"Jadi nanti menginap  di mana?" pertanyaan laki-laki itu tak sempat dijawab Lidia.  Ia menarik napas lega setelah seorang pramugari menawarkan makanan.  Laki-laki itu sigap memilih makanan lalu lahap menghabiskannya. Lidia memilih memejamkan mata meski tak benar mengantuk. Makanan yang diberi sebagai layanan pesawat itu ia simpan dengan rapi dalam tas ransel  kecil yang ia pangku.  Ia tak ingin memutus pembicaraan dengan laki-laki bertubuh besar yang duduk satu bangku di sebelahnya. Lidia sukses.  Setelah menyelesaikan makannya,  lelaki itu akhirnya menguap lalu membetulkan posisi untuk tidur.
***
Malam itu Lidia dipanggil pemimpin rombongan.
"Ada surat yang harus ditanda tangani," begitu bunyi pesan yang ia baca di layar gawai petugas yang menjemputnya. Ia meninggalkan kamar setelah makan malamnya selesai. Â
Lewat tengah malam gadis itu belum  kembali.  Perempuan berperawakan kecil itu mulai gelisah.  Ia membalik bantalnya berkali-kali sebab matanya tak juga bisa ditutup.
"Lan, Â kita harus pergi tanya?" Bisik perempuan itu pada teman di sampingnya setelah ia bangunkan.
"Mungkin dia ada kerja dulu, tidur sudah. Â Nanti juga dia datang," perempuan itu tak dapat melawan rasa kantuknya. Â Ia memilih tidur lagi.
Satu jam setelahnya Lidia masuk kamar. Perempuan yang menunggunya sejak tadi itu beranjak menyambutnya di pintu.
"Ada apa, Nona?"
Lidia  menggeleng.  Air matanya tumpah ditemani isak yang ditahan.  Rambutnya berantakan. Perempuan itu menyadari sesuatu.  Tangis gadis itu tak dibiarkan tumpah sendiri. Ia turut menangis. Memeluknya erat.
"Mama... Mama..., " gadis itu tak kuasa lagi menahan rintihannya. Perempuan itu membawanya ke kasur. Â Menidurkannya perlahan.