Tapi saat aku mau mengambil air minum tiba-tiba mataku melirik segerombolan Kunang-kunang, banyak sekali. Meliuk-liuk sedang menari-nari di luar rumah menyerupai sesosok penari. Begitu indah. Lalu aku tertarik untuk menghampirinya.
Aku langsung melangkah menuju ruang tamu. Namun saat aku ingin membuka pintu itu tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara yang memanggil namaku. Sangat jelas aku dengar.
"Zul, kamu mau kemana, Nak? Ini sudah larut malam!"
Ternyata itu suara Ibuku. Aku tak tahu pasti itu suara Ibu.
"Zul, hanya ingin memastikan apakah pintu ruang tamu terkunci atau tidak," kataku.
"Ya, sudah sekarang balik tidur lagi ya, Sayang," Ibu langsung menyuruhku.
Ah,lega. Aku bernafas lega karena Ibu tidak larut bertanya ini-itu tentang kenapa di malam buta itu aku ingin keluar rumah. Aku sangat bersyukur saat itu.
Malam ini kami berkumpul kembali di tanah lapang. Seperti biasa aku, Tulus, Seno dan Agus yang lebih dulu datang. Tinggal menunggu kedatangan Eka, Maesa, Fira dan Ayu. Tapi ketika ditunggu lama ternyata hanya kami saja yang datang. Mereka ternyata tidak dating juga.
Ya, hanya itu-itu saja orangnya yang malam itu datang. aku, Tulus, Seno dan Agus. Padahal bulan sedang membuncit. Sedang bulat penuh. Sehingga cahayanya begitu terang menerpa kami yang sudah berkumpul di tanah lapang.
"Lho mana Eka, Maesa, Fira dan Ayu kok belum datang?" tanya Tulus saat melihat kami sudah berkumpul malam itu. Ia melihat kami satu persatu.
"Maaf, Lus, kalau Eka dan Maesa dilarang lagi untuk bermain. Katanya mereka tidak mau menjadi santapan Kunang-kunang. Apalagi semalam Ayah-ayah mereka melihat sekumpulan Kunang-kunang menghampiri tiap rumah yang memiliki anak lanang seusia kita. Karena Ayah Eka dan Maesa melihatnya saat ronda malam kemarin," Seno memberitahukan Tulus mengenai alasan Eka dan Maesa tidak datang malam itu.