Mohon tunggu...
Sastro Admodjo
Sastro Admodjo Mohon Tunggu... Musisi - babaasad.com

Seorang pengembara edan. Mencari keindahan alam semesta Tuhan. Menorehkan tulisan untuk saling berbagi pengalaman. Menikmati kopi hitam, menjadi tuntutan dengan kawan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Studi Fikih Perbandingan Mazhab; Suguhan Kurikulum Inklusif-Progresif di Al-Azhar

2 Januari 2018   00:44 Diperbarui: 2 Januari 2018   04:48 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seringkali kita jumpai perseteruan antar suku, etnik, ras, dan agama yang berupa kecaman, fitnah-fitnah, dan bahkan meletus menjadi aksi-aksi anarkis di antara mereka. 

Dalam kondisi konflik semisal ini solusi terbaik yang dapat ditawarkan tiada lain kecuali mempertemukan kedua belah pihak yang saling berseteru untuk berdialog, mencari duduk permasalahan yang menjadi isu sengketa, hingga akhirnya satu sama lain saling memahami dan memecahkan solusi bersama. 

Namun dalam realitanya, mengadakan event dialog semisal ini sangatlah sulit. Kedua belah pihak saling mempertahankan egonya, berpegang pada sebuah ideologi yang sudah berakar tunggang dalam kehidupannya, sehingga menganggap kelompoknya paling benar dan apatis terhadap ideologi kelompok lain.

Termasuk dalam terminologi ini adalah apabila fatwa-fatwa yang disuguhkan oleh seorang imam mujtahid telah mendarah-daging di suatu komunitas tertentu. Karismatik seorang imam berada di atas segalanya yang dikultuskan dan diberlakukan sebagai satu rangkaian "norma" yang mutlak dan berlaku secara turun-temurun. 

Jika demikian, maka kitab-kitab fikih karya ulama madzhab tertentu akan dijadikan "pusaka" yang didewakan dan menjadi rujukan final dalam menjawab segala problematika kehidupan. Akibatnya, pengikut madzhab akan sulit menerima dan menolak setiap gagasan fikih  dari luar madzhabnya.  

Dari sinilah persaudaraan di kalangan umat Islam semakin renggang dan umat Islam terpetak-petakkan ke dalam bingkai-bingkai madzhab yang saling menyalahkan dan memfitnah dengan tuduhan-tuduhan  salah, sampai-sampai terjadi permusuhan di kalangan umat Islam sendiri.

Berbagai macam upaya telah dilakukan untuk merekatkan kembali Ukhuwah Islamiyyah, diantaranya dengan mengadakan dialog antar pengikut madzhab, melakukan Ijtihad Jama'iy, menggalakkan kajian seputar masalah kemadzhaban yang lebih terbuka, dan  memberlakukan kurikulum pendidikan fikih dengan komparasi antar madzhab, serta yang lainnya. 

Dalam pemberlakuan kurikulum fikih, perbandingan madzhab atau yang disebut Fiqh Muqaraninilah institusi pendidikan al-Azhar tampil dengan metode yang apik. 

Dan, yang menjadi obyek kajian bukan hanya seputar empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah), tetapi lebih meluas terhadap madzhab-madzhab lain di luar sekte Sunni (seperti: Dhahiriyah, Zaidiyah, Ja'fariyah/Syi'ah 12, dan Ibadliyah). 

Pada artikel singkat ini kita akan mengikuti sejarah perjalanan sebuah lembaga pendidikan yang semula didirikan sebagai pusat penyebaran madzhab Syi'ah dan pada akhirnya berubah menjadi institusi pendidikan Islam yang moderat dan progresif. 

Disamping itu, penulis akan mengulas model kurikulum Fiqh Muqaran baik yang diterapkan di lingkup universitas maupun yang diterapkan para tokoh yang menyandang gelar al-Imam al-Akbar Syeikhul Azhar.

Sejarah Singkat Fikih al-Azhar

Tujuan pertama didirikannya masjid al-Azhar pada 9 Ramadlan 361 H./972 M. semata-mata hanyalah sebagai simbol kekuasaan dinasti Fathimiyah di negeri Mesir. 

Baru pada masa al-Aziz Billah (378 H.) berubah status disamping sebagai tempat peribadatan juga dipergunakan sebagai tempat pengkajian ilmu-ilmu Islam; khususnya pengembangan ilmu fikih madzhab Syi'ah. Penyebaran dakwah madzhab Syi'ah berakhir saat datangnya Shalahuddin al-Ayyubi tahun 567 H./1171 M. dengan madzhab Sunni mengambil alih kekuasaan.

Upaya Shalahuddin untuk mengganti pola keberagamaan masyarakat muslim Mesir kala itu benar-benar digalakkan secara menyeluruh hingga tidak ada ruang nafas lagi bagi para pengikut madzhab Syi'ah. 

Diantara upaya Shalahuddin yang sangat kentara yaitu dengan mengangkat seorang Qadli (hakim) bernama Shadruddin Abdul Mulk al-Dariki dari madzhab Syafi'iyah. 

Segala permasalahan yang berkenaan dengan kedaulatan negara, problematika kemasyarakatan dan keagamaan harus mengikuti madzhab fikih dari imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H.). Diantara kebijakan fatwanya adalah mengharamkan pelaksanaan shalat Jum'at di masjid al-Azhar  (dibuka lagi pada masa Raja Bairus al-Bandaqadari thn. 658 H.). 

Fatwa ini dilandaskan pada fikih Syafi'i yang menyebutkan tidak bolehnya mengumandangkan dua khotbah dalam satu wilayah. Dimana kala itu, juga dikumandangkan khotbah Jum'at di masjid pemerintah Ayubiyyah yang jaraknya berdekatan dengan masjid al-Azhar.

Dalam pengembangan sektor pendidikan, Shalahuddin lebih banyak membangun madrasah-madrasah dengan corak ajaran Sunni. 

Terutama materi ilmu fikih yang diajarkan tak lain adalah fikih Syafi'i sebagai kurikulum tetap di Madrasah Nashiriyah (didirikan pada akhir kedaulatan Fathimiyah thn. 566 H.) dan di madrasah Shalahiyah (thn. 572 H.), fikih Maliki diajarkan di madrasah Qamuhiyah (thn. 566 H.).

Sedangkan fikih Hanafi di madrasah Suyufiyah (th. 572 H). Selanjutnya perbaikan kurikulum dilakukan dengan penambahan materi fikih Hambali di mulai sejak masa Sultan Najmuddin Ayyub. 

Cikal bakal studi perbandingan madzhab mulai muncul, yakni dengan empat madzhab yang tergolong sebagai madzhab Sunni saja. Walaupun begitu, hal ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap wacana keberagamaan masyarakat muslim dengan masih diberlakukannya madzhab Syafi'i sebagai azas negara Mesir.

Patut dimaklumi, periode ini merupakan periode kejumudan umat Islam sebagaimana yang sering disebut dalam sejarah syariat Islam yaitu dari abad ke-4 hingga abad ke-13 Hijriyah. 

Pada abad ke-13 Hijriyah, saat munculnya "Majalah 'Adaliyah" (periode keadilan) yang diberlakukan oleh kedaulatan dinasti Utsmaniyah tahun 1286 H./1869 M. Sejak masa inilah respon terhadap perbaikan sistem keberagamaan masyarakat muslim semakin marak. 

Khususnya masalah kemadzhaban, melalui pendekatan antar madzhab, studi komperatif dilakukan di berbagai kelembagaan Islam. Pengkajian dalam fikih kemadzhaban dengan menelaah qaul-qaul ulama di dalam kitab-kitab fikih antar madzhab  dimaksudkan untuk mendapatkan fatwa hukum yang benar-benar relevan dan dapat menjadi solusi bersama serta mampu mewujudkan kemaslahatan hidup umat muslimin secara menyeluruh. 

Dari usaha ini, pada akhirnya diberlakukannya fikih Hanafi sebagai UU Negara Mesir di dalam masalah-masalah perdata (mu'amalat).

Seperangkat UU ini terkodifikasi diantaranya dalam kitab Mursyid al-Hairan fi Ma'rifati Ahwal al-Insanberisi 1941 masalah dicetak thn. 1890, kitab al-'Adln wa al-Inshaf fi Musykilat al-Auqaf dicetak thn. 1893, dan juga masalah-masalah lainnya seperti hukum-hukum Akhwal Syakhsyiyah, Hibah, Washaya, hak waris, dan hak anak asuh telah terkodifikasi dalam satu kitab yang mencakip 647 permasalahan.

Di dalam instansi al-Azhar, periode Abbas Hilmi II, hadir di tengah-tengah kehidupan keberagamaan al-Azhar seorang pembaharu Islam dengan gagasan-gagasannya yang selalu progresif, dialah Syekh Muhammad Abduh. 

Di masa ini juga dikeluarkan surat keputusan resmi dari kelembagaan al-Azhar (tertanggal : 6 Rajab 1312 H.) utnuk memberlakukan kurikulum pendidikan baru yang merupaka hasil keputusan bersama seluruh ulama al-Azhar. 

Diantara isi keputusan itu adalah pemberlakuan kurikulum fikih perbandingan madzhab yang sangat perlu ditekankan untuk membuka cakrawala keilmuan fikih al-Azhar yang menjadi gugus depan lembaga keislaman dunia.

Sepeninggal Muhammad Abduh semangat progresifitas dalam berfikih makin marak dan berkembang pesat. Pembaharuan fikih terus digalakkan dengan menyuguhkan usulan-usulan, terutama di lingkup lembaga perundang-undangan negara Mesir kala itu, yang masih mengikuti fikih Hanafi. 

Perubahan secara signifikan muncul tatkala Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi, anak emas al-Azhar, tampil sebagai Qadli (hakim Negara) untuk kawasan Mesir dan Sudan. Ketajaman analisanya melihat penerapan fikih madzhab Hanafi sebagai UU negara tidaklah cukup untuk menjawab problema kehidupan umat yang semakin kompleks dan dalam implementasinya kurang mampu menyuguhkan kemaslahatan yang benar-benar adil. 

UU yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga di masyarakat seperti kaus-kasus perceraian, kewajiban nafkah, hak anak asuh dan lain sebagainya harus segera direkontruksi. 

Rekonstruksi yang dikehendaki al-Maraghi dalam berfikih bukan hanya terbuka terhadap gagasan-gagasan fatwa dari empat madzhab, bahkan dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ahli fikih mulai masa pertama keluarnya hukum fikih hingga masa sekarang. Argumentasi ini terimplementasikan dalam UU pernikahan dan kasus perceraian Mesir nomor 25 tahun 1929.  

Bentang sayap al-Azhar untuk menerima madzhab-madzhab fikih selain Sunni seperti: Dhahiriyah, Zaidiyah, Ja'fariyah, dan Ibadliyah merupakan wujud dari analisa terhadap fakta dan pengalaman sejarah penerapan fikih di masa silam. 

Adanya dikotomi satu madzhab atau terhadap madzhab-madzhab yang berlebelkan Sunni mampu  menjadikan fikih sebagai hukum Islam yang menjamin kemaslahatan fi kulli zaman wal makan. 

Disamping itu serangkaian hukum fikih tersebut hanyalah merupakan produk ijtihad terhadap masalah-masalah amaliyah saja, tidak menyentuh masalah fundament keimanan seorang muslim. 

Dan, di dalam praktek ijtihad sebagaimana yang kita ketahui bersama seorang mujtahid sering kali menemukan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang masih global (mujmal) ataupun abstrak (muhmal). 

Hal ini menuntut pribadinya untuk melakukan penafsiran dengan beda intelektual; maka beda pula produk yang dihasilkan. Lalu, apakah fakta yang demikian ini menjadikan kita fanatik buta terhadap sebuah "ideologi bisu" yang kita buat-buat sendiri tanpa usaha mencari sebab dan alasan??!

Motif dan Tujuan Studi Fiqh Muqaran Universitas al-Azhar

Penerapan studi fikih perbandingan madzhab (Fiqh Muqaran) dinilai sangat penting guna membuka wacana pemikiran fikih dan mengasah ketajaman analisa ilmiah dari silang pendapat antar madzhab. 

Hal ini akan mampu membentuk kepribadian seseorang agar lebih inklusif, menerima kritikan dari pihak luar dan bersikap toleran terhadap pandangan lain yang semuanya memiliki tendensi konsep syariat secara mendasar. Seorang pengkaji dituntut untuk membaca sejumlah gagasan fatwa dari beberapa imam terhadap satu topik kajian. 

Dengan sendirinya Ia akan bertanya alasan atau tendensi dari setiap argumentasi tersebut. ilanjutkan pada pencarian alasan-alasan atau dalil-dalil dari setiap argument dengan analisa yang lebih tajam. 

Yaitu berkenaan dengan penggunaan ayat-ayat al-Quran (keabsahan tafsir baik dari segi semantik maupun kedudukan asbabun nuzul, nasakh-mansukh,  riwayat,... dst.), penggunaan hadits-hadits, penukilan ijma'/konsensus ulama, analisa terhadap praktek Qiyas, fatwa para Sahabat, fatwa para imam madzhab dan seterusnya. 

Praktek ini dilakukan terhadap setiap argument untuk mengetahui keabsahan fatwa dan akhirnya akan diperoleh beberapa argument yang dipilih untuk diperbandingkan dengan hukum-hukum non-fikih dan realitas sosial yang sedang berkembang.

Secara praktis penerapan studi fikih model kontemporer ini menggunakan dua macam metode, yaitu:

  • Studi komperatif antara madzhab-madzhab fikih.

Yaitu usaha menelaah bentuk fatwa-fatwa fikih antar madzhab untuk mengetahui alasan dan landasan dalil yang dipergunakannya dalam memutuskan fatwa hukum. 

Dalam usaha ini kita akan mengamati landasan dalil-dalil tersebut baik yang bersifat Kulliyyah ataupun Juz'iyyah untuk dikoreksi antara yang sah dan  tidak? Mana yang relevan di masa sekarang? Dan terkadang dalam suatu masalah kita akan menggabungkan antara beberapa fatwa untuk ditranformasi ke dalam realitas tertentu. Praktek ini sebagaimana yang diberlakukan imam al-Sya'rani dalam kitab al-Mizan dan yang lainnya.

Sebagaimana ditegaskan Syekh al-Maraghi di atas, madzhab-madzhab yang dimaksud bukan hanya terbatas pada empat madzhab Sunni, namun lebih terbuka pada madzhab-madzhab lain yang dalam penyebaran fatwa-fatwanya telah terkodifikasikan dan diikuti jutaan umat. 

Misalnya, madzhab Ja'fariyah dari Ja'far Shadiq yang banyak diikuti kaum muslimin di negara-negara teluk; Iran, Oman, dan Libanon, madzhab Zaidiyah dari Zaid ibn Ali Zainal Abidin yang kini tersebar di negara-negara Eropa, madzhab Dhahiriyah, Ibadiyah, Tsauriyah, Auza'iyah, Thabariyah serta yang lainnya.

Ada pula madzhab-madzhab lain yang perlu mendapat perhatian, yakni madzhab fikih dari para Sahabat dan Tabi'in. Sekalipun belum terkodifikasi sempurna, namun fatwa-fatwa tersebut tersebar di dalam kitab-kitab Atsar dan Sunnah, seperti: kitab Mushannif; Ibnu Abi Syaibah pernah dicetak di Bombay-India dalam 15 jilid, Mushannif; Abd. ar- Raziq dicetak dei Beirut, al-Sunan al-Kubra; al-Baihaqi. 

Dalam kitab-kitab Ikhtilaf Fuqaha', seperti: al-Muhalla; Ibnu Hazm, al-Istidrak; Ibnu Abdil Bar, al-Isyraf; Ibnu Mundzir. Di dalam kitab-kitab tafsir dan syarah hadits, seperti: al-Jami' li Ahkam al-Qur'an; al-Qurthubi, al-Ahkam; Ibnu Arabi, Nailul Authar, Subulussalam, Fathul Bariserta di dalam kitab-kitab lainnya.

  • Studi komperatif antara hukum fikih dan hukum perundang-undangan non-fikih.  

Yang dimaksud dengan perundang-undangan non-Islam ialah undang-undang yang diterapkan di masa lampau. Diantaranya undang-undang Romawi yang selanjutnya menjadi cikal bakal perundang-undangan di Barat. 

Seperti halnya juga perundangan negara Prancis, Belanda, dan Jerman yang banyak ditemukan kesamaan dengan perundangan hukum syariat Islam. 

Sebagaimana hal ini banyak diketengahkan oleh Dr. Muhammad al-Syarbini (hakim Mesir) dalam menyorot terapan hukum di peradilan agama Mesir (diterbitkan dengan judul buku Ta'ammulat fi al-Syari'ah al-Islamiyyah, thn. 1999, oleh lembaga penerbitan Mesir). 

Beberapa kajian yang lain banyak diusung, diantaranya: Syekh Muhammad Bukhith al-Muthi'i, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Dr, Muhammad Yusuf Musa, Dr. Abdul Razaq al-Sanhuri, Dr. Yusuf al-Qaradlawi serta beberapa ulama lainnya.

Tujuan yang akan dicapai dari pemberlakuan metode ini adalah utnuk menunjukkan bahwa perangkat hukum di dalam syariat Islam dapat ditranformasikan ke dalam perundang-undangan non-Islam. Dan, secara mendasar Islam mampu mewujudkan keadilan dan menjamin kemaslahatan umat secara menyeluruh. 

Disamping itu, kita bisa menganalisa perkembangan dunia mutakhir yang berhubungan dengan kemanusiaan berupa; undang-undang sipil, emansipasi wanita, HAM, hukum perdata dan pidana dari peradilan negara-negara non-Islam guna menduduk-dialogkan pada kerangka ijtihad masa kini. 

Sebagaimana kita maklumi, tatanan sosial masyarakat dari waktu ke waktu yang terus berubah, tidak bisa tidak, seperangkat hukum  yang termaktub di dalam kitab-kitab fikih klasik atau fatwa-fatwa, dan/atau perangkat UU negara-negara Islam dengan menimbang implementasinya yang sudah tidak layak maka harus dilakukan ijtihad ulang.


Pada akhir tulisan ini perlu penulis tegaskan, pada dasarnya perangkat hukum Islam akan selalu dapat sesuai dengan berbagai bentuk perubahan yang kerap kali terjadi di tengah masyarakat. Hanya saja intepretasi dari hukum-hukum tersebut berbeda-beda menurut logika berpikir madzhab masing-masing. 

Tidak ada penghakiman terhadap hasil pemikiran fikih (baca; ijtihad madzhab) dengan kebhinekaannya di dalam syariat Islam. Sebab seluruhnya sama-sama merujuk pada al-Quran dan al-Sunnah sebagai landasan berpikir melalui konsep nalar istinbath yang disajikan oleh para imam madzhab masing-masing.

Perbedaan argument dalam bentuk fikih tidak menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kekafiran. Oleh karena itu, tidak mudah mengkafirkan orang hanya dengan melihat amaliyah fiqhiyah-nya saja di kala Ia masih berpegang pada al-Quran dan al-Sunnah. 

Sangat disayangkan jika seorang Roy harus digiring ke meja hijau dan dijatuhkan vonis gara-gara melakukan eksperiment hukum fikih. Kasus-kasus serupa yang sedang hangat diperbicangkan diantaranya masalah RUU pornografi dan pornoaksi, SKB Ahmadiyah, pengharaman rokok, dst. 

Setidaknya disikapi dengan analisa fikih yang cerdas serta tidak serta-merta menabrak konstitusi yang sudah ada dan sah sebagai titik temu kebhinekaan bangsa.

Kurangnya pengetahuan terhadap wawasan antar madzhab dan pemahaman syariat Islam secara menyeluruh (Maqashid Syari'ah Kulliyyah) menyebabkan seseorang akan bersikap eksklusif dengan ideologinya. 

Sering pula salah paham dan mudah terprofokasi segelintir orang yang bermotif politik dan berjuang hanya karena ideologi internal madzhabnya saja.  

Maka dari itu, konsep fikih antar madzhab sangat dibutuhkan untuk merekatkan kembali ukhuwah Islamiyyah dan bersama-sama mewujudkan hukum-hukum perundang-undangan yang humanis, mampu mengayomi semua kalangan, mendukung stabilitas nasional dan pada akhirnya dengan mudah akan mampu menciptakan kemaslahatan bersama. []

Sastro Admodjo

Salam SASALI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun