Mohon tunggu...
Rio Satrio
Rio Satrio Mohon Tunggu... Freelancer - English Education

Tukang tidur yang merubah mimpi jadi bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Renta

18 Agustus 2019   03:37 Diperbarui: 18 Agustus 2019   03:52 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" Hey... apa yang kau lakukan!!!". Ruri berteriak keras

" Hentikan !!...hey hentikan".

Ruri memegang tubuh orang itu, mukanya kumuh, tubuhnya menyengat aroma tak sedap, mulutnya hanya diam dan tangannya bergetar tapi matanya memancarkan kebencian, menatap sekeliling jembatan jalan.

Tak sengaja Ruri sedang mengendarai mobilnya dan melihat seseorang yang hendak membiarkan tubuhnya terkoyak pada ketinggian dan berserakan di aspal jalan, jika meloncat dari jembatan yang sangat tinggi. Tak banyak orang yang peduli dengan kejadian itu, mereka hanya berlalu -- lalang dengan mobilnya, namun Ruri mengetahui maksud si Bapak yang mulai merangkak naik kepinggiran jembatan.

Terik matahari menimbulkan dahaga dan melemahkan kaki  Bapak tersebut, sehingga langkahnya tertatih dan pelan, membuat Ruri bisa dengan cepat menahan tubuh  Bapak itu, tubuhnya meronta dengan tenaga seadanya dan takkan pernah bisa mengalahkan  tubuh Ruri yang cukup besar dan tinggi, dengan tangannya yang kokoh, Ruri membawa Bapak itu ketempat yang lebih teduh.

" Bapak kenapa?". Tanya Ruri

" Bapak sadar apa yang Bapak lakukan? Kalo Bapak loncat, masalah Bapak akan lebih berat di akherat nanti".

Bapak itu masih terdiam

" Minumlah...". Ruri menyodorkan sebotol aqua sambil tersenyum, namun Bapak itu tetap saja diam. Tetap memandangi sekitaran jalan.

" Bapak punya keluarga?". Bapak itu hanya mengangguk, kini matanya tajam melihat kearah Ruri, lalu mulai menggerakan tangan membuka tutup botol minum lalu meminumya. Terlihat dari caranya minum, ia begitu kehausan, airnya sedikit tumpah karena tangannya masih bergetar.

" Nama kau siapa?". Tanya Bapak itu

" Ruri pak".

" Kau bodoh Ruri...".

" Maksud Bapak?".

" Kenapa tak kau biarkan saja aku mati !".

" Pak sadarlah, kalo Bapak mati permasalahan Bapak akan semakin berat nanti, mati dengan cara bunuh diri sangat dilarang oleh agama, dan Bapak tahu? balasan yang akan Bapak terima nanti? ".

" Neraka lebih baik dibanding hidup didunia yang tanpa hentinya dengan penderitaan".

" Astagfirullah ". Ruri bergumam dalam hatinya, kaget dengan apa yang telah Bapak itu katakan, apa sudah tidak ada lagi nama tuhan di dalam hatinya atau hatinya benar -- benar tertutup mati karena penderitaan yang ia hadapi , jelas ia telah tenggelam dalam keputusasaan.

" Bapak jangan bilang begitu, seberat apapun penderitaan Bapak. Allah pasti membantu Bapak, ingat Pak, penderitaan di dunia hanyalah sementara. Sedangkan di akherat nanti, semuanya kekal dan pasti lebih pedih di banding dunia".

" Tahu apa kau dengan penderitaan?".  Sedikit membentak Ruri

" Kau tahu, selama ini aku hanya berjalan di jalanan, mencari sisa makanan di tong sampah. Setiap hari istri dan anakku kelaparan, kami tinggal di bawah kolong jembatan dengan kardus -- kardus bekas sebagai atap dan alas rumah".

Kini Ruri terdiam.

" Orang -- orang berlalu lalang di sekitar kami dengan kemewahannya yang berlimpah ruah, tanpa sedikit pun peduli. Menganggap kami orang gila yang selalu mencari makan di tempat pembuangan sampah mereka, mengacuhkan kami kala meminta sepeser uang didepan rumah ".

" Bukan Aku tak percaya dengan adanya tuhan. Aku selalu berdoa, memohon kepadanya tapi apa?? Sedikit pun tak ada jawaban darinya".

Ruri menundukan pandangannya, matanya sedikir berkaca -- kaca mendengar sekilas apa yang telah Bapak itu katakan.

" Pak...Bapak jangan nyerah, jangan putus asa...". Belum selesai berkata Bapak itu memotong perkataan Ruri

" Kau tahu". Matanya melotot dan menunjukan jarinya di muka Ruri

" Selama ini aku percaya akan adanya pertolongan, mengharap pada harapan setiap harinya. Hingga kemarin adalah ujung pengharapanku. Mereka menggusur rumah kardus kami dengan pongahnya tanpa ada sedikit kata permisi, tanpa menghiraukan air mata kami, tanpa memikirkan dimana nanti kami akan menemukan tempat berteduh lagi". Matanya mulai berbinar dan sedikit meneteskan air mata, dengan suaranya yang sedikit parau ia meneruskan kembali bicaranya.

" Aku tahu, Negeri ini adalah Negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya. Negeri yang membuat negeri lain iri akan apa yang dipunyainya. Pemimpin -- pemimpin negeri ini adalah orang -- orang yang pintar. Namun, pernahkah sedikit berpikir akan kesejahteraan rakyatnya? rakyat seperti kami yang tidak mempunyai pekerjaan dan menjadi gembel dijalanan".

" Bukan aku malas tak mencari kerja, kau tahu sendiri mencari pekerjaan itu susah bagi mereka yang kurang pendidikan atau mereka  yang tak punya uang untuk menyogok perusahaan, agar diterima kerja. Untuk apa Aku hidup, tak ada gunanya hidup seperti ini".

Ruri masih menundukan kepalanya, namun sesekali melihat sekeliling jalanan yang terik. Kepalanya terus berpikir, orang seperti ini tak akan pernah bisa disadarkan oleh perkataan lagi, hatinya benar -- benar tertutup dengan keputusasaan. Namun Ruri menilai dari perkataannya, bahwa Bapak ini adalah orang yang jujur dan bertanggung jawab, hanya saja, saat ini hatinya telah dikalahkan oleh rasa putus asa, lalu ia berpikir, alangkah lebih baik jika Bapak ini ia bawa.

" Baik Pak, tempat tinggal Bapak dimana?".

" Aku tak punya tempat tinggal ".

" Kalau begitu dimana istri beserta anak Bapak tinggalkan saat ini ".

Ia menunduk, lalu Ruri memegang tangannya dan menyuruhnya masuk kedalam mobil.

" Beri tahu saya".

Mobilnya terhenti di bawah jembatan, Ruri melihat ada dua orang yang sedang tidur beralaskan kardus, wanita dan anak kecil yang berumur kisaran tiga tahun, tidak salah lagi mereka pasti istri dan anak Bapak ini, salah satu dari mereka terbangun. Yakni seorang wanita dengan muka dan baju lusuh, matanya menatap ke arah mobil yang terhenti.

" Mereka istri dan anakku ". Kata si Bapak sambil menunjuk

Lalu Ruri dan si Bapak turun dari dalam mobil, wajah wanita tersebut merasa aneh kala mereka turun dan menghampirinya.

" Bapak ? Bapak dari mana saja?". Kata istri dari si Bapak dengan tatapan terkesan aneh

" Bapak sudah cari makan tadi, ini makanlah dan bangunkan Adit Bu". Si Bapak menjawab dengan senyumannya dan menyodorkan dua bungkus makanan.

Makanan tersebut mereka beli dijalan, Ruri sengaja mampir kesebuah warung dan mengajak Bapak itu makan bersama, tak lupa Ruri berpikir pasti Istri dan anak si Bapak ini belum makan, lalu membungkuskannya dua makanan beserta satu botol aqua berisi 1 liter air.

" Nak ayo bangun, ini makan Bapak telah membawakan makanan. Kamu belum makan dari pagi ".

Anak itu terbangun, lalu duduk dipangkuan ibunya. Ia melirik kearah Ruri.

" Pak itu siapa?". Anak itu menunjuk kearah Ruri

" Saya Ruri, nama adik siapa?". Ruri menjawab dengan senyuman khasnya, lalu ia mengusap kepala anak itu.

" Adit ". Dengan sedikit bengong melihat wajah Ruri karena mengusap kepalanya

" Bu biar saya saja yang nyupapinnya, Ibu makan lah".

Ibu itu hanya tersenyum dan membiarkan Ruri Menyuapi anaknya.

Kini mereka saling mengenal, banyak berbincang tentang kehidupan mereka. Ruri jadi semakin yakin kepada Bapak ini, bahwa di dalam hatinya benar -- benar masih ada semangat dan rasa tanggung jawab.

" Nanti selepas makan Ibu dan Adit ikut saya ya". Kata Ruri sambil tersenyum

" Loh kemana nak Ruri?". Tanya si Ibu

" Kerumah saya Bu ".

" Pak?". Tanya si ibu ke suaminya

Sedangkan si Bapak hanya mengangguk sambil tersenyum

Sebenarnya di warung makan tadi, Ruri menawari si Bapak untuk kerja di rumahnya sebagai pembantu, jelas dengan bahagianya si Bapak menerima tawaran tersebut, apalagi ketika menyuruh anaknya untuk sekolah lagi dan biaya ditanggung semua oleh Ruri dan keluarganya. Ruri termasuk anak yang beruntung karena di lahirkan oleh orang tua yang sangat berkecukupan, disamping itu orang tua Ruri adalah orang yang sangat penyayang pada sesama dan menularlah sifat tersebut kepada Ruri.

Umurnya baru saja  21 tahun, tapi sifat kedewasaanya sudah timbul kala ia berumur 18 tahun. Selain itu Ruri pun adalah seorang anak yang cerdas dan tampan, sampai banyak wanita yang mengaguminya. Namun ia masih ingin fokus pada pendidikannya dan tak ingin terbebani oleh masalah percintaan. Di samping itu ia juga sangat taat kepada agamanya.

" Nak Ruri terimakasih banyak, kalo tidak ada nak Ruri mungkin saat ini saya sudah mati ".

" Sama -- sama pak, tapi ini semua bukan karena saya. Ini semua karena Allah SWT mengulurkan tangannya lewat saya, Bapak patut bersyukur kepada Allah dan terus beribadah kepadanya".  

" Andai semua pemuda di Negara ini memiliki sifat yang sama seperti nak Ruri, pasti Negara ini akan sangat maju dan sejahtera". Si Bapak sambil menundukan kepalanya, air matanya kembali mengalir

" Do'a kan saja pak, kita sama -- sama berdo'a agar pemuda bangsa tetap sadar pada hakekatnya sebagai pundak Negara yang akan melanjutkan estafeta kepemimpinan bangsa ini".

Kemudian si Bapak memeluk Ruri dengan sangat erat, begitupun Ruri. Tanpa Ia sadari, ia telah menyelamatkan tiga nyawa manusia dengan kebaikan dan nuraninya. Pertolongan Allah pasti akan selalu ada lewat jalan yang  tidak terduga. Bukan berarti ketika semua orang tak peduli maka tak akan pernah ada satu pun yang peduli dan merasa mati adalah jalan satu -- satunya untuk menghentikan penderitaan. Jelas pernyataan itu salah besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun