Adikku menoleh sebentar, lalu kembali menatap layar handphonenya, "Udah kak, pas setelah pulang sekolah. Kakak ngapain disini?"
Aku menghampiri kasurnya dan duduk, sembari mengangkat kepala sedikit untuk melihat apa yang dimainkan oleh adikku. Ternyata hanya sebuah game tembak-tembakan yang membosankan.
"Aku cuman pengen ngeliat kamar kamu aja." Jawabku.
"Kakak udah ngerjain tugas sekolah?" tanya adikku yang terlihat masih fokus dengan gamenya.
"Belum, tugas mulu setiap hari, toh, belum tentu penting juga kan?" Aku menjawab dengan sedikit rasa malas, buat apa aku mengerjakan PR? Pulang sudah sore, ngerjain PR pula.
"Yaah," Adikku melempar pelan ponselnya, mungkin ia kalah dalam game. Ia menghela napas, menoleh ke arahku "Ayolah, kak. Kata ayah kamu harus kerja keras kalau mau sukses."
"Kau sendiri juga main game. Apa main game bisa bikin kamu sukses?" tanyaku balik.
"Kakak belum tahu saja kalau gamer itu gajinya tinggi." Jawab adikku antusias.
"Dimas dimas, yang gajinya tinggi itu yang udah professional. Kalau gamer kayak kamu mah mana mungkin bisa dapet gaji tinggi." Aku nyengir melihat wajah adikku yang sedikit kesal.
Aku mulai sedikit kasihan melihat wajah adikku, "Baiklah, lupakan soal game. Bagaimana sekolahmu?"
Dimas menatap mataku, ia mendongakkan kepala dan menghela napas, "Seperti biasa, Devano meninju wajah Rizky, dan sekarang ia ada di ruang kepala sekolah."