Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial pada akhir Juli 2020 meluncurkan Program Kewirausahaan Sosial (Prokus) sebagai bagian integral dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).Â
Total dana yang dianggarkan untuk Prokus adalah sebesar Rp. 5 miliar yang akan disebarkan kepada 10.000 Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM PKH) Graduasi yang nantinya akan diseleksi lebih lanjut. Termasuk di dalam paket ini adalah modal usaha sebesar Rp. 3.500.000 per KPM lengkap dengan pendampingan dari ahlinya.
Selain itu, terdapat juga bantuan santunan kepada karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp. 5 juta per bulan yang ditujukan untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang dananya diambil dari pagu Rp. 695 triliun program PEN. (Dikutip dari Kompasiana )
Melihat dari rencana anggarannya, dana program PEN sebagian besar menyasar bidang kesehatan (Rp. 87 triliun), perlindungan sosial (Rp. 203 triliun), dukungan terhadap dunia usaha (Rp. 120 triliun), dukungan bagi UMKM (Rp. 123 triliun), bantuan untuk korporasi (Rp. 53 triliun), serta belanja kementerian dan lembaga (Rp. 106 triliun).Â
Sasaran pemerintah ada pada pemulihan ekonomi dengan bertumpu pada aktivitas UMKM, dunia usaha, dan pemerintah daerah mulai kuartal 3 tahun 2020. Kendati nilainya besar pada tataran penganggaran, pada implementasinya pemerintah menilai penyerapan dana tersebut masih kurang optimal.
Ini terlihat misalnya dari bidang kesehatan yang baru merealisasikan 1.54% anggarannya, perlindungan sosial yang baru merealisasikan 28.63% anggarannya, dukungan dunia usaha sebesar 6.8%, dukungan UMKM sebesar 0.06%, belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp. 3.65%. (Dikutip dari Media Indonesia)
Dengan riwayat negara kita yang nampaknya berpengalaman dalam hal pembagian Bantuan Sosial (Bansos), sebetulnya bukan hal yang mengejutkan apabila realisasi anggaran perlindungan sosial bisa sedemikian besarnya jika dibandingkan mata anggaran lain. Boleh jadi faktor kebiasaan menyalurkan Bansos sekaligus juga kebiasaan menyelewengkan sebagian dananya memegang peranan penting dalam pencapaian tersebut.Â
Bicara soal penyelewengan, masih hangat dalam benak kita polemik Kartu Prakerja yang diluncurkan sebagai bentuk realisasi janji politik Presiden Joko Widodo pasca Pilpres 2019 yang dimenangkannya.Â
Dimulai dari konflik kepentingan yang menjerat salah seorang Staf Khusus Presiden, Belva Devara, selaku pemilik startup Ruangguru, salah satu penyelenggara pelatihan online Kartu Prakerja; mahalnya biaya untuk sebagian besar pelatihan yang sebetulnya bisa diakses secara gratis di internet; tudingan money politics; anggaran fantastis yang sebagian masuk ke lembaga pelatihan; hingga ketiadaan proses tender dalam pemilihan penyelenggara pelatihan. (Dikutip dari Kompas )
Alih-alih menjadi solusi di tengah ancaman pengangguran dan resesi seperti saat ini, Kartu Prakerja menjelma menjadi satu lagi program basa-basi yang pada kenyataannya justru mengenyangkan para elit tanpa memberikan dampak signifikan yang manfaatnya dapat dirasakan secara jangka panjang oleh masyarakat selaku sasaran programnya.Â
Rp. 20 triliun terbuang percuma, Menteri Keuangan Sri Mulyani dibuat "sakit perut", sementara Kartu Prakerja menjelma menjadi satu lagi program Bansos gagal yang dihias embel-embel yang terlalu bermuluk-muluk.
Pengalaman kita dengan Kartu Prakerja serta sekian banyaknya Bansos yang dipenuhi penyelewengan seharusnya menjadi pelajaran penting yang dapat diresapi hikmahnya dengan sungguh-sungguh. Bagi-bagi uang bukan solusi jangka panjang yang baik, terutama ketika hanya itu yang sebetulnya terjadi.Â
Yang kontra dapat berkilah bahwa dengan uang mentah ekonomi dapat digerakkan karena konsumsi ikut terstimulus, namun kenyataan di lapangan tidak melulu demikian.
Sebagian dari uang mentah tersebut nyatanya justru dikonsumsi secara tidak produktif oleh penerimanya (baik yang betul-betul berhak dan juga yang menyelewengkannya).Â
Dalam kasus Kartu Prakerja, sebagian penerima sekadar mendaftar agar uangnya dapat digunakan untuk memuaskan gaya hidup hedonis seperti misalnya untuk belanja atau pergi berlibur. Artinya, tidak semua penerima menggunakan dana bantuan secara produktif.Â
Dan memang, dengan sudah lazimnya fenomena yang penulis namakan "penerima Bansos bermobil dan ber-gadget mahal" di tengah masyarakat, harusnya bukan suatu kejutan apabila kita menjumpai hal semacam ini pada kasus Kartu Prakerja.
Dari sisi penyedia pelatihan, jelas Kartu Prakerja merupakan sumber pemasukan instan yang teramat menggiurkan. Suka tidak suka, dan mau diakui atau tidak, beberapa startup penyedia pelatihan berhasil meraup untung besar yang kemudian digunakan secara royal untuk hal-hal tertentu di luar nalar kita sebagai penonton drama konyol ini.Â
Maka tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa uang mentah jelas bukan solusi bagi masalah ekonomi yang saat ini kita hadapi kendati bantuan tersebut kita bungkus dengan embel-embel pelatihan online, sertifikasi, pendampingan, dan sebagainya yang kerap dijargonkan oleh pemerintah.
Ekonomi tumbuh dan menggeliat justru melalui alokasi secara hati-hati terhadap sumber daya yang kita miliki. Apapun yang Anda miliki, Anda alokasikan pada proyek-proyek yang jelas arahnya dan berpotensi memberikan imbal hasil yang memuaskan.Â
Upaya artifisial untuk menggenjot konsumsi atas dasar keinginan agar ekonomi dapat terus bertumbuh dan memberikan pemasukan bagi para pelaku pasar melalui bantuan seperti yang digelontorkan pemerintah selama ini justru berpotensi membuat kita kehabisan sumber daya saat nantinya betul-betul membutuhkan modal usaha di waktu yang lebih tepat. (Penulis sudah pernah menyinggung hal ini dalam tulisan lainnya di sini)
Bicara mengenai kearifan dalam mengelola sumber daya, kita mungkin harus belajar dari pengalaman kontras yang dialami oleh Norwegia dan Inggris ketika mereka menghasilkan uang banyak dari penjualan minyak bumi.Â
Di saat Inggris dengan royalnya menggunakan pemasukan dari minyak tersebut untuk memberikan beraneka subsidi kepada warga negaranya, Norwegia secara disiplin dan hati-hati mampu mengalokasikan pemasukan mereka dalam portfolio investasi yang di kemudian hari membuat mereka tetap makmur di saat harga minyak jatuh dan sumber daya minyak mereka telah menipis. (Dikutip dari Love Money )
Kita memang sejauh ini lebih mirip nasibnya dengan Inggris, terutama di masa Orde Baru ketika cadangan migas melimpah, harga jualnya bagus, namun uangnya justru digunakan secara serampangan untuk subsidi dan korupsi.Â
Situasi hari ini tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan era tersebut. Perlahan, mental masyarakat dengan sendirinya dibentuk menjadi mental peminta-minta sehingga fenomena "penerima Bansos bermobil dan ber-gadget mahal" yang penulis sebutkan di atas menjadi sesuatu yang lumrah.
Masyarakat bertikai dan rela mengorbankan kewarasannya karena perkara jatah Bansos yang sangat mungkin tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dilalui seperti misalnya pengorbanan harga diri dan hubungan baik dengan tetangga.Â
Bansos juga berpotensi menumpulkan daya juang dan pikiran kritis masyarakat dalam mengelola permasalahan dan menghasilkan solusi jangka panjang yang bermanfaat bagi diri masing-masing dan lingkungan. Kendati sebetulnya hal ini lumrah pada kalangan bawah yang memang hidupnya tidak berdaya, menjadi konyol apabila kalangan menengah perlahan menjadi demikian pula.
Apakah Bansos dalam bentuk uang mentah secara niscaya adalah sebuah kekeliruan? Tentunya tidak. Seperti yang penulis singgung di atas, pada akhirnya perlu sumber daya, termasuk dalam bentuk uang, agar ekonomi dapat bergerak, kewirausahaan dapat tumbuh, serta taraf hidup masyarakat dapat meningkat secara berkesinambungan.Â
Di sinilah sebetulnya peran dari penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah (yang sayangnya dieksekusi secara serampangan).
Dengan pelatihan dan pendampingan yang tepat, sebetulnya baik Kartu Prakerja maupun Prokus dapat menjadi program yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa keduanya tidak sesederhana memberikan presentasi di aula kampung, pendokumentasian kegiatan, serta pembuatan laporan yang sifatnya "Asal Bapak Senang" (ABS).
Perlu dihadirkan kepakaran dan penyampaian materi yang relevan dengan apa yang betul-betul dibutuhkan. Ini terdengar klise, namun percayalah implementasinya jauh lebih sulit.
Dalam kasus Kartu Prakerja, tidak cukup jika pencari kerja hanya diberikan keterampilan dasar dan omong kosong dari konten dengan judul murahan yang bahkan dapat mereka akses secara gratis di video YouTube yang jumlah viewers-nya beberapa ratus, editing-nya berantakan, dan channel-nya tidak jelas secara konsep dan asal-usul.Â
Butuh pelatihan dan uji kompetensi yang menyeluruh layaknya ketika mereka harus mengambil program sertifikasi seperti ISO atau K3 yang harganya jutaan rupiah.Â
Program pelatihan semacam ini justru adalah momentum bagi negara untuk turut menempa para pencari kerja sehingga mereka memiliki mentalitas dan keterampilan yang tepat. Jangan malah pelatihan ini menjelma menjadi layaknya iklan YouTube yang mereka tonton hanya sampai dapat di-skip.Â
Apalagi, pemerintah sendiri sedang berusaha meningkatkan kompetensi angkatan kerja agar dapat sesuai dengan kebutuhan pasar dan persaingan global. Apa iya pelatihan yang diberikan hanya selevel yang ada di program Kartu Prakerja?
Pun demikian halnya pada Prokus. Menciptakan wirausahawan dan wirausahawati tidak sesederhana mengajarkan cara membuat kue atau minuman gerobakan yang dibungkus kantong plastik bening lalu kemudian meninggalkan mereka dengan modal beberapa ratus ribu atau jutaan rupiah.Â
Mereka perlu diajarkan untuk mampu membuat model bisnis yang memiliki keunggulan kompetitif, nilai yang hendak ditawarkan, eksekusi yang rapi dan terarah, aspek personalia yang kompeten, dan sebagainya.Â
Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2010) telah menyajikan contoh pemodelan bisnis yang sebetulnya dapat dijadikan sebagai pedoman pengajaran dan inkubasi UMKM serta pengembangan pelaku wirausaha oleh pemerintah. Dalam buku mereka, dipaparkan setidaknya sembilan building blocks bagi suatu bisnis yang sudah harus ditentukan secara tegas bagi pelaku usaha saat pertama kali merintis bisnis, yakni:
- Customer Segments: Siapa konsumen yang hendak disasar?
- Value Propositions: Masalah dan kebutuhan apa yang hendak dijawab oleh seorang pebisnis?
- Channels: Bagaimana nilai tambah yang ditawarkan suatu bisnis dapat tersampaikan kepada konsumen?
- Customer Relationships: Bagaimana bisnis hendak membangun dan merawat hubungannya dengan konsumen?
- Revenue Streams: Dari mana bisnis akan memperoleh pemasukannya? Seperti apa mekanismenya?
- Key Resources: Aset dan sumber daya apa saja yang harus tersedia agar bisnis dapat menawarkan nilai tambah tertentu secara optimal?
- Key Activities: Aktivitas apa saja yang krusial dan akan menjadi kegiatan utama bisnis?
- Key Partners: Siapa saja rekanan penting bagi keberlangsungan bisnis yang perlu dirawat?
- Cost Structures: Bagaimana bisnis menyusun struktur anggarannya?
Rumitnya tanggung jawab pelatihan dan pembimbingan kewirausahaan membuat penulis terkadang merasa miris dengan bagaimana program semacam ini dari pemerintah selama ini cenderung dieksekusi secara asal-asalan.Â
Yang penting peserta sudah bisa memproduksi barang dagangan, sudah bisa berjualan, dan sudah bisa meraup untung, petugas pelatihan dapat dengan mudahnya menulis laporan keberhasilan dan menyatakan diri telah melahirkan sekian banyak wirausahawan/wirausahawati baru di kawasan X tanpa mungkin peduli dengan apakah beberapa tahun lagi para peserta ini masih berwirausaha atau tidak.
Kenyataan mengenai kerumitan teknis semacam ini seringkali dijadikan alasan bagi pemberi pelatihan dalam memberikan pelatihan dan pendampingan asal-asalan. Menurut mereka, dari pada tidak praktis, lebih baik seadanya asal dapat menjangkau sebanyak mungkin peserta dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya. Wajar, sebab ini memang parameter kinerja yang umumnya berlaku dalam institusi pemerintah.Â
Akan tetapi justru karena tendensi semacam ini, cerita kegagalan Bansos dan pelatihan tidak pernah berhenti mengalir masuk dan selalu menjadi konsumsi publik yang menjengahkan.Â
Kita dapat menengok, misalnya, bagaimana di Amerika Serikat sekalipun saat ini sedang marak terjadinya penyelewengan bantuan yang dilakukan oleh korporasi dengan cara membuat laporan palsu mengenai kondisi perusahaan mereka agar dapat memperoleh fasilitas pinjaman dari negara. Kerugian negara dapat mencapai jutaan dollar per kasus. (Selengkapnya dapat diakses di Forbes)
Pada akhirnya, kita menaruh harapan bahwa Prokus akan bernasib lebih baik ketimbang Kartu Prakerja kendati kemungkinan besar akan berakhir sebagaimana Bansos lainnya di masa lalu yang tidak pernah lepas dari penyelewengan, basa-basi, dan omong kosong.Â
Sebagai masyarakat, selain membantu mengawal eksekusi dari program-program semacam ini, kita juga dapat berpartisipasi secara aktif melalui gerakan berbasis komunitas yang ditujukan untuk bertukar keahlian dan jaringan sehingga siapapun Anda, pekerja profesional maupun pemilik usaha, Anda tetap dapat memberikan dampak setidaknya bagi orang-orang di sekitar.Â
Kunci keberhasilan dalam upaya negara kita saat ini untuk melakukan rebound di tengah resesi, menurut hemat penulis, ada pada upaya kolektif dalam kerangka kerja berbasis sharing economy. Di saat sumber daya dan modal kerja semakin menipis akibat ketiadaan pemasukan, kita perlu kembali pada jati diri masyarakat kita yang gemar bergotong-royong.Â
Selain dapat mengurangi ketergantungan yang tidak sehat kepada program-program Bansos yang jauh dari kata andal, gotong-royong memberi peluang terhadap kemungkinan-kemungkinan inovasi yang tidak terbatas sebab pada akhirnya setiap proyek ekonomi memerlukan sumber daya yang memadai.
Referensi
Osterwalder, A., Pigneur, Y. (2010). Business Model Generation. Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H