Faktor Pembenaran: Konsensus Sosial Tentang Gratifikasi Menjadi Pembenaran
Pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya untuk memberantas korupsi. Namun, penularan korupsi jauh lebih cepat dari usaha pemberantasannya. Suap dan Gratifikasi seolah telah membudaya dan sudah membentuk pola jejaring sosial. Pola jejaring ini menyiratkan bahwa Suap dan Gratifikasi seolah diterima secara konsensus sosial oleh banyak pihak.
Konsensus sosial membantu rasionalisasi Gratifikasi dengan memunculkan ekspektasi pada Pengelola PBJ dan memberi stigma budaya Gratifikasi kepada Penyedia. Dari sudut pandang Pengelola PBJ, Gratifikasi dapat menambah kesejahteraannya. Penyedia akan menangkap ekspektasi Pengelola PBJ tersebut, sehingga mereka akan selalu mengalokasikan anggaran khusus untuk Gratifikasi seolah hal itu adalah kelaziman. Penyedia memberikan Gratifikasi dengan ekspektasi akan ada manfaat pada masa yang akan datang, seperti keberlanjutan transaksi. Dengan mengabaikan karakteristik isu moral yang lain, ketika konsensus sosial cenderung melazimkan praktik Gratifikasi, maka Pengelola PBJ akan menilai risiko perbuatannya wajar, sehingga kecenderungan untuk menerima Gratifikasi lebih tinggi.
Proses perbandingan sosial pun semakin menormalisasi Gratifikasi dalam PBJ. Ketika pelaku terintimidasi oleh citra buruk akan Gratifikasi yang diterimanya, maka secara naluriah dia akan mencari pembanding sosial demi menyelamatkan potret diri. Tentunya, dia akan mencari sosok orang lain yang lebih korup dan lebih sering menerima imbalan Gratifikasi.Â
Perbandingan sosial ini juga berlaku ketika seorang pimpinan melakukan korupsi, maka bawahan pun akan cenderung untuk meniru. Bawahan berperilaku sesuai dengan role model yang mereka peroleh dari tempat kerja. Ketika atasan berbuat tidak etis, maka bawahan pun akan merasa bahwa mereka pun juga berhak melakukan hal tersebut demi mendapatkan kesejahteraan lebih.
Sudah cukup banyak figur pimpinan yang menjadi contoh buruk bagi bawahannya. Sederet nama pejabat negeri ini yang terjerat kasus korupsi sudah sering diberitakan di media massa. Selain Firli Bahuri dan Syahrul Yasin Limpo seperti yang sudah disebutkan di atas, masih banyak nama-nama lainnya. Berdasarkan data statistik tindak pidana korupsi berdasarkan profesi sejak tahun 2004 sampai dengan 2023, jumlah Pimpinan K/L/PD yang terjerat kasus korupsi menempati urutan teratas dari jenis profesi lainnya, yakni 598 orang atau 35,57% dari total 1.681 terdakwa kasus korupsi dari jenis profesi lainnya.
Patut diduga, kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab Gratifikasi sulit untuk diberantas dalam PBJ. Pengelola PBJ seolah memiliki rasionalitas (pembenaran) untuk menerima Gratifikasi karena bercermin dengan perilaku para pemimpin bangsa ini.
3 Faktor Penyebab Gratifikasi
Tekanan mewakili motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi, sementara kesempatan adalah alat yang bisa dipakai untuk mengeksekusi tindakan itu, sedangkan rasionalisasi membantu pelaku untuk menyingkirkan disonansi akibat perasaan bersalah akan tindakan korupsi. Perpaduan antara ketiganya menguatkan eksistensi Gratifikasi dalam PBJ hingga saat ini.
Tekanan finansial yang dialami oleh Pengelola PBJ adalah rendahnya penghasilan Pengelola PBJ karena belum ditambahkan dengan tunjangan risiko tinggi. Padahal, dengan fakta bahwa sektor PBJ sudah menjadi lahan basah korupsi, pemberian tunjangan risiko tinggi bagi PBJ sudah sangat mendesak. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya bentuk tekanan lain yang dialami oleh setiap individu Pengelola PBJ untuk melakukan Gratifikasi, akan tetapi besaran remunerasi yang tidak mempertimbangkan risiko kerja adalah pintu masuk dari semua tekanan yang mungkin terjadi.
Sistem PBJ yang masih memberi ruang interaksi tanpa batas seolah memberi kesempatan kepada para Pengelola PBJ untuk mencari jalan keluar atas permasalahan remunerasi tersebut. Selain dilengkapi sistem pengawasan, penerapan SPBE dalam PBJ khususnya untuk metode pengadaan langsung dan e-purchasing juga harus menghilangkan peluang pemilihan Penyedia berdasarkan favoritisme dan nepotisme.Â