Mohon tunggu...
Sayyidati Hajar
Sayyidati Hajar Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Timor

Perempuan Timor | Traveller Kampung | Teater | Short Story | Short Movie | Suka Budaya NTT | pos-el: sayyidati.hajar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Setelah Itu

24 Oktober 2018   21:39 Diperbarui: 24 Oktober 2018   22:53 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah uang itu diserahkan di atas tempat sirih,  tak ada lagi pembicaraan. Gadis dengan goresan luka di tangan itu menerima  takdir.  Ia akan pergi.  Membawa serta keinginan bapak dan isak  tangis ibunya.

Ia sudah mantap. Hatinya lega. Kepergiannya adalah harapan besar semua keluarga. Setelah purnama sempurna mati.  Hari berangkatnya tiba.  Ada senyum  ibu  juga air mata yang ditahan kuat-kuat.

"Jalan sudah,  nanti kalau sudah sampai jangan lupa telepon," bisik  ibunya  disela pelukan.

Bapaknya tersenyum.  Banyak harapan  bercahaya  di wajah lelaki berambut putih itu.  Lidia,  gadis dengan goresan luka di tangan kiri  itu ikut tersenyum. Ada janji yang ia ucap diam-diam menjawab senyum bapaknya,  juga senyum ibu yang tengah menahan air mata. Ia yakin,  setelah motor yang mengantarnya mulai berjalan meninggalkan rumah tua mereka. Tangis ibunya  pasti pecah.  Itu sebabnya ia pantang menoleh ke belakang. Ia sudah mantap.  

***

Pagi setelah melewati banyak jalan berliku dengan kendaraan roda empat yang mereka tumpangi. Kegiatannya hanya menunggu perempuan itu bicara.  Memberinya gambaran  tentang apa yang akan ia lakukan.  Juga tips-tips  agar  disenangi  banyak orang. Lidia bersemangat mendengar setiap kata yang keluar.  Ia memang terkenal pintar di sekolah.  Selain nilainya yang bagus,  gadis itu terkenal  sopan  dan peduli. Itu  Sebabnya ia antusias dan cepat  menyerap  pembicaraan perempuan itu.

Malam setelah ia terlelap.  Lima orang datang lagi setelah dua orang perempuan telah lebih dulu sampai pukul empat sore. Lidia baru sadar setelah suara-suara semakin dekat dengan kamar yang ditempatinya.  Ia membuka mata tepat saat pintu ruang itu dibuka.

"Selamat malam,  Nona  Lidia.  Ada teman yang akan berangkat juga.  Mereka baru  sampai," perempuan itu menjelaskan dengan baik.  Lidia menganggup  lalu  tersenyum ramah pada lima orang yang berdiri di sisi perempuan itu. Mereka diminta untuk beristirahat. Setelah memberi beberapa penjelasan yang dirasa penting, perempuan itu menutupw pintu.

"Nona sudah  dari kapan?" tanya perempuan yang memimpin rombongan malam itu. Perempuan itu berperwakan kecil dengan rambut keriting mengembang di kepala.

"Baru tadi malam,  Tanta," gadis itu menarik napas,  "Saya datang  dari Soe."

Perempuan berperwakan kecil itu tersenyum,  memutuskan  beristirahat setelah  menerima jawaban Lidia.  Setelah malam lewat,  perempuan itu membasahi bantal dengan ingus dan air mata. Ia teringat anaknya,  seusia Lidia.  Gadis yang kini bersamanya di ruang itu.  

***

Setelah seminggu menunggu, kabar baik itu akhirnya datang juga. Dokumen  yang dibutuhkan telah ada di tangan masing-masing.  Mereka tersenyum bahagia.  Tinggal beberapa langkah lagi,  mereka akan tiba di kota yang menjanjikan keberuntungan itu.  Kota impian.  Banyak harapan yang dibenihkan dalam otak mereka tentang kota-kota impian itu.  Tak ada ragu di sana.  Selain impian yang memenuhi cangkang  kepala,  wajah-wajah penuh  harap  yang mengantar  ketika berangkatlah yang mereka sisipkan di sela-sela impian itu.

"Sudah siap?"

Anggukan kepala menjawab pertanyaan  tim yang akan memimpin rombongan itu.  

"Kalau begitu  mari kita berangkat. Ingat,  jangan sampai hilang dari barisan. Jangan lama-lama kalau jalan.  Nanti kita bisa ketinggalan pesawat," laki-laki memberi nasihat penutup.  Tak ada jawaban lain yang lebih bisa mereka lakukan selain anggukan kepala tanda mengerti.

Pukul 03.30 pagi.  Mereka sampai ketika bandara masih lenggang,  hanya satu dua orang yang  duduk di kursi-kursi panjang. Beberapa petugas masih siaga.  Mereka datang lebih awal sebab jarak penginapan mereka cukup  jauh dari bandara. Selain itu,  katanya agar mereka  tak ketinggalan pesawat.  

Lidia merapikan rambutnya yang mengembang di kepala.  Sebuah jepit  hitam  lekas dipasang untuk menahan rambutnya. Mereka tak banyak  bicara, sebab perjalanan pesawat yang akan mereka lakukan itu adalah perjalanan pertama.  Lidia tal ingin kehilangan momen langkah itu dengan banyak bicara. Ia ingin  benar-benar menikmati perjalanan. Lebih dari itu,  sesungguhnya ia merindukan rumah.

"Kenapa Nona Lidia?"

"Tidak apa-apa."

"Berdoalah.  Tuhan akan menjagamu.  Menjaga kita semua," perempuan yang mengajaknya bicara itu adalah perempuan berperawakan kecil yang datang pada malam setelah ia sampai.

"Saya ingat..."

"Ayo kita masuk," potong pemimpin rombongan, "Kita sudah ditunggu Pak Er di dalam."

Rombongan itu masuk dalam pengawasan beberapa orang yang berdiri berjejer di sana.  

"Bagaimana? Aman? " bisik pemimpin rombongan.

Petugas itu mencermati beberapa kertas.  Kemudian tersenyum. Ia mengangkat tangan kanan ke dahi membentuk  posisi  hormat.

"Siap.  Aman om," lalu tertawa sambil menepuk-nepuk bahu pemimpin rombongan. Perjalanan mereka lancar.  Binar wajah tegang ketika menaiki tangga pesawat perlahan cair setelah pramugari-pramugari cantik itu mendemonstrasikan alat-alat keselamatan.

"Mau ke mana,  Dek?" seorang pria bertubuh tinggi  yang duduk  satu kursi di samping Lidia memulai  obrolan. 

"e....mm... Jakarta...," balas Lidia patah-patah karena tak menyangka akan diajak bicara.

"Oh, mau kuliah atau kerja?"

"e..eemm...  Kerja."

"Saya pikir mau kuliah.  Ada keluarga di sana?"

"Tidak ada."

"Jadi nanti menginap  di mana?" pertanyaan laki-laki itu tak sempat dijawab Lidia.  Ia menarik napas lega setelah seorang pramugari menawarkan makanan.  Laki-laki itu sigap memilih makanan lalu lahap menghabiskannya. Lidia memilih memejamkan mata meski tak benar mengantuk. Makanan yang diberi sebagai layanan pesawat itu ia simpan dengan rapi dalam tas ransel  kecil yang ia pangku.  Ia tak ingin memutus pembicaraan dengan laki-laki bertubuh besar yang duduk satu bangku di sebelahnya. Lidia sukses.  Setelah menyelesaikan makannya,  lelaki itu akhirnya menguap lalu membetulkan posisi untuk tidur.

***

Malam itu Lidia dipanggil pemimpin rombongan.

"Ada surat yang harus ditanda tangani," begitu bunyi pesan yang ia baca di layar gawai petugas yang menjemputnya. Ia meninggalkan kamar setelah makan malamnya selesai.  

Lewat tengah malam gadis itu belum  kembali.  Perempuan berperawakan kecil itu mulai gelisah.  Ia membalik bantalnya berkali-kali sebab matanya tak juga bisa ditutup.

"Lan,  kita harus pergi tanya?" Bisik perempuan itu pada teman di sampingnya setelah ia bangunkan.

"Mungkin dia ada kerja dulu, tidur sudah.  Nanti juga dia datang," perempuan itu tak dapat melawan rasa kantuknya.  Ia memilih tidur lagi.

Satu jam setelahnya Lidia masuk kamar. Perempuan yang menunggunya sejak tadi itu beranjak menyambutnya di pintu.

"Ada apa, Nona?"

Lidia  menggeleng.  Air matanya tumpah ditemani isak yang ditahan.  Rambutnya berantakan. Perempuan itu menyadari sesuatu.  Tangis gadis itu tak dibiarkan tumpah sendiri. Ia turut menangis. Memeluknya erat.

"Mama... Mama..., " gadis itu tak kuasa lagi menahan rintihannya. Perempuan itu membawanya ke kasur.  Menidurkannya perlahan.

"Mama,  sakit... Mama..., " air mata perempuan itu semakin tumpah.  Semua orang bangun.  Tak ada lagi yang mengalah pada kantuk. Tanpa kata penjelas dari Lidia,  mereka telah menyimpulkan sendiri.  Rambutnya yang acak-acakan dan bajunya yang koyak itu adalah penjelasan. 

Gadis itu tak gadis lagi.  Ia terus menangis menyebut ibunya.  

Kupang,  24 October 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun