" Orang -- orang berlalu lalang di sekitar kami dengan kemewahannya yang berlimpah ruah, tanpa sedikit pun peduli. Menganggap kami orang gila yang selalu mencari makan di tempat pembuangan sampah mereka, mengacuhkan kami kala meminta sepeser uang didepan rumah ".
" Bukan Aku tak percaya dengan adanya tuhan. Aku selalu berdoa, memohon kepadanya tapi apa?? Sedikit pun tak ada jawaban darinya".
Ruri menundukan pandangannya, matanya sedikir berkaca -- kaca mendengar sekilas apa yang telah Bapak itu katakan.
" Pak...Bapak jangan nyerah, jangan putus asa...". Belum selesai berkata Bapak itu memotong perkataan Ruri
" Kau tahu". Matanya melotot dan menunjukan jarinya di muka Ruri
" Selama ini aku percaya akan adanya pertolongan, mengharap pada harapan setiap harinya. Hingga kemarin adalah ujung pengharapanku. Mereka menggusur rumah kardus kami dengan pongahnya tanpa ada sedikit kata permisi, tanpa menghiraukan air mata kami, tanpa memikirkan dimana nanti kami akan menemukan tempat berteduh lagi". Matanya mulai berbinar dan sedikit meneteskan air mata, dengan suaranya yang sedikit parau ia meneruskan kembali bicaranya.
" Aku tahu, Negeri ini adalah Negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya. Negeri yang membuat negeri lain iri akan apa yang dipunyainya. Pemimpin -- pemimpin negeri ini adalah orang -- orang yang pintar. Namun, pernahkah sedikit berpikir akan kesejahteraan rakyatnya? rakyat seperti kami yang tidak mempunyai pekerjaan dan menjadi gembel dijalanan".
" Bukan aku malas tak mencari kerja, kau tahu sendiri mencari pekerjaan itu susah bagi mereka yang kurang pendidikan atau mereka  yang tak punya uang untuk menyogok perusahaan, agar diterima kerja. Untuk apa Aku hidup, tak ada gunanya hidup seperti ini".
Ruri masih menundukan kepalanya, namun sesekali melihat sekeliling jalanan yang terik. Kepalanya terus berpikir, orang seperti ini tak akan pernah bisa disadarkan oleh perkataan lagi, hatinya benar -- benar tertutup dengan keputusasaan. Namun Ruri menilai dari perkataannya, bahwa Bapak ini adalah orang yang jujur dan bertanggung jawab, hanya saja, saat ini hatinya telah dikalahkan oleh rasa putus asa, lalu ia berpikir, alangkah lebih baik jika Bapak ini ia bawa.
" Baik Pak, tempat tinggal Bapak dimana?".
" Aku tak punya tempat tinggal ".