan Kunang-kunang itu. Karena aku tahu orang mati tidak akan bisa membunuh orang apalagi menyatapnya. Itu hanya rekaan kamu saja, Lus!" tukasku

"Kalau begitu kamu balik sana. Menetek pada Emakmu saja," ucap Tulus.

"Baik!" seruku singkat.

"Aku juga mau pulang, Lus!" timpal Seno.

"Aku juga! Aku tidak mau menjadi umpan Kunang-kunang itu. Aku tahu dongeng Kunang-kunang tidak seperti itu. Kunang-kunang itu tidak membunuh atau menyatap anak seusia kami. Dongeng yang kamu ceritakan itu hanya karangan kamu belaka. Aku sudah tidak sudi mempunyai teman seperti kamu lagi, Lus," kini Agus angkat bicara.

"Baik kalau kalian ingin pulang, silakan! Tapi untuk malam ini kalian tidak akan bisa! Karena ini adalah wilayahku. Ha-ha," tiba-tiba Tulusmenyeringai. Ia tiba-tiba berubah menjadi Kunang-kunang yang sangat menyeramkan. Bertubuh tinggi. Matanya tajam. Bersayap gelap dan tubuhnya mengeluarkan sinar kemerahan.

Saat itu tiba-tiba kami langsung tak berdaya. Mata kami gelap. Kami tidak bisa mengerakkan tubuh kami. Kami kaku. Mulut kami kelu. Tidak bisa bersuara untuk meminta tolong pada siapa pun.

Saat itu kematian semakin mendekati kami. Dan dari kejauhan aku melihat Tulus memanggil-manggil kami sambil berteriak.[]

*Kak Ian, bekerja sebagai Guru Jurnalistik tingkat Sekolah, Mahasiswa dan Penulis Fiksi Anak dan Remaja.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun