Seperti biasa, seperti malam-malam lainnya kami bermain petak umpet, galasin dan bentengan di tanah lapang. Aku bersama Tulus, Seno dan Agus bermain penuh kecerian anak-anak.
Tapi untuk malam itu Eka, Maesa, Fira dan Ayu tidak datang. Hanya kami yang bermain petak umpet, galasin dan bentengan. Padahal kami sudah menunggu mereka.
Akhirnya dengan penuh kekecewaan kami membatalkan untuk bermain petak umpet, galasin dan bentengan malam itu. Tapi kekecewaan itu tidak lama karena Tulus malam itu mempertunjukkan kebisaannya mendongeng pada kami. Semua terhibur.
Sedangkan aku? Tidak!
"Masa, sih, kunang-kunang itu asalnya dari kuku orang mati lalu menjelma menjadi hantu jahat?" ucapku merasa tidak yakin dengan dongeng yang diceritakan Tulus.
"Iya, Lus, bagaimana Kunang-kunang itu bisa tercipta?" timpal Seno penasaran.
"Sabar. Sabar, Teman!" kata Tulus. "Pasti aku selesaikan dongeng ini. Tapi apa teman kita yang satu itu mau mendengarkannya juga sampai selesai," lanjutnya.
Seno dan Agus melirik ke arahku. Ekor mata mereka mengarah padaku.
Aku terpojok. Kulihat ekor mata mereka semua menyorot padaku.
"Silakan dilanjutkan saja! Aku siap mendengarkannya," Pungkasku.
Tidak lama acara seperti mendengarkan pendongeng ulung yang sedang pentas di atas panggung pun usai. Kami langsung berpencar. Pulang ke rumah masing-masing. Seno dan Agus rumahnya berdekatan---bisa pulang bersama. Tulus, ia seperti biasa mengayuh sepedanya. Pulang menggunakan sepeda ontelnya. Sedangkan aku harus pulang seorang diri.