Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lazimnya Gratifikasi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

11 September 2024   10:47 Diperbarui: 12 September 2024   17:10 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengadaan Barang/Jasa dan Korupsi

Berdasarkan data jumlah tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, jenis perkara korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) menempati posisi terbanyak kedua sejak tahun 2004 sampai dengan 22 Januari 2024. KPK telah menangani 339 kasus korupsi di sektor PBJ, sementara jenis perkara Gratifikasi/Penyuapan menempati urutan terbanyak dengan 989 kasus.

Gratifikasi/Penyuapan itu sendiri pun adalah salah satu modus korupsi yang kerap terjadi dalam PBJ. Sebagaimana dilansir dari instagram @official.kpk dan dikutip oleh detikFinance, modus korupsi yang kerap terjadi di sektor PBJ seperti suap/gratifikasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan proses PBJ, mark-up harga barang dan jasa yang tidak sesuai dengan harga asli, PBJ fiktif, dan pengaturan pemenang tender.

Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 juga memaksa kita untuk menaruh kekhawatiran terhadap performa PBJ. Secara nasional, skor SPI 2023 mengalami penurunan dari capaian tahun sebelumnya. Skor SPI nasional yang semula sebesar 71,94 pada tahun 2022 turun menjadi 70,97 pada tahun 2023. Salah satu penyebab penurunan tren ini adalah karena risiko korupsi di lembaga pemerintah masih cukup rentan. Sebanyak 38% dari responden menilai masih terjadi penyalahgunaan PBJ. 

Sementara itu, risiko suap dan gratifikasi mengalami peningkatan hingga 3-4% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, 26% responden pegawai menyatakan melihat/ mendengar rekan kerjanya menerima suap/ gratifikasi (meningkat 3%). Peningkatan sebesar 4% juga terjadi dari sudut pandang eksternal sehingga 24% responden eksternal 2023 menyatakan pernah memberikan sesuatu kepada pegawai ketika mengurus layanan/menerima manfaat/mengikuti proses pengadaan barang dan jasa. 

Peningkatan terjadi baik pada Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah. Di sisi lain, sebanyak 7% responden menyatakan pernah mendengar/melihat pemenang paket pengadaan barang/jasa merupakan peserta yang memberikan sesuatu (uang, barang, fasilitas, dan sejenisnya) kepada pihak terkait di seluruh K/L/PD peserta SPI 2023.

Dari laman jaga.id kita bisa memperoleh gambaran yang lebih detil tentang penilaian responden terhadap PBJ di dalam SPI 2023 tersebut, antara lain:

  1. sebanyak 34,66% reponden K/L/PD menilai proses pemilihan diatur untuk memenangkan Penyedia Barang/Jasa tertentu;

  2. 42,41% responden K/L/PDmenilai kualitas barang/jasa yang didapatkan tidak sesuai dengan harga (kemahalan);

  3. 41,17% responden K/L/PD menilai Penyedia Barang/Jasa pemenang pengadaan memiliki hubungan kedekatan dengan pejabat (kekeluargaan, organisasi, pendukung politik/tim sukses dll);

  4. 35,06% responden K/L/PD menilai pemenang paket PBJ merupakan peserta yang memberikan sesuatu (uang, barang, fasilitas, dan sejenisnya) kepada pihak terkait;

  5. 37,85% responden K/L/PDmenilai hasil pengadaan barang/jasa yang tidak bermanfaat;

  6. 12,10% responden K/L/PD memiliki persepsi adanya penyalahgunaan anggaran dalam proses PBJ; dan

  7. 44,73% responden narasumber ahli (eksper) yang dipilih secara acak oleh KPK menilai bahwa PBJ telah dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Proporsi ini menunjukan bahwa PBJ berada dalam masalah yang sangat serius.

Mungkin kita masih bisa merasa lega, jika proporsi yang dilihat hanyalah perbandingan antara statistik tindak pidana korupsi berdasarkan jenis perkara PBJ dengan jumlah keseluruhan paket PBJ yang telah dilaksanakan. Sebab, angka 339 kasus korupsi dalam PBJ yang disajikan dalam statistik tindak pidana korupsi tidak melebihi 1% dari puluhan juta paket PBJ yang telah dilaksanakan sejak tahun 2004. 

Data statistik tindak pidana korupsi dalam PBJ yang ditangani oleh KPK sangat mungkin tidak merepresentasikan kemampuan KPK yang sesungguhnya dalam menindak tegas pelaku tindak pidana korupsi yang sangat mungkin terjadi pada puluhan juta paket PBJ yang dilaksanakan di negeri ini, bahkan jika dibantu Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya. Apalagi jika modus korupsi yang terjadi dalam PBJ sulit dideteksi, seperti Gratifikasi.

Saat tengah menjabat sebagai Ketua KPK, Firli Bahuri pun pernah menyampaikan bahwa Gratifikasi adalah modus korupsi yang berbentuk samar dan sulit terdeteksi. Bahkan karena kesamarannya itu, yang bersangkutan pun sampai tidak mampu mendeteksi Gratifikasi yang ia terima dari Menteri Pertanian non aktif,  Syahrul Yasin Limpo. 

Berdasarkan pengalaman Penulis sebagai Pengelola PBJ di salah satu instansi Pemerintah sejak tahun 2009, samarnya Gratifikasi dalam PBJ cukup terkonfirmasi. Gratifikasi bisa terjadi tanpa ada indikasi mark-up atau kemahalan harga atau bahkan kualitas barang/jasa yang tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Penyedia dapat dengan sukarela memberikan Gratifikasi kepada Pengelola PBJ dengan mengurangi keuntungan yang mereka terima. Kesamaran ini bisa semakin menjadi ketika Gratifikasi dilakukan pada paket-paket PBJ dengan metode pengadaan langsung atau e-purchasing. 

Pada PBJ dengan metode pengadaan langsung atau e-purchasing, Pengelola PBJ dapat berkontrak dengan Penyedia tanpa harus melalui proses kompetisi. Dengan metode seperti ini, peluang Penyedia yang dipilih berdasarkan favoritisme dan nepotisme sangat terbuka lebar. 

Metode pengadaan langsung digunakan untuk pengadaan barang, jasa lainnya dan pekerjaan konstruksi dengan nilai pagu anggaran sampai dengan dua ratus juta Rupiah dan pengadaan jasa konsultansi dengan nilai pagu anggaran sampai dengan seratus juta Rupiah. Sedangkan metode e-purchasing digunakan untuk pengadaan barang, jasa lainnya dan pekerjaan konstruksi yang sudah ditayangkan di dalam katalog elektronik.

Seperti telah dijelaskan di atas, Penyedia yang dipilih dengan metode pengadaan langsung atau e-purchasing dapat memberikan Gratifikasi dengan mengurangi keuntungan yang mereka terima tanpa ada indikasi mark-up harga atau mengurangi kualitas barang/jasa. Tujuan mereka memberikan Gratifikasi adalah demi keberlanjutan hubungan kerjasama dengan instansi/Pengelola PBJ terkait. Namun, modus mengurangi keuntungan untuk memberikan Gratifikasi hanya ilusi semata. Kerja sama jangka panjang yang diawali dengan Gratifikasi hanya akan menimbulkan inefisiensi pada masa yang akan datang. Penyedia akan mengakumulasi biaya yang dikeluarkan sejak awal untuk Gratifikasi dalam kontrak PBJ berikutnya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Dastidar dan Jain (2023) dalam Laporan SPI 2023 bahwa korupsi pada pengadaan barang dan jasa berhubungan erat dengan favoritisme dan nepotisme, sehingga penyelewengan dalam prosesnya dapat terjadi untuk memenangkan penyedia tertentu. Bentuk penyelewengan ini menyebabkan inefisiensi dalam proses pengadaan. Selain itu, adanya benturan kepentingan dalam pemilihan penyedia, membuat harga dari penyedia tersebut bisa lebih tinggi dengan kualitas lebih rendah dibandingkan penyedia lainnya. 

Dengan meninjau teori Fraud Triangle yang diperkenalkan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1950, Penulis mencoba mengurai tiga penyebab maraknya Gratifikasi di dalam PBJ khususnya yang menggunakan metode pengadaan langsung dan/atau e-purchasing. Ketiga penyebab terjadinya Gratifikasi itu terdiri dari tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi (pembenaran).

Faktor Tekanan: Bekerja Tanpa Tunjangan Jabatan Berisiko Tinggi

Pada tahun 2013, Dellaportas dalam makalahnya yang berjudul Conversations with inmate accountants: Motivation, opportunity and the fraud triangle, membagi tekanan dalam empat kategori, antara lain:

  • Tekanan finansial, seperti keserakahan, hutang, kebutuhan tak terduga, dan gaya hidup konsumtif, bisa mendorong seseorang untuk terjerumus dalam korupsi.

  • Tekanan pekerjaan, seperti ambisi karir juga bisa mendorong seseorang untuk menyuap demi promosi atau posisi tertentu.

  • Tekanan akan peluang karir juga menjadi pendorong korupsi, seperti dalam kasus mutasi dan promosi jabatan.

  • Tekanan lain, seperti judi, narkoba, ambisi kekuasaan, juga dapat membuat seseorang terjerumus dalam korupsi.

Dari keempat latar belakang tekanan yang diuraikan di atas, Penulis mencoba fokus  hanya pada satu bentuk tekanan, yaitu tekanan finansial.

Faktanya, besaran penghasilan yang diterima Pengelola PBJ di Indonesia belum sepenuhnya  sesuai dengan besaran penghasilan bagi ASN yang bekerja di bidang pekerjaan berisiko tinggi. Hal ini tidak sejalan dengan RPJMN 2020-2024 yang dicanangkan oleh Pemerintah, di mana untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa berdasarkan hukum serta birokrasi profesional dan netral perlu dilakukan penguatan implementasi manajemen ASN dan peningkatan sistem merit ASN. Penguatan implementasi manajemen ASN dan peningkatan sistem merit ASN diupayakan melalui indikasi target pada tahun 2022 berupa kebijakan insentif kesejahteraan untuk ASN di daerah 3T, ASN high performance, dan ASN Risiko Tinggi.

Jabatan ASN Risiko Tinggi dimaksud mencakup:

  1. Petugas Radiasi dengan risiko gangguan reproduksi, gangguan penglihatan, dan lain-lain;

  2. Penanggulangan Bencana/Pemadam Kebakaran dengan risiko gangguan pernapasan kronis, gangguan pencernaan, iritasi, kelelahan, kecelakaan, dan lain-lain;

  3. Tenaga Kesehatan dengan risiko tertular virus dan bakteri, stress, kelelahan, dan lain-lain; serta

  4. ASN Lainnya dengan ancaman dan risiko pidana atau perdata, kelelahan, kecelakaan kerja, dan lain-lain.

Berkaca sekali lagi pada statistik data tindak pidana korupsi berdasarkan jenis perkara dan hasil SPI 2023, maka tidak ada alasan yang lebih mendesak ketimbang memasukan jabatan Pengelola PBJ sebagai bidang kerja ASN dengan risiko tinggi karena memiliki ancaman dan risiko pidana. Sayangnya, belum ada kabar baik bagi Pengelola PBJ untuk dapat menikmati tunjangan risiko dimaksud.

Insentif risiko kerja memang sudah banyak diterapkan pada bidang pekerjaan petugas tenaga nuklir, arsip statis, satpol PP, pemadam kebakaran, radiographer, dan tenaga Kesehatan. Namun, implementasi pada bidang pekerjaan tersebut masih belum dalam skala nasional. Selain itu, masih terdapat isu keterlambatan pembayaran tunjangan. Hal ini yang menyebabkan masih banyak isu negatif terkait kesejahteraan ASN berisiko tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, menanti PBJ dapat ditetapkan sebagai bidang pekerjaan berisiko tinggi berbanding lurus dengan tingginya tingkat kesabaran yang harus dimiliki oleh seluruh Pengelola PBJ.

Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun seorang Pengelola PBJ memiliki atau tidak memiliki tekanan apapun untuk melakukan korupsi dalam PBJ, pada dasarnya penghasilan yang mereka terima saat ini memang belum sesuai dengan risiko pidana yang mungkin mereka alami. 

Faktor Kesempatan: Berinteraksi Tanpa Batas Dengan Penyedia

Sejak 2012, Pemerintah telah mewajibkan PBJ dilakukan secara elektronik yang kemudian dikenal dengan e-procurement. E-procurement digadang-gadang dapat menurunkan korupsi di sektor PBJ. Faktanya, data statistik tindak pidana korupsi untuk jenis perkara PBJ yang ditangani oleh KPK sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini tidak berkata demikian.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan bahwa e-procurement masih bisa diakali. Modusnya adalah, para vendor membuat kesepakatan di luar, mengatur harga, dan mengatur siapa yang menang. Alex juga menambahkan, sudah banyak upaya yang dilakukan Pemerintah dalam meminimalisir korupsi dalam PBJ. Salah satu upaya yang tengah digencarkan Pemerintah saat ini adalah dengan mengembangkan Katalog Elektronik sebagai platform baru untuk PBJ dengan metode e-purchasing. PBJ melalui Katalog Elektronik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas proses PBJ pemerintah. Namun, nyatanya e-purchasing pun masih dapat diakali.

Baik metode pengadaan langsung maupun e-purchasing, keduanya sudah menggunakan platform elektronik yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Pengembangan sistem PBJ ini merupakan bagian dari program Pemerintah dalam menciptakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). SPBE diharapkan dapat memberi peluang menekan tingkat penyalahgunaan kewenangan. Penyelenggaraan PBJ yang memanfaatkan TIK diharapkan dapat membatasi interaksi para pihak dalam PBJ dan mencegah terjadinya korupsi. Sayangnya, praktik PBJ yang berlaku belum sejalan dengan tujuan tersebut.

Pada PBJ dengan metode pengadaan langsung misalnya. Selain masih terbuka peluang mengundang calon Penyedia berdasarkan favoritisme dan nepotisme karena belum tersedianya fitur pencarian Penyedia yang objektif dalam sistem PBJ, Pengelola PBJ masih diberi ruang oleh Peraturan Lembaga  Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia untuk berinteraksi langsung dengan calon Penyedia saat melakukan verifikasi data kualifikasi atau klarifikasi spesifikasi teknis.

Berbeda kondisinya dalam PBJ dengan metode e-purchasing yang memanfaatkan Katalog Elektronik. Interaksi Pengelola PBJ dalam Katalog Elektronik versi terbaru (versi 5) sudah difasilitasi sepenuhnya di dalam sistem. Bahkan verifikasi data kualifikasi Calon Penyedia pun sudah dilakukan oleh sistem. Hanya Calon Penyedia yang terverifikasi yang dapat menayangkan produk barang/jasa yang akan dijual di dalam katalog elektronik. Sehingga Pengelola PBJ cukup yakin dapat membeli barang/jasa dari Penyedia yang telah memenuhi syarat izin berusaha dan memiliki keahlian yang sesuai kebutuhan. Akan tetapi, praktik pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang terverifikasi di katalog elektronik masih tergolong konvensional.

Yang Penulis amati, para marketing Penyedia katalog elektronik masih rajin berkunjung ke kantor-kantor Pemerintah untuk memperkenalkan identitas perusahaan dan menawarkan produk barang/jasa yang ditayangkannya di katalog elektronik. Padahal konsep Katalog Elektronik, seharusnya mengadopsi marketplace lainnya, dimana pembeli yang aktif mencari penjual dan barang/jasa yang dibutuhkannya di dalam katalog.

Indonesian Corruption Watch pun sudah mengidentifikasi adanya potensi persekongkolan antara Penyedia di katalog elektronik dengan Pengelola PBJ. Persekongkolan yang dimaksud adalah adanya komunikasi yang dilakukan oleh Pengelola PBJ selaku pihak yang membuat paket di dalam sistem katalog elektronik dengan Penyedia. Komunikasi itu dapat ditengarai terjadi saat berinteraksi dengan para marketing.

Stranas PK juga telah mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat modus-modus transaksi yang terindikasi anomali dalam katalog elektronik. Modus-modus anomali yang terdeteksi oleh sistem pengawasan yang dibangun oleh LKPP dan Govtech Procurement Telkom diantaranya:

  1. 64.747 paket PBJ senilai 3,9 T dilakukan dalam rentang waktu 30 menit sejak pembuatan paket sampai dengan persetujuan paket;

  2. 65.947 paket PBJ senilai 2,5 T ditransaksikan kurang dari 24 jam sejak pertama Penyedia menayangkan produknya;

  3. 3.108 transaksi pengadaan katalog elektronik sebesar 328 M teridentifikasi mengalami kenaikan harga setidaknya 20% tepat sebelum ditransaksikan; dan

  4. Sejumlah 268 Pengelola PBJ bertransaksi ke Penyedia yang sama berulang kali dengan rasio lebih dari 30 kali.

Dengan terjadinya modus-modus anomali di atas, menjadi patut untuk diduga sudah terjadi komunikasi yang efektif antara Pengelola PBJ dengan Penyedia baik sebelum maupun selama proses e-purchasing berlangsung untuk melakukan pelanggaran.

Memperhatikan kondisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun proses PBJ telah beralih ke platform elektronik, kesempatan untuk berinteraksi antara Pengelola PBJ dan Penyedia yang membuka jalan terjadinya Gratifikasi di dalam PBJ masih terbuka lebar.

Faktor Pembenaran: Konsensus Sosial Tentang Gratifikasi Menjadi Pembenaran

Pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya untuk memberantas korupsi. Namun, penularan korupsi jauh lebih cepat dari usaha pemberantasannya. Suap dan Gratifikasi seolah telah membudaya dan sudah membentuk pola jejaring sosial. Pola jejaring ini menyiratkan bahwa Suap dan Gratifikasi seolah diterima secara konsensus sosial oleh banyak pihak.

Konsensus sosial membantu rasionalisasi Gratifikasi dengan memunculkan ekspektasi pada Pengelola PBJ dan memberi stigma budaya Gratifikasi kepada Penyedia. Dari sudut pandang Pengelola PBJ, Gratifikasi dapat menambah kesejahteraannya. Penyedia akan menangkap ekspektasi Pengelola PBJ tersebut, sehingga mereka akan selalu mengalokasikan anggaran khusus untuk Gratifikasi seolah hal itu adalah kelaziman. Penyedia memberikan Gratifikasi dengan ekspektasi akan ada manfaat pada masa yang akan datang, seperti keberlanjutan transaksi. Dengan mengabaikan karakteristik isu moral yang lain, ketika konsensus sosial cenderung melazimkan praktik Gratifikasi, maka Pengelola PBJ akan menilai risiko perbuatannya wajar, sehingga kecenderungan untuk menerima Gratifikasi lebih tinggi.

Proses perbandingan sosial pun semakin menormalisasi Gratifikasi dalam PBJ. Ketika pelaku terintimidasi oleh citra buruk akan Gratifikasi yang diterimanya, maka secara naluriah dia akan mencari pembanding sosial demi menyelamatkan potret diri. Tentunya, dia akan mencari sosok orang lain yang lebih korup dan lebih sering menerima imbalan Gratifikasi. 

Perbandingan sosial ini juga berlaku ketika seorang pimpinan melakukan korupsi, maka bawahan pun akan cenderung untuk meniru. Bawahan berperilaku sesuai dengan role model yang mereka peroleh dari tempat kerja. Ketika atasan berbuat tidak etis, maka bawahan pun akan merasa bahwa mereka pun juga berhak melakukan hal tersebut demi mendapatkan kesejahteraan lebih.

Sudah cukup banyak figur pimpinan yang menjadi contoh buruk bagi bawahannya. Sederet nama pejabat negeri ini yang terjerat kasus korupsi sudah sering diberitakan di media massa. Selain Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo seperti yang sudah disebutkan di atas, masih banyak nama-nama lainnya. Berdasarkan data statistik tindak pidana korupsi berdasarkan profesi sejak tahun 2004 sampai dengan 2023, jumlah Pimpinan K/L/PD yang terjerat kasus korupsi menempati urutan teratas dari jenis profesi lainnya, yakni 598 orang atau 35,57% dari total 1.681 terdakwa kasus korupsi dari jenis profesi lainnya.

Patut diduga, kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab Gratifikasi sulit untuk diberantas dalam PBJ. Pengelola PBJ seolah memiliki rasionalitas (pembenaran) untuk menerima Gratifikasi karena bercermin dengan perilaku para pemimpin bangsa ini.

3 Faktor Penyebab Gratifikasi

Tekanan mewakili motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi, sementara kesempatan adalah alat yang bisa dipakai untuk mengeksekusi tindakan itu, sedangkan rasionalisasi membantu pelaku untuk menyingkirkan disonansi akibat perasaan bersalah akan tindakan korupsi. Perpaduan antara ketiganya menguatkan eksistensi Gratifikasi dalam PBJ hingga saat ini.

Tekanan finansial yang dialami oleh Pengelola PBJ adalah rendahnya penghasilan Pengelola PBJ karena belum ditambahkan dengan tunjangan risiko tinggi. Padahal, dengan fakta bahwa sektor PBJ sudah menjadi lahan basah korupsi, pemberian tunjangan risiko tinggi bagi PBJ sudah sangat mendesak. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya bentuk tekanan lain yang dialami oleh setiap individu Pengelola PBJ untuk melakukan Gratifikasi, akan tetapi besaran remunerasi yang tidak mempertimbangkan risiko kerja adalah pintu masuk dari semua tekanan yang mungkin terjadi.

Sistem PBJ yang masih memberi ruang interaksi tanpa batas seolah memberi kesempatan kepada para Pengelola PBJ untuk mencari jalan keluar atas permasalahan remunerasi tersebut. Selain dilengkapi sistem pengawasan, penerapan SPBE dalam PBJ khususnya untuk metode pengadaan langsung dan e-purchasing juga harus menghilangkan peluang pemilihan Penyedia berdasarkan favoritisme dan nepotisme. 

Proses verifikasi data kualifikasi Penyedia harus sepenuhnya diakomodir di dalam sistem dan memanfaatkan interoperabilitas data dengan instansi Pemerintah lainnya, seperti dalam hal verifikasi identitas Penyedia, perizinan berusaha, perpajakan, keabsahan badan hukum, identitas pemilik manfaat dan lain sebagainya. Sehingga Pengelola PBJ tidak perlu lagi berinteraksi langsung dengan Penyedia untuk memverifikasi data tersebut. 

Begitu juga ketika Pengelola PBJ membutuhkan klarifikasi lebih detail terkait spesifikasi teknis barang/jasa yang dibutuhkan. Sistem PBJ harus dapat memfasilitasi spesifikasi teknis barang/jasa yang dibutuhkan dapat diinformasikan secara jelas dalam platform elektronik yang digunakan sehingga proses klarifikasi dapat diminimalisir. Dalam hal klarifikasi sangat dibutuhkan, sistem juga harus memfasilitasi Pengelola PBJ dan Penyedia dapat berkomunikasi dua arah tanpa saling mengetahui identitas dengan pengawasan yang ketat, sehingga tidak ada ruang untuk keduanya dapat melakukan permufakatan jahat.

Sistem PBJ juga harus memudahkan Penyedia untuk memperkenalkan diri kepada para Pengelola PBJ sehingga praktik marketing konvensional yang dilakukan oleh Penyedia tidak diperlukan lagi. Fitur pencarian Penyedia dan barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan harus diakomodir dan dipaksakan dalam sistem PBJ. Sehingga tidak ada alasan Pengelola PBJ memilih Penyedia berdasarkan penilaian yang subjektif. Sebaliknya, sistem PBJ harus merekomendasikan hasil pencarian Penyedia dan barang/jasa yang objektif yang selanjutnya memaksa Pengelola PBJ untuk melakukan kompetisi dalam proses pemilihan Penyedia, kecuali untuk barang/jasa yang hanya dapat dipenuhi oleh satu Penyedia.

Dengan menghilangkan tekanan dan kesempatan untuk melakukan Gratifikasi dalam PBJ seperti telah dijelaskan di atas, harapannya konsensus sosial tentang Gratifikasi yang sudah meradang di PBJ dapat serta merta dihilangkan. Dengan remunerasi yang tepat, Pengelola PBJ tidak memiliki niat/tekanan untuk melakukan korupsi, dengan sistem PBJ yang ketat, Pengelola PBJ tidak memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi. Dan kehendak untuk memulai menata itu semua bisa dilahirkan dari figur Pemimpin bangsa beserta jajarannya yang berintegritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun