Mohon tunggu...
Satyawati Irianti Nugroho
Satyawati Irianti Nugroho Mohon Tunggu... -

S1 dan S2 UGM, hakim, menikah, 2 orang anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ajendro

9 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CERPEN: AJENDRO

27 Agustus 2013 pukul 23:56

Ada ciri khas tiap kali ia menulis surel untukku. Namaku AZIS, sering ditulisnya AZIZ. Aku tak pernah bertemu muka dengannya. Hubungan kami sebatas bisnis. Ia mengirimkan karya-karyanya dalam bentuk soft copy ke alamat emailku. Karangannya beratas namakan Ajendro. Sulit ditebak, dari etnis mana orang bernama Ajendro. Sebagai editor aku membaca karya-karyanya dan mengeditnya.

Buku pertamanya laris manis. Ludes di toko-toko buku. Penggemarnya mulai berdatangan. Mereka mengirim email untuk Ajendro yang dialamatkan ke penerbitanku. Kebanyakan perempuan, karena Ajendro identik nama laki-laki. Ia sendiri tidak menolak ketika kusebut "Pak" atau "Bapak" dalam surel. Gambar wajahnya tak ada, ia mengirimkan foto elang Jawa sebagai ganti foto wajahnya. Lantas aku berpikir, Ajendro ini tentu seorang yang buruk rupa.

Setelah banyak yang mencari novelnya, sebagai editor dan pemilik penerbitan, aku ingin meminta izinnya untuk cetak ulang kedua.

“Kami ingin membuat perjanjian baru untuk cetakan kedua. Bisakah kami bertemu Pak Ajendro?”

Tak berapa lama datang surel balasannya, “Difaks saja seperti yang pertama”.

Akhirnya aku pun jadi mencetak buku keduanya tanpa pernah bertatap muka. Aku mulai penasaran. Seperti apa Ajendro ini? Novelnya berisi kisah asmara seorang dosen dengan seorang peneliti yang menyamar menjadi seorang petani. Indah dan romantis, dengan balutan kalimat puitis.

Lihatlah kalimat terakhirnya, “Cintaku padamu bagai purnama”. Singkat namun mengandung makna yang dalam.

Beberapa bulan kemudian, Ajendro kembali mengirim soft copy untuk novel keduanya. Aku kembali menjadi editornya, kali ini atas permintaannya.

“Saya ingin Pak Aziz yang jadi editornya. Saya cocok dengan bahasa Pak Azis”.

Aku tersenyum, karena nama Azis yang terkadang ditulis benar, namun paling sering ditulis Aziz. Aku bisa membayangkan, kelingking kiri kembali menekan huruf z setelah huruf i ditekan dengan jari tengah kanan. Itu kalau ia mengetik dengan sepuluh jari. Memang, lebih mudah bagi kelingking kiri untuk kembali ke huruf z dari pada jari manis kiri menekan huruf s.

Novel keduanya cukup menarik, bahkan termasuk berat. Karena penuh pergumulan batin seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Penuh dengan bacaan literatur ilmiah dan si penulis nampaknya mewawancarai si tokoh langsung.

Sebagai pemilik penerbitan, aku memutuskan akan menerbitkan novel ini. Instingku berbicara novel ini akan menggebrak pasar.

Aku pun menulis ke emailnya, “Novel Pak Ajendro dapat kami terbitkan. Akan kami kirim pdf untuk dicek kembali”.

Jawaban datang tak berapa lama kemudian, “Dengan senang hati. Terima kasih atas keputusan untuk menerbitkan novel saya, Pak Aziz.”

Aku tersenyum, terbersit keinginan untuk menawarkan jika ia mau me-launching bukunya di sebuah acara yang akan diselenggarkan khusus untuk itu, tapi ia menolak.

“Tidak usah. Cukup promosi lewat media cetak dan website penerbit”.

“Penggemar ingin tahu Pak Ajendro. Kami perlu  foto Bapak”.

Ia tidak mengirim foto dirinya atau pun elang Jawa, tapi ganti foto burung cendrawasih biru yang sedang memekarkan ekornya.

“Itulah aku. Tak perlu mereka tahu wajahku yang penting adalah goresan penaku”, jelasnya berpuisi di surel.

Aku tak memaksa. Kalau aku bersikap terlalu keras, nanti pengarang potensial itu akan lari. Bisa-bisa aku kehilangan penulis terbaikku.

Novel pertamanya telah cetak ulang ketiga. Kini aku menerbitkan novel keduanya. Aku pun membuat resensinya dan kukirim ke sebuah media cetak nasional. Tak berapa lama, tanggapan positif mengalir. Novelnya kembali laku keras.

Aku tak tahan untuk tidak memuji, “Saya menyukai novel Bapak. Bagaimana Pak Ajendro bisa membaca pasar sekaligus membuat novel yang cukup berat, tapi menjadi menarik?”

Ia pun menjawab, “Terima kasih dukungannya. Mataku radar terbaik, kakiku penyangga radar yang siap membawa radarku kemana kakiku melangkah atas perintah otak”.

Dari novel dan jawaban surelnya sepertinya ia orang yang menyenangkan, tapi mengapa ia tak mau menampakkan dirinya? Bagaimana mencari alamatnya? Apakah aku telusuri dari nomor rekeningnya? Nomor rekeningnya atas nama Darmawanto. Bank tentu menolak jika aku tidak mendapatkan izin dari Ajendro.

Sementara itu penggemar Ajendro semakin banyak. Beberapa nekat mengirimkan hadiah-hadiah barang berupa kemeja laki-laki berukuran XL, kacamata rayban, bolpoin mahal, dompet kulit laki-laki, hingga foto mereka sendiri. Aku bisa membayangkan para wanita pemuja Ajendro tentu membayangkan Ajendro berbadan kekar, tampan, kaya, mapan. Seperti yang ia gambarkan dalam dua novelnya.

Kukirim surel, “Banyak hadiah untuk Pak Ajendro. Bagaimana saya akan menyampaikan pada Pak Ajendro kalau saya tidak tahu alamat Pak Ajendro”.

Lama tak ada jawaban. Dua minggu kemudian surelnya muncul, “Maaf, baru balas. Saya ke Thailand, ada acara disana. Baiklah kalau Pak Aziz ingin menemui saya, ini alamatnya…….”

Aku menyalin alamat itu baik-baik disecarik kertas. Aku berencana malam ini kerumahnya. Aku berpakaian yang terbaik dan mengendarai mobilku yang belum tentu seminggu sekali kukendarai. Aku harus memberikan pencitraan yang baik untuk perusahaan penerbitanku.

Aku tiba di sebuah rumah sederhana model minimalis. Kupencet bel. Seorang pemuda membukakan pintu. Apakah ini?

Dengan ragu aku bertanya, “Apakah betul ini rumah Pak Ajendro?”

“Siapa?”

“Pak A-jen-dro”.

“Bukan, Pak”.

“Damaaan,” seseorang memanggil nama laki-laki itu yang rupanya bekerja di rumah itu.

“Ya, Bu,” laki-laki itu berlari masuk ke ruang tamu yang sedikit terbuka.

Aku nyaris sampai ke mobilku, ketika kudengar laki-laki yang bernama Daman itu memanggilku, “Paak, sebentar“.

“Bapak darimana?” tanyanya terengah-engah.

“Saya Pak Azis dari penerbit Purnama”.

“Pak Azis dipersilakan masuk.”

Dengan hati bersorak aku memasuki pekarangan yang tertata rapi.

Tatapanku terhenti pada sosok perempuan yang sungguh cantik. Ini tentu isteri Pak Ajendro. Oo, betapa banyak yang patah hati jika mengetahui Pak Ajendro telah beristeri secantik ini.

“Pak Azis?”

“Iya, saya”.

“Kenalkan, saya Ajendro”.

Mulutku ternganga.

“Anjelina Daniar Rosalia”.

Untunglah ia segera mempersilakan aku duduk. Karena lututku sudah lemas. Jadi Ajendro adalah singkatan dari nama yang panjang tadi?

Ia tersenyum. Hatiku bagai jatuh. Untunglah aku mengenakan pakaian terbaikku dan bermobil. Aku bisa mengajaknya keluar makan malam. Tapi, kutahan niatku. Aku belum mengenalnya dengan baik, siapa tahu ia sudah bersuami?

Aku segera menyampaikan maksud kedatanganku. Kuserahkan hadiah-hadiah untuk Ajendro eh, Anjelina. Ia tertawa kecil. Mataku hampir tak berkedip menatap Anjelina. Giginya rapi, hidungnya bangir, bibirnya menggoda dengan lipstik merah muda. Kulitnya putih halus, betisnya bagai bulir padi. Rambutnya ikal tergerai. Ah, kurasa aku telah jatuh cinta sepenuh purnama.

Setelah berbicara banyak hal. Aku berbasa basi tentang acaranya ke Thailand.

“Pak Azis belum baca koran hari ini? Ada foto saya disana,” katanya dengan senyum mempesona. Ia menyebut sebuah nama harian nasional. Aku tak sempat baca koran. Ada puluhan naskah soft copy dan hard copy setiap hari mengalir ke Purnama. Aku harus rajin-rajin membaca naskah-naskah itu kalau tidak ingin tertinggal dari penerbit lain.

Pukul sembilan malam aku berpamitan. Ia masih sendiri, itu info terpenting yang kudapat dari obrolan panjang tadi. Sampai di rumah aku mencari koran yang dimaksud. Berita apa? Mataku berhenti pada sebuah foto dengan wajah mirip Anjelina. Kubaca penjelasan foto: Anjelina Daniar Rosalia, Miss Waria Indonesia, berhasil memenangkan kontes kecantikan ratu waria sedunia yang diadakan di Thailand tanggal……”

Aku tertegun. Jadi, Anjelina...?

Aku tetap menantikan karya-karya Ajendro. Tak ada diskriminasi. Ia tetap seorang manusia yang patut dihargai hasil karyanya. Namun, dibalik itu semua serasa di dalam dadaku ada yang hilang. Oh, purnama, kini kau gelap gulita….

Yogyakarta, 27 Agustus 2013

Catatan dari sebuah penetapan pengadilan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun