Novel pertamanya telah cetak ulang ketiga. Kini aku menerbitkan novel keduanya. Aku pun membuat resensinya dan kukirim ke sebuah media cetak nasional. Tak berapa lama, tanggapan positif mengalir. Novelnya kembali laku keras.
Aku tak tahan untuk tidak memuji, “Saya menyukai novel Bapak. Bagaimana Pak Ajendro bisa membaca pasar sekaligus membuat novel yang cukup berat, tapi menjadi menarik?”
Ia pun menjawab, “Terima kasih dukungannya. Mataku radar terbaik, kakiku penyangga radar yang siap membawa radarku kemana kakiku melangkah atas perintah otak”.
Dari novel dan jawaban surelnya sepertinya ia orang yang menyenangkan, tapi mengapa ia tak mau menampakkan dirinya? Bagaimana mencari alamatnya? Apakah aku telusuri dari nomor rekeningnya? Nomor rekeningnya atas nama Darmawanto. Bank tentu menolak jika aku tidak mendapatkan izin dari Ajendro.
Sementara itu penggemar Ajendro semakin banyak. Beberapa nekat mengirimkan hadiah-hadiah barang berupa kemeja laki-laki berukuran XL, kacamata rayban, bolpoin mahal, dompet kulit laki-laki, hingga foto mereka sendiri. Aku bisa membayangkan para wanita pemuja Ajendro tentu membayangkan Ajendro berbadan kekar, tampan, kaya, mapan. Seperti yang ia gambarkan dalam dua novelnya.
Kukirim surel, “Banyak hadiah untuk Pak Ajendro. Bagaimana saya akan menyampaikan pada Pak Ajendro kalau saya tidak tahu alamat Pak Ajendro”.
Lama tak ada jawaban. Dua minggu kemudian surelnya muncul, “Maaf, baru balas. Saya ke Thailand, ada acara disana. Baiklah kalau Pak Aziz ingin menemui saya, ini alamatnya…….”
Aku menyalin alamat itu baik-baik disecarik kertas. Aku berencana malam ini kerumahnya. Aku berpakaian yang terbaik dan mengendarai mobilku yang belum tentu seminggu sekali kukendarai. Aku harus memberikan pencitraan yang baik untuk perusahaan penerbitanku.
Aku tiba di sebuah rumah sederhana model minimalis. Kupencet bel. Seorang pemuda membukakan pintu. Apakah ini?
Dengan ragu aku bertanya, “Apakah betul ini rumah Pak Ajendro?”
“Siapa?”