Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belajar dari Polemik Kartu Prakerja: Karena Ekonomi Butuh Lebih dari Sekadar Bansos, Pelatihan, dan Basa-basi

6 Agustus 2020   08:00 Diperbarui: 6 Agustus 2020   09:29 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polemik Kartu Prakerja | Sumber: https://fajar.co.id/

Program pelatihan semacam ini justru adalah momentum bagi negara untuk turut menempa para pencari kerja sehingga mereka memiliki mentalitas dan keterampilan yang tepat. Jangan malah pelatihan ini menjelma menjadi layaknya iklan YouTube yang mereka tonton hanya sampai dapat di-skip. 

Apalagi, pemerintah sendiri sedang berusaha meningkatkan kompetensi angkatan kerja agar dapat sesuai dengan kebutuhan pasar dan persaingan global. Apa iya pelatihan yang diberikan hanya selevel yang ada di program Kartu Prakerja?

Pun demikian halnya pada Prokus. Menciptakan wirausahawan dan wirausahawati tidak sesederhana mengajarkan cara membuat kue atau minuman gerobakan yang dibungkus kantong plastik bening lalu kemudian meninggalkan mereka dengan modal beberapa ratus ribu atau jutaan rupiah. 

Mereka perlu diajarkan untuk mampu membuat model bisnis yang memiliki keunggulan kompetitif, nilai yang hendak ditawarkan, eksekusi yang rapi dan terarah, aspek personalia yang kompeten, dan sebagainya. 

Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2010) telah menyajikan contoh pemodelan bisnis yang sebetulnya dapat dijadikan sebagai pedoman pengajaran dan inkubasi UMKM serta pengembangan pelaku wirausaha oleh pemerintah. Dalam buku mereka, dipaparkan setidaknya sembilan building blocks bagi suatu bisnis yang sudah harus ditentukan secara tegas bagi pelaku usaha saat pertama kali merintis bisnis, yakni:

  1. Customer Segments: Siapa konsumen yang hendak disasar?
  2. Value Propositions: Masalah dan kebutuhan apa yang hendak dijawab oleh seorang pebisnis?
  3. Channels: Bagaimana nilai tambah yang ditawarkan suatu bisnis dapat tersampaikan kepada konsumen?
  4. Customer Relationships: Bagaimana bisnis hendak membangun dan merawat hubungannya dengan konsumen?
  5. Revenue Streams: Dari mana bisnis akan memperoleh pemasukannya? Seperti apa mekanismenya?
  6. Key Resources: Aset dan sumber daya apa saja yang harus tersedia agar bisnis dapat menawarkan nilai tambah tertentu secara optimal?
  7. Key Activities: Aktivitas apa saja yang krusial dan akan menjadi kegiatan utama bisnis?
  8. Key Partners: Siapa saja rekanan penting bagi keberlangsungan bisnis yang perlu dirawat?
  9. Cost Structures: Bagaimana bisnis menyusun struktur anggarannya?

Rumitnya tanggung jawab pelatihan dan pembimbingan kewirausahaan membuat penulis terkadang merasa miris dengan bagaimana program semacam ini dari pemerintah selama ini cenderung dieksekusi secara asal-asalan. 

Yang penting peserta sudah bisa memproduksi barang dagangan, sudah bisa berjualan, dan sudah bisa meraup untung, petugas pelatihan dapat dengan mudahnya menulis laporan keberhasilan dan menyatakan diri telah melahirkan sekian banyak wirausahawan/wirausahawati baru di kawasan X tanpa mungkin peduli dengan apakah beberapa tahun lagi para peserta ini masih berwirausaha atau tidak.

Kenyataan mengenai kerumitan teknis semacam ini seringkali dijadikan alasan bagi pemberi pelatihan dalam memberikan pelatihan dan pendampingan asal-asalan. Menurut mereka, dari pada tidak praktis, lebih baik seadanya asal dapat menjangkau sebanyak mungkin peserta dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya. Wajar, sebab ini memang parameter kinerja yang umumnya berlaku dalam institusi pemerintah. 

Akan tetapi justru karena tendensi semacam ini, cerita kegagalan Bansos dan pelatihan tidak pernah berhenti mengalir masuk dan selalu menjadi konsumsi publik yang menjengahkan. 

Kita dapat menengok, misalnya, bagaimana di Amerika Serikat sekalipun saat ini sedang marak terjadinya penyelewengan bantuan yang dilakukan oleh korporasi dengan cara membuat laporan palsu mengenai kondisi perusahaan mereka agar dapat memperoleh fasilitas pinjaman dari negara. Kerugian negara dapat mencapai jutaan dollar per kasus. (Selengkapnya dapat diakses di Forbes)

Pada akhirnya, kita menaruh harapan bahwa Prokus akan bernasib lebih baik ketimbang Kartu Prakerja kendati kemungkinan besar akan berakhir sebagaimana Bansos lainnya di masa lalu yang tidak pernah lepas dari penyelewengan, basa-basi, dan omong kosong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun