Pak Kartono, kepala desa, menyambut kami dengan hangat. "Selamat datang di Desa M," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Kami telah menyiapkan tempat menginap untuk kalian di rumah-rumah warga. Semoga kalian betah di sini."
Kami kemudian diarahkan untuk menaruh barang-barang di rumah-rumah sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu, namun tetap kokoh dan nyaman. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan laut yang memukau, di mana garis horizon bertemu dengan langit biru cerah.
"Nath, don't forget to bring camera ya. Buat merekam hasil wawancara warga, biar nggak repot ketika bikin laporan." ujar Almira mengingatkan Nathan.
"Iye Raraa cakep, tenang aja gue gabakal lupa." Jawab Nathan sambil memegang pundak Almira dari belakang. Almira tertawa pelan, "Apaan sih, lepas deh."
Aku sejak tadi tidak banyak bersuara, hanya mengikuti mereka berdua yang sibuk bercanda berdua. Aku kira Almira tidak sedang dekat dengan siapa-siapa, ternyata ia akrab sekali dengan Nathan. Apa mereka berdua sudah berpacaran ya? Mendadak aku mengutuk diriku sendiri yang lagi-lagi gagal mengambil kesempatan. Ah, tapi bisa jadi ini hanya firasatku saja.
Kami memulai mewawancarai warga, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, hingga para remaja yang ada di desa ini. Mereka semua bercerita mengenai pendapatan mereka yang berkurang pasca pandemi. Ternyata, desa ini adalah desa wisata yang kehilangan pengunjungnya semenjak pandemi melanda. Akhirnya, wisatawan mulai melupakan pantai ini dan UMKM warga lokal pun mau tak mau harus gulung tikar.
Adapun para remaja, mereka bercerita perihal akses pendidikan yang sulit. Sulit untuk membangun sekolah di dekat pantai, dan anak-anak remaja belajar di pelataran rumah warga yang dijadikan sekolah sementara. Guru-gurunya diutus dari Kementerian Pendidikan. Hanya saja, sudah setahun ini mereka tak datang. Sekarang, anak-anak hanya belajar bermodalkan buku-buku yang dulu pernah dipakai.
"Bapak sudah mencoba melakukan promosi via media sosial?" tanya Almira pada salah satu warga.
"Bagaimana ya mbak, ekonomi sedang sulit begini mana sempat untuk buka media sosial. Lagipula untuk beli kuota kan juga butuh biaya mbak. Jaringan sinyal di sini juga tidak sebagus di perkotaan." jawab salah satu warga.
Almira manut-manut, mulai mencatat segala macam problematika yang dialami warga. Sekarang giliranku bertanya, "Untuk masalah pendidikan, kami berniat untuk mengadakan program pelatihan mengajar serta sosialisasi mengenai digitalisasi pendidikan. Untuk masalah internet dan segala macamnya, nanti akan kami bantu. Kira-kira bapak ibu apakah mengizinkan?"
Para warga tertarik dengan tawaranku, wajah mereka langsung terlihat cerah. Almira menyenggol bahuku dan melihatku sembari menaikkan alis, mungkin ia mempertanyakan program yang aku ajukan tanpa adanya persetujuan dari anggota kelompok KKN.