Aku tersenyum, karena nama Azis yang terkadang ditulis benar, namun paling sering ditulis Aziz. Aku bisa membayangkan, kelingking kiri kembali menekan huruf z setelah huruf i ditekan dengan jari tengah kanan. Itu kalau ia mengetik dengan sepuluh jari. Memang, lebih mudah bagi kelingking kiri untuk kembali ke huruf z dari pada jari manis kiri menekan huruf s.
Novel keduanya cukup menarik, bahkan termasuk berat. Karena penuh pergumulan batin seorang perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Penuh dengan bacaan literatur ilmiah dan si penulis nampaknya mewawancarai si tokoh langsung.
Sebagai pemilik penerbitan, aku memutuskan akan menerbitkan novel ini. Instingku berbicara novel ini akan menggebrak pasar.
Aku pun menulis ke emailnya, “Novel Pak Ajendro dapat kami terbitkan. Akan kami kirim pdf untuk dicek kembali”.
Jawaban datang tak berapa lama kemudian, “Dengan senang hati. Terima kasih atas keputusan untuk menerbitkan novel saya, Pak Aziz.”
Aku tersenyum, terbersit keinginan untuk menawarkan jika ia mau me-launching bukunya di sebuah acara yang akan diselenggarkan khusus untuk itu, tapi ia menolak.
“Tidak usah. Cukup promosi lewat media cetak dan website penerbit”.
“Penggemar ingin tahu Pak Ajendro. Kami perlu foto Bapak”.
Ia tidak mengirim foto dirinya atau pun elang Jawa, tapi ganti foto burung cendrawasih biru yang sedang memekarkan ekornya.
“Itulah aku. Tak perlu mereka tahu wajahku yang penting adalah goresan penaku”, jelasnya berpuisi di surel.
Aku tak memaksa. Kalau aku bersikap terlalu keras, nanti pengarang potensial itu akan lari. Bisa-bisa aku kehilangan penulis terbaikku.