***
Setelah seminggu menunggu, kabar baik itu akhirnya datang juga. Dokumen  yang dibutuhkan telah ada di tangan masing-masing.  Mereka tersenyum bahagia.  Tinggal beberapa langkah lagi,  mereka akan tiba di kota yang menjanjikan keberuntungan itu.  Kota impian.  Banyak harapan yang dibenihkan dalam otak mereka tentang kota-kota impian itu.  Tak ada ragu di sana.  Selain impian yang memenuhi cangkang  kepala,  wajah-wajah penuh  harap  yang mengantar  ketika berangkatlah yang mereka sisipkan di sela-sela impian itu.
"Sudah siap?"
Anggukan kepala menjawab pertanyaan  tim yang akan memimpin rombongan itu. Â
"Kalau begitu  mari kita berangkat. Ingat,  jangan sampai hilang dari barisan. Jangan lama-lama kalau jalan.  Nanti kita bisa ketinggalan pesawat," laki-laki memberi nasihat penutup.  Tak ada jawaban lain yang lebih bisa mereka lakukan selain anggukan kepala tanda mengerti.
Pukul 03.30 pagi.  Mereka sampai ketika bandara masih lenggang,  hanya satu dua orang yang  duduk di kursi-kursi panjang. Beberapa petugas masih siaga.  Mereka datang lebih awal sebab jarak penginapan mereka cukup  jauh dari bandara. Selain itu,  katanya agar mereka  tak ketinggalan pesawat. Â
Lidia merapikan rambutnya yang mengembang di kepala.  Sebuah jepit  hitam  lekas dipasang untuk menahan rambutnya. Mereka tak banyak  bicara, sebab perjalanan pesawat yang akan mereka lakukan itu adalah perjalanan pertama.  Lidia tal ingin kehilangan momen langkah itu dengan banyak bicara. Ia ingin  benar-benar menikmati perjalanan. Lebih dari itu,  sesungguhnya ia merindukan rumah.
"Kenapa Nona Lidia?"
"Tidak apa-apa."
"Berdoalah. Â Tuhan akan menjagamu. Â Menjaga kita semua," perempuan yang mengajaknya bicara itu adalah perempuan berperawakan kecil yang datang pada malam setelah ia sampai.
"Saya ingat..."