Mohon tunggu...
Sastro Admodjo
Sastro Admodjo Mohon Tunggu... Musisi - babaasad.com

Seorang pengembara edan. Mencari keindahan alam semesta Tuhan. Menorehkan tulisan untuk saling berbagi pengalaman. Menikmati kopi hitam, menjadi tuntutan dengan kawan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Studi Fikih Perbandingan Mazhab; Suguhan Kurikulum Inklusif-Progresif di Al-Azhar

2 Januari 2018   00:44 Diperbarui: 2 Januari 2018   04:48 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Praktek ini dilakukan terhadap setiap argument untuk mengetahui keabsahan fatwa dan akhirnya akan diperoleh beberapa argument yang dipilih untuk diperbandingkan dengan hukum-hukum non-fikih dan realitas sosial yang sedang berkembang.

Secara praktis penerapan studi fikih model kontemporer ini menggunakan dua macam metode, yaitu:

  • Studi komperatif antara madzhab-madzhab fikih.

Yaitu usaha menelaah bentuk fatwa-fatwa fikih antar madzhab untuk mengetahui alasan dan landasan dalil yang dipergunakannya dalam memutuskan fatwa hukum. 

Dalam usaha ini kita akan mengamati landasan dalil-dalil tersebut baik yang bersifat Kulliyyah ataupun Juz'iyyah untuk dikoreksi antara yang sah dan  tidak? Mana yang relevan di masa sekarang? Dan terkadang dalam suatu masalah kita akan menggabungkan antara beberapa fatwa untuk ditranformasi ke dalam realitas tertentu. Praktek ini sebagaimana yang diberlakukan imam al-Sya'rani dalam kitab al-Mizan dan yang lainnya.

Sebagaimana ditegaskan Syekh al-Maraghi di atas, madzhab-madzhab yang dimaksud bukan hanya terbatas pada empat madzhab Sunni, namun lebih terbuka pada madzhab-madzhab lain yang dalam penyebaran fatwa-fatwanya telah terkodifikasikan dan diikuti jutaan umat. 

Misalnya, madzhab Ja'fariyah dari Ja'far Shadiq yang banyak diikuti kaum muslimin di negara-negara teluk; Iran, Oman, dan Libanon, madzhab Zaidiyah dari Zaid ibn Ali Zainal Abidin yang kini tersebar di negara-negara Eropa, madzhab Dhahiriyah, Ibadiyah, Tsauriyah, Auza'iyah, Thabariyah serta yang lainnya.

Ada pula madzhab-madzhab lain yang perlu mendapat perhatian, yakni madzhab fikih dari para Sahabat dan Tabi'in. Sekalipun belum terkodifikasi sempurna, namun fatwa-fatwa tersebut tersebar di dalam kitab-kitab Atsar dan Sunnah, seperti: kitab Mushannif; Ibnu Abi Syaibah pernah dicetak di Bombay-India dalam 15 jilid, Mushannif; Abd. ar- Raziq dicetak dei Beirut, al-Sunan al-Kubra; al-Baihaqi. 

Dalam kitab-kitab Ikhtilaf Fuqaha', seperti: al-Muhalla; Ibnu Hazm, al-Istidrak; Ibnu Abdil Bar, al-Isyraf; Ibnu Mundzir. Di dalam kitab-kitab tafsir dan syarah hadits, seperti: al-Jami' li Ahkam al-Qur'an; al-Qurthubi, al-Ahkam; Ibnu Arabi, Nailul Authar, Subulussalam, Fathul Bariserta di dalam kitab-kitab lainnya.

  • Studi komperatif antara hukum fikih dan hukum perundang-undangan non-fikih.  

Yang dimaksud dengan perundang-undangan non-Islam ialah undang-undang yang diterapkan di masa lampau. Diantaranya undang-undang Romawi yang selanjutnya menjadi cikal bakal perundang-undangan di Barat. 

Seperti halnya juga perundangan negara Prancis, Belanda, dan Jerman yang banyak ditemukan kesamaan dengan perundangan hukum syariat Islam. 

Sebagaimana hal ini banyak diketengahkan oleh Dr. Muhammad al-Syarbini (hakim Mesir) dalam menyorot terapan hukum di peradilan agama Mesir (diterbitkan dengan judul buku Ta'ammulat fi al-Syari'ah al-Islamiyyah, thn. 1999, oleh lembaga penerbitan Mesir). 

Beberapa kajian yang lain banyak diusung, diantaranya: Syekh Muhammad Bukhith al-Muthi'i, Syekh Muhammad Abu Zahrah, Dr, Muhammad Yusuf Musa, Dr. Abdul Razaq al-Sanhuri, Dr. Yusuf al-Qaradlawi serta beberapa ulama lainnya.

Tujuan yang akan dicapai dari pemberlakuan metode ini adalah utnuk menunjukkan bahwa perangkat hukum di dalam syariat Islam dapat ditranformasikan ke dalam perundang-undangan non-Islam. Dan, secara mendasar Islam mampu mewujudkan keadilan dan menjamin kemaslahatan umat secara menyeluruh. 

Disamping itu, kita bisa menganalisa perkembangan dunia mutakhir yang berhubungan dengan kemanusiaan berupa; undang-undang sipil, emansipasi wanita, HAM, hukum perdata dan pidana dari peradilan negara-negara non-Islam guna menduduk-dialogkan pada kerangka ijtihad masa kini. 

Sebagaimana kita maklumi, tatanan sosial masyarakat dari waktu ke waktu yang terus berubah, tidak bisa tidak, seperangkat hukum  yang termaktub di dalam kitab-kitab fikih klasik atau fatwa-fatwa, dan/atau perangkat UU negara-negara Islam dengan menimbang implementasinya yang sudah tidak layak maka harus dilakukan ijtihad ulang.


Pada akhir tulisan ini perlu penulis tegaskan, pada dasarnya perangkat hukum Islam akan selalu dapat sesuai dengan berbagai bentuk perubahan yang kerap kali terjadi di tengah masyarakat. Hanya saja intepretasi dari hukum-hukum tersebut berbeda-beda menurut logika berpikir madzhab masing-masing. 

Tidak ada penghakiman terhadap hasil pemikiran fikih (baca; ijtihad madzhab) dengan kebhinekaannya di dalam syariat Islam. Sebab seluruhnya sama-sama merujuk pada al-Quran dan al-Sunnah sebagai landasan berpikir melalui konsep nalar istinbath yang disajikan oleh para imam madzhab masing-masing.

Perbedaan argument dalam bentuk fikih tidak menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kekafiran. Oleh karena itu, tidak mudah mengkafirkan orang hanya dengan melihat amaliyah fiqhiyah-nya saja di kala Ia masih berpegang pada al-Quran dan al-Sunnah. 

Sangat disayangkan jika seorang Roy harus digiring ke meja hijau dan dijatuhkan vonis gara-gara melakukan eksperiment hukum fikih. Kasus-kasus serupa yang sedang hangat diperbicangkan diantaranya masalah RUU pornografi dan pornoaksi, SKB Ahmadiyah, pengharaman rokok, dst. 

Setidaknya disikapi dengan analisa fikih yang cerdas serta tidak serta-merta menabrak konstitusi yang sudah ada dan sah sebagai titik temu kebhinekaan bangsa.

Kurangnya pengetahuan terhadap wawasan antar madzhab dan pemahaman syariat Islam secara menyeluruh (Maqashid Syari'ah Kulliyyah) menyebabkan seseorang akan bersikap eksklusif dengan ideologinya. 

Sering pula salah paham dan mudah terprofokasi segelintir orang yang bermotif politik dan berjuang hanya karena ideologi internal madzhabnya saja.  

Maka dari itu, konsep fikih antar madzhab sangat dibutuhkan untuk merekatkan kembali ukhuwah Islamiyyah dan bersama-sama mewujudkan hukum-hukum perundang-undangan yang humanis, mampu mengayomi semua kalangan, mendukung stabilitas nasional dan pada akhirnya dengan mudah akan mampu menciptakan kemaslahatan bersama. []

Sastro Admodjo

Salam SASALI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun