Rekonstruksi yang dikehendaki al-Maraghi dalam berfikih bukan hanya terbuka terhadap gagasan-gagasan fatwa dari empat madzhab, bahkan dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ahli fikih mulai masa pertama keluarnya hukum fikih hingga masa sekarang. Argumentasi ini terimplementasikan dalam UU pernikahan dan kasus perceraian Mesir nomor 25 tahun 1929. Â
Bentang sayap al-Azhar untuk menerima madzhab-madzhab fikih selain Sunni seperti: Dhahiriyah, Zaidiyah, Ja'fariyah, dan Ibadliyah merupakan wujud dari analisa terhadap fakta dan pengalaman sejarah penerapan fikih di masa silam.Â
Adanya dikotomi satu madzhab atau terhadap madzhab-madzhab yang berlebelkan Sunni mampu  menjadikan fikih sebagai hukum Islam yang menjamin kemaslahatan fi kulli zaman wal makan.Â
Disamping itu serangkaian hukum fikih tersebut hanyalah merupakan produk ijtihad terhadap masalah-masalah amaliyah saja, tidak menyentuh masalah fundament keimanan seorang muslim.Â
Dan, di dalam praktek ijtihad sebagaimana yang kita ketahui bersama seorang mujtahid sering kali menemukan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang masih global (mujmal) ataupun abstrak (muhmal).Â
Hal ini menuntut pribadinya untuk melakukan penafsiran dengan beda intelektual; maka beda pula produk yang dihasilkan. Lalu, apakah fakta yang demikian ini menjadikan kita fanatik buta terhadap sebuah "ideologi bisu" yang kita buat-buat sendiri tanpa usaha mencari sebab dan alasan??!
Motif dan Tujuan Studi Fiqh Muqaran Universitas al-Azhar
Penerapan studi fikih perbandingan madzhab (Fiqh Muqaran) dinilai sangat penting guna membuka wacana pemikiran fikih dan mengasah ketajaman analisa ilmiah dari silang pendapat antar madzhab.Â
Hal ini akan mampu membentuk kepribadian seseorang agar lebih inklusif, menerima kritikan dari pihak luar dan bersikap toleran terhadap pandangan lain yang semuanya memiliki tendensi konsep syariat secara mendasar. Seorang pengkaji dituntut untuk membaca sejumlah gagasan fatwa dari beberapa imam terhadap satu topik kajian.Â
Dengan sendirinya Ia akan bertanya alasan atau tendensi dari setiap argumentasi tersebut. ilanjutkan pada pencarian alasan-alasan atau dalil-dalil dari setiap argument dengan analisa yang lebih tajam.Â
Yaitu berkenaan dengan penggunaan ayat-ayat al-Quran (keabsahan tafsir baik dari segi semantik maupun kedudukan asbabun nuzul, nasakh-mansukh, Â riwayat,... dst.), penggunaan hadits-hadits, penukilan ijma'/konsensus ulama, analisa terhadap praktek Qiyas, fatwa para Sahabat, fatwa para imam madzhab dan seterusnya.Â