Mereka diberikan tempat tinggal sekaligus tempat ibadah di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh, berada di pinggiran laut yang sekarang menjadi kawasan Pelabuhan Ulee Lheue, yang melayani penyeberangan Banda Aceh-Sabang. Namun, kedua orang itu kemudian dibunuh oleh penduduk local karena di duga hasutan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Belanda, yang berupaya memecah hubungan baik antara Portugis dan Aceh saat itu.Â
VOC merasa kepentingan politik mereka akan terganggu oleh kehadiran perwakilan Portugis di Aceh. Di Indonesia, gereja ini menjadi salah satu gereja terindah. Interior pada gereja ini memiliki jendela yang diberi kaca berwarna jenis staned glass dengan lantai keramik warna-warni yang disusun dalam bentuk mozaik.Â
Menurut beberapa sumber, disebutkan bahwa lantai keramik tersebut hingga lonceng gereja semuanya secara khusus didatangkan dari Negeri Belanda. Selain tempat peribadatan, dalam kompleks gereja ini juga dilengkapi dengan kantor pengelola yang ada di bagian belakang gereja, sekolah dari jenjang TK hingga SMA, serta tempat suster pengurus gereja. Sampai saat ini pihak gereja belum mengubah sedikitpun bentuk dan gaya arsitektur gereja pada awal mulai berdirinya bangunan ini.
Bahkan, ketika Aceh dilanda gempa dan tsunami, gereja ini masih utuh. Hanya ada sedikit perbaikan dan rehabilitasi yang dilakukan. Lalu kami mengunjungi Vihara Dharma Bakti. Vihara merupakan sebutan bagi rumat ibadah orang Buddha. Dari catatan sejarah, bahwa sejak abad ke-17 Masehi, Aceh dan China telah melakukan hubungan yang terjalin cukup lama. Saat itu para pedagang China silih berganti datang ke Aceh. Mereka merupakan pedagang musiman dan permanen.Â
Mereka juga mendirikan rumah berdekatan sebagai tempat tinggal sementara. Selain itu rumah tersebut di gunakan oleh etnis China sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan. Salah satu pemukiman yang hingga kini masih ada adalah Peunayong.
Peunayong disebut juga sebagai Cina Townnya Aceh. Di lokasi ini berdiri empat Vihara, yaitu Vihara Dharma Bhakti, Maitri, Dwi Samudera dan Vihara Sakyamuni. Di antara empat vihara itu, Vihara Dharma Bhakti merupakan vihara yang tertua dan dibangun sejak 1878. Sebelumnya Letak vihara ini ternyata dulunya bukan di Peunayong, melainkan di pesisir Pantai Cermin, Ulee Lheue Banda Aceh.
 Namun, karena alasan keamanan Vihara Dharma Bhakti ini dipindah ke Peunayong, akibat lokasi pertamanya tidak aman karena perang dunia sedang berkecamuk. Akibat perang dunia, Vihara ini ikut hancur terkena bom oleh sekutu. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Vihara Dharma Bhakti dipindahkan ke Peunayong pada tahun 1936.Â
Bangunannya kini merupakan bangunan baru yang didirikan di atas lahan bangunan lama yang telah runtuh. Keberadaannya yang bersamaan dengan tumbuhnya ruko di Peunayong, merupakan bukti dari gambaran aktivitas yang lain dari masyarakat etnis Cina di Peunayong selain berdagang. Vihara Dharma Bhakti yang bercat putih ini masih berdiri kokoh di antara pertokoan di Jalan T Panglima Polem, Banda Aceh.Â
Vihara Dharma Bakti di Peunayoung dijadikan sebagai tempat sembahyang bagi sekitar 4000 etnis Tionghoa yang ada di Kota Banda Aceh maupun yang datang dari luar Aceh.Meski Aceh berstatus daerah Syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim tetap terjamin. Inilah sejarah singkat Vihara Dharma Bhakti di Aceh sebagai bukti keberagaman agama yang ada di kota syariat Islam ini.
 Selanjutnya Masjid Baiturrahim. Salah satu masjid yang berada di dekat pantai ule lheu yang juga tidak terkena tsunami dan terselamatkan, dalam artian bukan berarti tidak terkena air, atau airnya melewati masjid tersebut, terkena air, akan tetapi masih kokoh. Hanya mengalami sedikit kerusakan. Terdapat 9 orang yang selamat di masjid tersebut.Â
Di kampun dekat masjid tersebut, jumlah penduduk awalnya 6000 orang, setelah tsunami tinggal 451 orang. Masjid sebelum baiturrahim sudah pernah di bangun pada tahun 1717. Masjid ini tidak jauh beda dengan masjid baiturraahman, makanya pintu depannya sama.Â