Mohon tunggu...
Sasty Jemali
Sasty Jemali Mohon Tunggu... Model - Berselubung Doa Sang Bunda

Young business is cool and women deserve to be successful

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Hati Memandang Cinta (Part 1)

24 Juni 2020   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2020   21:41 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia lelaki parlente yang selalu berganti pacar. Aku memandang relasi awal kami sebagai rekan kerja biasa di salah satu perusahaan obat ternama. Benih-benih cinta kami berkuncup. Kini aku tak lagi memandangnya hanya sebatas rekan kerja. Aku membawanya masuk ke ruang diam hatiku. Pernah dia mengatakan bahwa aku berbeda dari semua perempuan yang pernah dipacarinya. Aku pun demikian.

Dia datang membawa aku ke masa depan yang berbeda dari yang pernah kulalui. Aku melihat dia sebagai seorang yang selama ini kuidam-idamkan. Karena itu, tidak ada alasan bagiku untuk tidak membuka hatiku seutuhnya.Aku tahu cinta ini abadi untuknya. Rasa bahagia ketika berada di dekatnya sungguh berbeda. Kehadirannya menutup semua beban hidup ini.

Menjadi miliknya adalah doa yang tak berujung. Ada pinta untuk Yang Kuasa agar dia menjadi yang terakhir bagiku. Betapa kerinduan ini akan dirinya menyingkirkan semua ego pribadi. Aku bahagia saat semua waktu dan cinta kuberikan kepadanya.

Senin 09 Maret hari spesialnya. Tuhan berjalan bersamanya menuju ke tahun hidup yang baru. Aku ingin memberikan kado khusus baginya. Berbagai usaha kulakukan demi melihat secuil senyum di wajahnya. Sebuah kotak berwarna emas tiba dalam bentuk paket. Kenangan indah bersamanya terbungkus indah. Pakaian motif Manggarai berwarna hitam menyatukan rasa yang abadi untuknya.

Dia menyatu bersamaku dalam pelukan. Hingga kini aku masih merasakan kehangatan itu. Kehangatansaat menjadi satu dalam dekapannya. Aku ingin pelukan itu abadi untukku selamanya. Sebuah musik kesayanganku terdengar indah saat kado itu dibuka. Aku berharap dia akan bahagia dengan kado yang kuberikan.

"Selamat ya, Kanaya. Bagaimana acaranya? Ramai bukan? Semoga langgeng selamanya. Kami mendukung penuh hubungan kalian. Semoga cinta kalian abadi dalam kebahagiaan yang utuh. Kalian berdua bak pengantian surgawi," ungkap teman kerja saat aku masuk kantor.

Aku diam dan tidak mengerti apa yang dikatakannya. Aku baru tiba di Kupang. Kedatanganku hanya untuk urusan pekerjaan bukan untuk urusan yang lain. Aku penasaran dengan apa yang disampaikan rekan kerjaku. Sesungguhnya kebahagiaan yang dikatakannya itu milik siapa? Aku tak tahu.

"Acara apa? Aku selama ini tidak pernah mengadakan satu acara pun. Lagi pula, aku baru saja kehilangan Opa kesayangan. Aku tidak pernah merayakan acara syukuran selepas kepergian Opa. Mengapa rekan kerjaku mengucapkan selamat kepadaku? Apa yang telah terjadi?" tanyaku dalam hati sembari berjalan menuju ruang pertemuan.

Aku sibuk mempersiapkan pertemuan untuk menyambut member baru yang akan bergabung. Aku dipilih sebagai ketua panitia untuk pertemuan kali ini. Inilah kesempatan untuk menjaga kepercayaan. Hal ini bukan untuk mengambil hati pemimpin tapi untuk membuktikan kualitas diriku sendiri. Pemimpin melihat bahwa aku bisa menghandle pertemuan sebesar ini.

Aku mengontrol segala persiapan mulai dari konsumsi, perlengkapan, sound system serta daftar peserta pertemuan. Dalam kesibukaan itu aku terus memikirkan apa yang disampaikan rekan kerjaku. Namun, tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepadaku sedikit menghilangkan rasa penasaran atas ucapan selamat itu.

"Pagi Kanaya," sapa Aldhy setelah menepuk bahuku.

Aku kaget dan menjawab dengan nada datar, "Pagi juga, Pak."

Aldhy terus berjalan menuju ruang pertemuan. Aku berharap dia datang dan peduli denganku. Tepukan dan sapaannya terasa asing bagiku. Aku sudah menduga dia akan bersikap demikian. Relasi di antara kami tidak semulus dulu lagi. Selepas komunikasi dengannya beberapa bulan lalu, aku berpikir mungkin jarak yang membuatnya tak peduli padaku.

Semuanya sungguh berbeda. Dia tidak mengerti dengan apa yang kurasakan sekarang. Ketidakpeduliannya terus berlanjut. Aku dianggapnya seperti kebanyakan rekan kerjaku. Cinta yang kami bangun selama ini hilang tak meninggalkan jejak.

Hatiku sangat terpukul. Pertemuan bersama member perusahaan tak ada artinya bagiku. Dia yang menjadi sumber sukacitaku tidak lagi memerhatikanku. Aku sebenarnya tidak ingin jatuh dalam kesedihan yang begitu mendalam. Namun, sikap tak pedulinyalah yang membuatku merasa sakit. Aku berusaha tegar meski ada beban yang begitu besar menimpa diri ini.

Pertemuan berjalan lancar. Rangkaian acara dilewati dengan baik. Semua member merasa bangga bergabung dengan perusahaan obat ternama yang sudah tersebar di beberapa negara ini.

"Kanaya, aku bangga padamu. Tidak sia-sia pemimpin memilihmu menjadi ketua dalam pertemuan kali ini. Aku bangga padamu," ungkap Aldhy sambil melempar senyum.

"Makasih, Kak. Semua juga berkat dukungan teman-teman," balasku.

"Sekarang waktunya foto bersama semua panitia. Teman-teman bekerja dengan baik. Mari kita abadikan momen ini," kata pembawa acara.

Aku bergabung bersama rekan-rekan kerjaku. Sesi foto bersama berjalan dengan baik. Bersama rekan-rekan kerja kami membereskan ruangan pertemuan.

Waktu menunjukan pukul 20.00. Langit Kota Kupang sangat cerah di malam hari.

"Sampai jumpa ya, Kanaya. Apakah ada yang datang menjemput?" tanya seorang rekanku.

"Ya, sampai jumpa juga. Aku dijemput oleh adikku. Sebentar lagi dia datang. Dia baru selesai kuliah dan sedang dalam perjalanan ke sini. Hati-hati di jalan," balasku.

Aku berdiri di depan pintu masuk. Semua membertelah kembali. Beberapa rekan panitia masih menunggu jemputan. Tak lama berselang Aldhy keluar dari ruangan pertemuan. Dia seorang diri. Aku berusaha menghindar darinya. Namun, dia lebih dahulu melihatku.

"Kanaya belum kembali?" tanyanya.

"Sebentar lagi adik datang. Dia dalam perjalanan ke sini," balasku.

"Mari, biar aku antar," tawarnya.

"Tapi..,"

"Sudah malam. Tidak bagus seorang diri di sini," ungkapnya sambil mempersilakanku naik ke motor.

Perasaanku bercampur antara benci dan sayang. Aku tak bisa menolaknya. Inilah waktu yang tepat bagiku untuk dekat dengannya lagi. Ada rindu berdua bersamanya seperti waktu sebelumnya. Aku ingin memeluk dan tertawa bersamanya. Mengitari Kota Karang penuh kebahagiaan lagi. Merasakan pelukan hangatnya.

"Langsung ke kos adik?" tanyanya menghempaskan anganku.

"Iya Kaka langsung ke kos adik," balasku.

Apa yang kuimpikan sungguh berbeda. Ramainya Kota Kupang tidak mampu menghilangkan ruang sunyi di antara kami. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun selepas pertanyaan terakhir. Aku takut memulai percakapan. Dia sungguh berbeda sekarang.

"Apa yangsedang dipikirkannya? Tatapannya kosong. Raut wajahnya memberi sinyal bahwa dia sedang memikul beban berat," ungkapku dalam hati.

Aku ingin dia berbagi dan menceritakannya kepadaku. Namun, aku tak bisa memaksanya.Dia memilih untuk membungkus masalahnya sendiri. Aku sudah mengenalnya lebih dalam. Terlalu banyak bertanya berarti siap mengambil jarak dengannya. Aku larut dalam keheningan bersamanya. Benar, bahwa keheningan lebih cepat memberi solusi.

"Kaka, istirahat sedikit ya," tawarku.

"Sudah sayang. Aku tahu kamu capek sekali. Sekarang kamu masuk ke kos. Mandi dan istirahat biar tidak sakit. Aku juga harus kembali ke rumah," jawabnya sembari mencubit pipiku.

Harapanku untuk lebih lama bersamanya di malam minggu ini tak terpenuhi. Aku menatap dirinya pergi dengan sebuah rasa cinta yang mendalam. Aku rindu berdua dengannya lagi. Namun, dalam hati aku menduga mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang yang selama ini bersamanya. Aku menepis jauh pikiran itu. Rasa cintaku yang begitu besar untuk menjalani hidup bersamanya menghilangkan semua prasangka buruk tentangnya.

Setelah mandi aku membaringkan diri. Tak lama berselang,handphoneku berdering.

"Aldhy memanggil..," bacaku di layar kaca.

Serentak aku mengambil handphone itu dan menekan tanda jawab. Aku heran dia menghubungiku malam ini.

"Halo, Kanaya," sapanya.

"Halo juga, Kaka. Sudah tiba di rumah?" tanyaku.

Dengan nafas terengah-engah dia menjawab, "Aku baru saja tiba. Sekarang lagi baring-baring."

"Syukurlah kalau begitu, Sayang," doaku.

Aku senang bisa berbicara lebih lama dengannya malam ini. Jauh di lubuk hati, aku rindu mendengar suaranya dan melihat senyumnyasecara langsung. Namun, kesempatan bercerita bersama seperti ini sudah sangat berarti bagiku. Selama ini dia hanya berkomunikasi melalui inbox danwhatsapp.

"Kanaya, aku sangat bingung sekarang. Orang tua memaksa aku bekerja di Papua. Mereka memintaku berhenti bekerja di perusahaan obat. Bapa dan mama ingin agar aku memiliki pekerjaan tetap yang bisa menjamin masa depanku. Mereka sangat serius memintaku untuk bekerja di sana," ungkapnya berat.

"Apakah Kaka ingin bekerja di sana?" tanyaku sambil menyembunyikan rasa kesal yang mendalam.

"Aku tidak ingin bekerjadi Papua. Kupang adalah kota terakhirku. Aku mau menghabiskan hidupku di kota ini. Kanaya tolong bantu aku. Kamu juga tahu bahwa aku sudah berjanji dengan bapa dan mama di Ruteng untuk lebih serius dengan kamu. Tolong bantu aku. Kita akan tinggal bersama. Aku akan ke rumahmu dan kita akan menikah," dia memohon.

Aku menangis dan terpukul dengan apa yang dirasakannya. Dia sungguh dilema. Aku telah berprasangka buruk dengan berpikir bahwa dia mengingkari janjinya di hadapan orang tuaku. Di meja makan, bersama bapa dan mama, dia berjanji untuk datang dan melamar aku. Malam ini aku tahu bahwa dia serius dengan janjinya.

"Kanaya, tolong bantu aku," pintanya.

"Kaka tidak akan sendirian ke Papua. Aku akan ikut bersama Kaka ke sana. Kita bisa bertemu orang tua dan membicarakan keseriusan cinta kita di hadapan mereka. Aku rela meninggalkan perusahaan obat. Mari kita memulai hidup dari nol. Kita akan membangun bahtera rumah tangga bersama. Dengan demikian, Kaka dan orang tua Kaka tidak kecewa. Bapa dan mama di rumah menanti kedatangan Kaka. Pintu rumah selalu terbuka buat Kaka. Ruteng itu kota kita. Sampai kapan pun hati dan cinta ini hanya untuk Kaka seorang," ungkapku menguatkannya.

"Makasih sayang. Aku rasa itu jalan yang terbaik untuk menjaga hubungan kita. Aku akan ke rumahmu dan kita akan bersama ke Papua. Itulah jalan yang tepat bagi kita. Maaf kalau selama ini aku tak terlalu memperhatikanmu. Aku hanya mengambil jarak untuk memikirkan keinginan orang tuaku. Sayang, sebenarnya aku tak mau menaruh beban ini padamu. Sekarang aku bahagia. Kamu telah memberikan jalan keluar yang baik. Love you, Kanaya," ungkapnya.

"Sama-sama sayang. Aku menunggumu. Kabar gembira ini akan kusampaikan kepada orang tuaku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Jujur Kaka, aku selalu merindukanmu. Aku pasti mendoakanmu untuk tidak terlalu merasa beban dengan keputusan orang tua Kaka," balasku.

Keterbukaan Aldhy memberi harapan baru bagiku. Rasa cintaku padanya tak terbendung lagi. Aku terus memberi kabar padanya. Kami selalu membangun komunikasi yang baik. Aku menemukan semangat berlimpah ketika dia selalu memperhatikanku.

***

"Kanaya, ternyata acara malam itu bukan acaramu. Itu acara Aldhy dan kekasihnya. Maaf jika aku salah mengerti. Tetap kuat Kanaya," pesan masuk dari rekan kerjaku.

Mulutku kakuh. Tanganku gemetar. Hatiku sangat hancur. Aku terpukul.

"Sial! Ternyata semuanya hanya bualan kata manjamu. Mengapa kamu berbohong? Kamu tegah sekali, Aldhy! Mengapa kamu seenaknya mempermainkan perasaan dan keseriusanku? Kamu telah menipu aku dan orang tuaku. Mengapa kamu tegah melakukan semuanya," teriakku sambil melempar handphone ke lantai.

Hatiku tercabik-cabik. Kesabaranku telah habis. Luka hatiku sungguh mendalam. Aku tak mampu menahan tangis. Aku memukul diri. Ada protes yang tak tahu harus ditujukan kepada siapa. Aku adalah perempuan paling bodok di dunia ini. Ternyata semua laki-laki itu sama. Tak pernah mengerti dengan keseriusan cinta seorang perempuan. Aku benci dan sangat benci dengan sosok pria bernama Aldhy. Sumpah aku sangat benci.

Rasa kesal membuat aku lupa akan diriku sendiri. Keinginanku untuk mengarungi hidup bersamanya telah hilang. Semua kebahagiaan yang kuperoleh darinya seperti embun pagi yang hilang di siang hari. Keseriusan cintaku dijadikannya sebagai lelucon. Dia tak pernah mengerti akan kesungguhan cinta ini. Aku benci padanya.

Amarahku tak terbendung. Bantal menjadi saksi bisu betapa aku telah dikhianati. Air mataku terus jatuh bersama rasa sakit yang kurasakan. Semua janjinya seperti menelanjangiku. Aku malu pada caraku mencintainya. Aku terlalu berharap padanya sampai harapan itu mengantarku pada penyesalan yang tak berujung.

Rasa lelah menuntunku masuk dalam tidur lelap. Semuanya penyesalan itu hilang saat aku lelap dalam tidur. Setelah terjaga rasa itu muncul dan terus menyiksa.

***

"Ini uang tiket pesawat Kupang-Bajawa. Perlengkapan lain sudah dimasukan ke dalam tas. Jaga diri baik-baik," ungkapnya di depan pintu masuk bandara El Tari Kupang.

"Makasih, Kaka. Jangan lupa kontak. Pintu rumah terbuka untuk Kaka. Bapa dan mama serta keluarga menanti kehadiran Kaka," balasku.

Aku menempu perjalanan panjang dari Kupang ke Bajawa hingga ke Ruteng. Perjalanan cinta kujalani seperti biasa. Setiap pagi aku selalu menanti kehadirannya. Kami kembali hilang kontak. Aku berharap dia menepati janjinya. Dia adalah seorang yang sangat berarti bagiku. Aku tak tahu bagaimana cara membencinya. Setiap kali dia berbuat salah aku selalu memaafkannya.

Hatiku terlalu dalam mencintainya hingga aku tak tahu bagaimana harus membencinya. Kekuatan cintaku lebih besar dari egoku sendiri. Semoga saja ketulusan cinta suciku ini mampu membuatnya sadar kalau aku sungguh-sungguh mencintainya.

***

Aku pernah ingin bunuh diri. Tapi, apakah pilihan bunuh diri merupakan akhir dari puncak keputusasaanku terhadap hidup? Ataukah, aku justru menjemput kehidupan lain karena menjumpai penolakan di kehidupan bumi? Aku bukan wanita yang takluk di kaki nasib atau wanita yang putus asa karena mendapat sambutan cinta sebelah tangan.

Pada suatu sore yang hening, tiba-tiba ilham menyambarku. Aku seakan-akan melihatnya berdiri di taman sunyi depan rumah. Aku juga menyaksikan dia datang dengan kepolosan dan kesucian. Aku tak mampu menemukan wajahnya dengan jelas. Entah Aldhy atau siapa pun dia, aku belum tahu. Yang aku tahu dia pasti datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun