Di saat Inggris dengan royalnya menggunakan pemasukan dari minyak tersebut untuk memberikan beraneka subsidi kepada warga negaranya, Norwegia secara disiplin dan hati-hati mampu mengalokasikan pemasukan mereka dalam portfolio investasi yang di kemudian hari membuat mereka tetap makmur di saat harga minyak jatuh dan sumber daya minyak mereka telah menipis. (Dikutip dari Love Money )
Kita memang sejauh ini lebih mirip nasibnya dengan Inggris, terutama di masa Orde Baru ketika cadangan migas melimpah, harga jualnya bagus, namun uangnya justru digunakan secara serampangan untuk subsidi dan korupsi.Â
Situasi hari ini tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan era tersebut. Perlahan, mental masyarakat dengan sendirinya dibentuk menjadi mental peminta-minta sehingga fenomena "penerima Bansos bermobil dan ber-gadget mahal" yang penulis sebutkan di atas menjadi sesuatu yang lumrah.
Masyarakat bertikai dan rela mengorbankan kewarasannya karena perkara jatah Bansos yang sangat mungkin tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dilalui seperti misalnya pengorbanan harga diri dan hubungan baik dengan tetangga.Â
Bansos juga berpotensi menumpulkan daya juang dan pikiran kritis masyarakat dalam mengelola permasalahan dan menghasilkan solusi jangka panjang yang bermanfaat bagi diri masing-masing dan lingkungan. Kendati sebetulnya hal ini lumrah pada kalangan bawah yang memang hidupnya tidak berdaya, menjadi konyol apabila kalangan menengah perlahan menjadi demikian pula.
Apakah Bansos dalam bentuk uang mentah secara niscaya adalah sebuah kekeliruan? Tentunya tidak. Seperti yang penulis singgung di atas, pada akhirnya perlu sumber daya, termasuk dalam bentuk uang, agar ekonomi dapat bergerak, kewirausahaan dapat tumbuh, serta taraf hidup masyarakat dapat meningkat secara berkesinambungan.Â
Di sinilah sebetulnya peran dari penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah (yang sayangnya dieksekusi secara serampangan).
Dengan pelatihan dan pendampingan yang tepat, sebetulnya baik Kartu Prakerja maupun Prokus dapat menjadi program yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa keduanya tidak sesederhana memberikan presentasi di aula kampung, pendokumentasian kegiatan, serta pembuatan laporan yang sifatnya "Asal Bapak Senang" (ABS).
Perlu dihadirkan kepakaran dan penyampaian materi yang relevan dengan apa yang betul-betul dibutuhkan. Ini terdengar klise, namun percayalah implementasinya jauh lebih sulit.
Dalam kasus Kartu Prakerja, tidak cukup jika pencari kerja hanya diberikan keterampilan dasar dan omong kosong dari konten dengan judul murahan yang bahkan dapat mereka akses secara gratis di video YouTube yang jumlah viewers-nya beberapa ratus, editing-nya berantakan, dan channel-nya tidak jelas secara konsep dan asal-usul.Â
Butuh pelatihan dan uji kompetensi yang menyeluruh layaknya ketika mereka harus mengambil program sertifikasi seperti ISO atau K3 yang harganya jutaan rupiah.Â