Satu bulan sudah Tentara Nica, menduduki Purwokerto dan sekitarnya. Kekejaman Patroli Nica semakin menjadi-jadi. Demikian juga gerilya Tentara Republik, semakin berani menyergap tentara Nica Patroli baik siang maupun malam bila mereka berani keluar kota. Demikian juga hampir setiap malam, pos-pos penjagaan tentara Nica disetiap sudut kota serbu dan hampir sepanjang malam pasti terdengar suara tembakan artileri dan mortir menggelegar.
…….
“Pak, rumah orangtua saya di bakar, ini dipastikan ulah orang sendiri yang melaporkan ke tentara Nica” di tengah malam, satu hari setelah kejadian ia bertemu dengan Serka Harjo setelah melaporkan situasi dan kondisi pengamatan di lapangan.
“Mas Toyo, begini saja saya kenal dengan Komisaris Polisi Distrik Sokaraja Pak Warsilam coba kamu cari di daerah Sokaraja pinggiran, dia punya jaringan dan mata-mata di dalam kota dan ahli kontra intelejen, temui dan bilang salam dari Serka Harjo, besok sore kalau tidak salah posisinya di rumah Carik Desa Mersi coba kamu kesana sore hari”
………..
Ketika siang jelang sore, aku berjalan kaki melalui sawah-sawah dan pinggiran Desa, menuju ke rumah Carik Desa Mersi. Sesaat aku mengamati dan mempelajari situasi Desa Mersi sambil berjalan hati-hati aku dikagetkan oleh teguran dari gerumbul pohon Salak.
“Kang Martoyo…ke sini” aku melangkah ke arah yang memanggil
“Lho..Kang Teguh, Narto, Dirsun, Wanto pada disini, panen salak yaa…” tegurnya pada mereka semua pemuda desa Mersi yang Aku pernah latih dasar-dasar kemiliteran, dan mereka sedang memetik buah salak.
“Ini disuruh Pak Carik petik salak buat oleh-oleh tamu…mau kemana?”
“Mau ke rumah Pak Carik, saya dapat pesan supaya menemui Polisi Warsilam dari Sokaraja”
“Lhaah kebetulan lagi dirumah Pak Carik, baru saja menangkap tiga orang Anjing Nica nanti malam katanya mau…” kang Teguh terdiam sesaat, kemudian tangan kanannya di digerakan di leher.